![]() |
||||||||||||||||||||||||||||||||||||
A. Pengertian Ilmu Hadis Kata 'Ulûm adalah berbentuk jamak (plural) bentuk mufrad (tunggal)-nya adalah 'ilmu. Disebut 'ulûm menunjukkan bahwa materi pembahasan ilmu hadis ini banyak. Ilmu hadis ialah ilmu yang membahas mengenai hadis Nabi SAW. baik dilihat dari segi wurud atau sumber asal usul datangnya hadis itu maupun dari segi dilalah atau makna yang terkandung dalam hadis itu. Menurut ulama hadis, ilmu hadis terdiri atas dua macam: 1 Ilmu Hadis Riwayah (ilmu riwayah hadis) 2 Ilmu Hadis Dirayah (ilmu dirayah hadis). Ilmu Hadis Dirayah عِِلْمٌ يُبْحَثُ فِيْهِ عَنْ كَيْفِيَّةِ اتِّصَالِ اْلحَدِيْثِ بِالرَّسُوْلِ صلى الله عليه وسلم مِنْ حَيْثُ اَحْوَالِ رُوَّاتِهِ ضَبطا وعدالة ومن حيث كيفية السند اتصالا وانقطاعا ونحو ذلك Ilmu yang membahas mengenai cara periwayatan hadis Rasulullah SAW. dari segi keadaan para periwayatnya; ke-dhabith-an dan ke-'adil-annya, dan dari segi bersambung dan terputus sanadnya. Dengan kata lain, bahwa Ilmu Hadis Dirayah ialah berupa kaedah-kaedah untuk mengetahui keadaan sanad dan matan, cara menerima dan meriwayatkan, sifat-sifat periwayat; `adil, dhabith, dan lain-lain, serta apa sanadnya bersambung atau terputus. Nama Ilmu Hadis Dirayah ini biasa juga disebut dengan Mushthalah al-Hadits, atau Ushûl al-Hadits. Objek Ilmu Hadis Dirayah ialah Sanad, matan, dan periwayat. Adapun tujuan Ilmu Hadis Dirayah adalah untuk dapat mengetahui dan menetapkan apakah hadis itu dapat diterima (maqbul) atau ditolak (mardud). Maksudnya untuk mengetahui, apakah hadis kualitasnya sahih atau daif atau maudhu' (palsu). Pelopor ilmu Hadis Dirayah ini ialah al-Qadhi Ibn Muhammad ar-Ramahhurmuzy (265 H-360 H). B. Ilmu Hadis Riwayah عِلْمٌ يَشْتَمِلُ عَلَى أَقْوَالِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأفْعَالِهِ وَتَقْرِيْرَاتِهِ وَصِفَاتِهِ وَرِوَايَتِهَا وَضَبْطِهَا وَتَحْرِيْرِ أَلْفَاظِهَا Ilmu Hadis Riwayah ialah ilmu yang pembahasannya meliputi ucapan, perbuatan, taqrir (pengakuan), dan sifat-sifat Nabi SAW., periwayatannya, pencatatannya dan penelitian lafal-lafalnya. Kalau dalam pandangan mayoritas ulama, mereka menambahkan kalimat أَوِ الصَّحاَبِي أَوِ التَّابِعِي (sahabat atau tabiin) setelah kata-kata وَصِفاَتِهِ (... dan sifat-sifat Nabi SAW.) sebagaimana dijelaskan pada pengertian hadis di atas. Dengan demikian, pengertian ilmu hadis riwayah secara lengkap ialah ilmu yang pembahasannya meliputi ucapan, perbuatan, ketetapan, dan sifat-sifat Nabi SAW., dan para sahabat serta tabiin, periwayatannya, pencatatannya dan penelitian lafal-lafalnya. Objek utama atau tema sentral dalam Ilmu Hadis Riwayah ialah pribadi Nabi SAW. yang meliputi sabda, perbuatan, taqrir (pengakuan), dan sifat-sifat beliau. Tujuan Ilmu Hadis Riwayah ialah untuk mengetahui segala sesuatu yang berkaitan dengan pribadi Nabi SAW. dalam rangka memahami dan menghayati serta mengamalkan ajaran yang beliau sampaikan menuju kebahagiaan dunia dan akhirat Pelopor ilmu hadis riwayah ialah Muhammad ibn Syihab az-Zuhri (51 H-124 H). Ia adalah ulama yang pertama menghimpun hadis-hadis Nabi SAW. dalam bentuk buku atas instruksi khalifah Umar bin Abdul Aziz (101 H). Ibnu Syihab az-Zuhri, seorang tabiin yang banyak mendengar dan meriwayatkan hadis dari para sahabat dan tabiin lainnya. Keahlian dan kemampuan hapalannya diakui oleh para ulama. Imam Bukhari pernah menyatakan, bahwa az-Zuhri mampu menghapal al-Qur'an hanya dalam tempo 80 malam. Hisyam bin Abd Malik pernah meminta tolong kepada az-Zuhri untuk menuliskan hadis-hadis Nabi SAW. Atas permintaan tersebut, az-Zuhri mendiktekan 400 hadis. Sekitar satu bulan kemudian, Hisyam bin Abdul Malik memberitahukan bahwa catatan hadis yang pernah didiktekan itu hilang, sehingga ia meminta kembali kepada az-Zuhri untuk didiktekan ulang. Lalu az-Zuhri mendiktekan kembali 400 hadis. Setelah itu, catatan atau kumpulan hadis (Diktat) hadis pertama pernah hilang ditemukan. Lalu dicocokkan dengan diktat hadis yang kedua. Ternyata kumpulan hadis pertama yang didiktekan tidak berbeda sedikitpun dengan yang didiktekan kedua kalinya.
HADIS DAN SUNNAH A. Pengertian Hadis Hadis menurut bahasa berarti ucapan atau berita. Misalnya disebutkan kata "hadis" dalam al-Qur'an. فَلْيَأْتُوا بِحَدِيثٍ مِثْلِهِ إِنْ كَانُوا صَادِقِينَ Maka hendaklah mereka mendatangkan ucapan yang sama dengannya (al-Qur'an) jika mereka orang-orang yang benar. (QS. ath-Thûr [52]: 34). Kata hadis dalam ayat ini berarti ucapan. Maksudnya apakah mereka diperintah oleh pikiran-pikiran mereka yang sakit atau lemah dan yang mereka kira jitu untuk mengucapkan tuduhan-tuduhan bahwa al-Qur'an hanyalah karangan Muhammad. هَلْ أَتَاكَ حَدِيثُ الْغَاشِيَةِ Sudah datangkah kepadamu berita tentang hari pembalasan. (QS. Al-Ghasyiyah [88]: 1). Kata "hadis" dalam ayat ini berarti berita. Dalam pengertian istilah (terminologi), hadis ialah: ما أثر عن النبي صلى الله عليه وسلم من قول أو فعل أو تقرير أو صفة خِلْقِيَّةٍ أَوْ خُلُقِيَّةٍ أو سيرة سواء أكان ذلك قبل البعثة أم بعدها Segala ucapan, perbuatan, dan taqrir (pengakuan) serta sifat fisik atau akhlak serta biografi Nabi SAW., baik pada masa sebelum diangkat menjadi Nabi atau pun sesudahnya. (Manna' al-Qaththân, 1992: 7). Berdasarkan definisi ini, maka hanya yang dinisbahkan kepada Nabi SAW. saja yang disebut hadis. Padahal dalam kenyataannya, ada hadis yang disebut hadis mauquf yaitu hadis yang dinisbahkan kepada sahabat. Oleh karena itu, kata Nurdin 'Itr (1985: 27), definisi hadis yang terbaik ialah: ما أضيف الى النبي صلى الله عليه وسلم من قول أو فعل أو تقرير أو وصف خلقي أو خلقي أو أضيف إلى الصحابي أو التابعي Hadis ialah segala ucapan, perbuatan, dan taqrir serta sifat diri atau keadaan fisik Nabi SAW., termasuk juga yang dinisbahkan kepada para sahabat dan tabi'in. Contoh hadis berupa ucapan Nabi SAW.: Diriwayatkan dari Abdullah bin `Amr bin `Ash, Rasulullah SAW. bersabda: الْمُسْلِمُ مَنْ سَلِمَ الْمُسْلِمُونَ مِنْ لِسَانِهِ وَيَدِهِ وَالْمُهَاجِرُ مَنْ هَجَرَ مَا نَهَى اللَّهُ عَنْهُ Muslim adalah mereka yang menyelamatkan sesamanya dari gangguan lidah dan tangannya. Orang yang berhijrah adalah yang meninggalkan apa yang dilarang Allah darinya. (HR. Bukhari). Contoh hadis berupa perbuatan: Diriwayatkan dari Hudzaifah, katanya: كان النبي صلى الله عليه وسلم إذا قام من الليل يشوص فاه بالسواك Nabi SAW. kalau bangun malam, ia menggosok (membersihkan) mulutnya dengan cara bersiwak. (HR. Bukhari). Taqrir adalah diamnya Nabi SAW. dalam menyikapi laporan atau perbuatan para sahabat, beliau tidak memerintahkan dan juga tidak melarang. Dengan sikap ini menunjukkan bahwa apa yang dilakukan sahabat itu menunjukkan kebolehan, sebab andaikata dilarang pasti beliau mencegahnya. Oleh karena itu, istilah taqrir biasa diartikan dengan pengakuan atau penetapan. Contoh berupa taqrir Nabi SAW.: Diriwayatkan dari Ibnu Abbas, bahwa pada suatu ketika Nabi SAW. bersama Khalid bin Walid berada dalam suatu jamuan makan yang dihidangkan daging biawak. Nabi SAW. tidak menegur atas adanya jamuan daging tersebut. Ketika beliau dipersilakan makan, beliau bersabda: لا ولكن لم يكن بأرض قومي فأجدني أعافه Maaf, berhubung daging hewan ini tidak terdapat di kampungku, aku jijik padanya. Lalu Khalid bin Walid berkata: فاجتررته فأكلته ورسول الله صلى الله عليه وسلم ينظر إلي Segera aku memotongnya dan memakannya, sementara Rasulullah SAW. memandang kepadaku. (HR. Bukhari dari Ibnu Abbas). Contoh hadis berupa sifat akhlak Nabi SAW. sebagaimana yang diriwayatkan dari Anas bin Malik. Ia mengatakan: خدمت النبي صلى الله عليه وسلم عشر سنين فما قال لي أف قط وما قال لشيء صنعته لم صنعته ولا لشيء تركته لما تركته Aku adalah pelayan Nabi SAW. selama 10 tahun (hingga beliau wafat) tidak pernah mengatakan kepadaku "ah". Tidak pernah mengatakan kepadaku karena sesuatu yang kukerjakan "Mengapa kau kerjakan begini"! Tidak pernah mengatakan kepadaku karena ada sesuatu yang tidak kukerjakan "Mengapa tidak kau kerjakan"! (HR. Tirmidzi). Contoh hadis berupa keadaan fisik Nabi SAW. sebagaimana yang diriwayatkan dari Anas bin Malik. Ia mengatakan: ما عددت في رأس رسول الله صلى الله عليه وسلم ولحيته إلا أربع عشرة شعرة بيضاء Aku tidak melihat lebih dari 14 lembar uban di rambut dan jenggot Nabi SAW. (HR. Tirmidzi dan Ibnu Hibban). Sesuatu yang dinisbahkan kepada sahabat namanya hadis mauquf. Contoh pernyataan sahabat Abdullah bin Umar: نُهِينَا أَنْ نَصُومَ يَوْمَ النَّحْرِ "Kami dilarang berpuasa pada hari `Idul Adhâ. (HR. Ahmad ibn Hambal).[1] Sesuatu yang dinisbahkan kepada tabiin namanya hadis maqthu' Contoh pernyataan Mujahid seorang tabiin. Ia mengatakan: كان النبي صلى الله عليه وسلم يظهر من التلبية لبيك اللهم لبيك Adalah Nabi SAW. mengeraskan bacaan talbiyah: Labbaika Allâhumma Labbaika. (HR. Syafi'i). Sehubungn dengan pengertian hadis secara terminologi yang dijelaskan di atas, maka secara terperinci, hal-hal yang termasuk kategori hadis meliputi: a. Sabda Nabi SAW. yang keluar dari mulut beliau sendiri. b. Perbuatan, akhlak atau sifat-sifat Nabi SAW. yang diriwayatkan oleh para sahabat. c. Perbuatan para sahabat di hadapan Nabi SAW. yang dibiarkannya dan tidak dicegah. d. Timbulnya berbagai pendapat sahabat di hadapan Nabi SAW., lalu beliau mengemukakan pendapatnya sendiri atau mengakui salah satu pendapat sahabat itu. e. Sejarah perjalanan kehidupan Nabi SAW. termasuk kondisi fisiknya. f. Pernyataan para sahabat dan tabiin yang masanya dihubungkan dengan Nabi SAW. Termasuk juga hadis ialah surat-surat yang dikirimkan Nabi SAW., baik yang dikirim kepada para sahabat yang bertugas di daerah, maupun yang dikirim kepada pihak-pihak di luar Islam, seperti para raja. Ahli sejarah Muhammad ibn Sa'ad (230 H) dalam kitabnya ath-Thabaqat al-Kubrâ mencatat surat-surat yang pernah dikirimkan Nabi SAW. lengkap dengan sanadnya. Surat-surat itu tidak kurang dari 105 buah. Hanya saja teks surat-surat tersebut tidak semuanya dicatat secara lengkap. Selain itu, ada dua buah surat yang dapat dipastikan tidak otentik berasal dari Nabi SAW. karena di dalam sanadnya terdapat nama Muhammad ibn as-Saib al-Kilbi adalah seorang pendusta. Surat-surat yang dibuat oleh Nabi SAW. tidaklah terbatas dalam bentuk korespondensi saja, melainkan juga berupa surat-surat perjanjian. Menurut penelitian Dr. Muhammad Hamidullah, bahwa surat-surat perjanjian yang dibuat oleh Nabi SAW. dengan berbagai golongan agama berjumlah tujuh buah. B. Pengertian Sunnah Kata sunnah (bentuk jamaknya, sunan) berakar dari huruf sin dan nun yang berarti mengalir atau berlalunya sesuatu dengan mudah. Secara etimologis, sunnah berarti jalan atau tata cara yang sudah menjadi tradisi. Sunnah juga berarti praktek yang diikuti, arah, model perilaku, tindakan, ketentuan dan peraturan. Jalan yang dimaksud, baik jalan terpuji maupun jalan tercela. Hal ini sesuai dengan hadis Nabi SAW.: مَنْ سَنَّ سُنَّةً حَسَنَةً فَعُمِلَ بِهَا كَانَ لَهُ أَجْرُهَا وَمِثْلُ أَجْرِ مَنْ عَمِلَ بِهَا لاَ يَنْقُصُ مِنْ أُجُورِهِمْ شَيْئًا وَمَنْ سَنَّ سُنَّةً سَيِّئَةً فَعُمِلَ بِهَا كَانَ عَلَيْهِ وِزْرُهَا وَوِزْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا مِنْ بَعْدِهِ لاَ يَنْقُصُ مِنْ أَوْزَارِهِمْ شَيْئًا Barang siapa mengadakan sesuatu sunnah (jalan) yang baik, lalu diamalkannya, maka baginya pahala atas perbuatannya. Sama pahalanya bagi orang mengamalkannya tanpa sedikit pun berkurang. Dan barang siapa mengadakan sesuatu sunnah (jalan) yang buruk, lalu diamalkannya, maka ia berdosa atas perbuatannya itu dan dan menanggung dosa orang-orang yang mengikutinya tanpa berkurang sedikit pun. (HR.Nasai dari Jarir bin Abdullah). Dalam hadis ini, ada sunnah yang baik (سُنَّةً حَسَنَةً) dan sunnah yang buruk (سُنَّةً سَيِّئَةً). Pengertian sunnah dalam hadis tersebut adalah pengertian menurut bahasa. Dalam hadis yang bersumber dari Abu Said al-Khudri , Nabi SAW. bersabda: لَتَتْبَعُنَّ سَنَنَ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ شِبْرًا شِبْرًا وَذِرَاعًا بِذِرَاعٍ حَتَّى لَوْ دَخَلُوا جُحْرَ ضَبٍّ تَبِعْتُمُوهُمْ قُلْنَا يَا رَسُولَ اللَّهِ الْيَهُودُ وَالنَّصَارَى قَالَ فَمَنْ Sungguh kamu akan mengikuti sunnah-sunnah (kebiasaan-kebiasaan) orang sebelum kamu, sejengkal demi sejengkal, sehasta demi sehasta, sehingga sekiranya mereka memasuki sarang biawak, sungguh kamu mengikutinya (memasukinya) juga. Kami bertanya, wahai Rasulullah, itukah orang Yahudi dan Nasrani? Jawabnya: "Siapa lagi. (HR. Bukhari dan Muslim). Kata sunnah dalam hadis ini juga dalam pengertian bahasa, yakni kebiasaan-kebiasaan yang sudah menjadi tradisi yang diwariskan para pendahulu sebelumnya. Pengertian sunnah menurut istilah, ada perbedaan pendapat antara ulama hadis dan ulama hukum, yakni ahli ushul fikih. Menurut ulama hadis, pengertian sunnah sama dengan pengertian hadis. Sedangkan ulama ushul fikih, sunnah ialah: كل ما صدر عن النبي الله صلى الله عليه وسلم غير القرآن من قول او فعل او تقرير مما يصلح أن يكون دليلا لحكم شرعي Semua yang bersumber dari Nabi SAW. selain al-Qur'an, baik dalam bentuk ucapan, perbuatan, dan taqrir, yang dapat dijadikan dalil dalam menetapkan masalah hukum syariat. ('Ajjaj al-Khatib, 1989: 19). Dalam pengertian sunnah ini tidak termasuk sifat diri dan pribadi Nabi SAW., sebab sunnah lebih kepada yang dapat dijadikan dalil dalam menetapkan masalah hukum syariat. Hukum syariat dapat ditetapkan berdasarkan sabda, perbuatan atau taqrir Nabi SAW. Dengan demikian, dilihat dari segi ini, maka pengertian hadis lebih luas dan umum, sebab meliputi semua yang ada pada diri Nabi SAW. termasuk bentuk fisik, seperti rambut dan sandalnya, sedangkan sunnah terbatas hanya pada sabda, perbuatan, dan taqrir yang dapat dijadikan dalil dalam menetapkan hukum syariat. Sunnah sudah pasti juga termasuk hadis. Kalau hadis belum tentu sunnah. Dalam artian inilah kata Sunnah yang terdapat dalam hadis Nabi SAW. yang disampaikan ketika haji Wada', sebagaimana yang diriwayatkan dari Ibnu Abbas, Nabi SAW. bersabda: يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنِّيْ قَدْ تَرَكْتُ فِيْكُمْ مَا إِنْ اِعْتَصَمْتُمْ بِهِ فَلَنْ تَضِلُّوْا أَبَدًا: كِتَابَ اللهِ وَ سُنَّةَ نَبِيِّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ Wahai sekalian manusia, sesungguhnya aku telah tinggalkan kepada kalian, jika berpegang teguh pada keduanya niscaya tidak akan sesat selamanya, yaitu Kitab Allah (al-Qur'an) dan Sunnah Nabi SAW. (HR. Hakim). Imam Malik, Al-Baihaqy dan Ibnu Abdil Bar juga meriwayatkan hadis yang semakna dengan hadis riwayat Hakim di atas dengan susunan redaksi agak berbeda, namun maksudnya sama. Contoh sunnah sekaligus hadis berupa ucapan adalah yang diriwayatkan dari Umar bin Khattab, Nabi SAW. bersabda: إِنَّمَا اْلأَعْمَالُ بِالنِّيَّةِ وَإِنَّمَا ِلإ مْرِئٍ مَا نَوَى “Bahwasanya amal itu hanyalah berdasarkan pada niatnya. Sesungguhnya bagi tiap-tiap orang (akan memperoleh) sesuai dengan apa yang dia niatkan. (HR. Bukhari). Sunnah ini dapat dijadikan dalil dalam menetapkan masalah hukum, yaitu ibadah dinilai sah kalau disertai dengan niat. Tanpa niat ibadah tidak sah. Adapun sunnah Nabi SAW. dalam bentuk perbuatan ialah praktek beliau melaksanakn shalat, ibadah haji. Misalnya yang diriwayatkan dari صليت مع رسول الله صلى الله عليه وسلم ركعتين قبل الظهر وركعتين بعد الظهر وركعتين بعد الجمعة وركعتين بعد المغرب وركعتين بعد العشاء Aku bersama Rasulullah SAW. shalat dua rakaat sebelum dhuhur, dua rakaat sesudah dhuhur, dua rakaat sesudah jumat, dua rakaat sesudah maghrib, dan dua rakaat sesudah isya. (HR. Bukhari). Adapun contoh taqrir sudah dikemukakan di atas ketika membahas pengertian hadis. Taqrir sebagai sikap Nabi SAW. menyetujui atau mengakui perbuatan para sahabat itu dapat dijadikan dalil dalam menetapkan kebolehan dalam hukum syariat. Adanya perbedaan pendapat antara Ulama Hadis, ulama ushul dan ulama fiqh dalam memberikan defenisi sunnah tersebut, disebabkan oleh perbedaan cara tinjauannya. a. Ulama hadis melihatnya pada segi bahwa pribadi Nabi SAW. Itu adalah contoh teladan baik (uswatun hasanah) bagi umatnya. Oleh karena itu, maka segala hal yang bersangkut paut dengan diri pribadi beliau adalah sebagai uswatun hasanah. Sebagaimana dalam al-Qur'an. لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِمَنْ كَانَ يَرْجُو اللَّهَ وَالْيَوْمَ الْآخِرَ وَذَكَرَ اللَّهَ كَثِيرًا Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah. (QS. Al-Ahzab [33]: 21). b. Ulama ushul fikih melihatnya bahwa pribadi Nabi SAW. adalah syâri', sumber hukum Islam. Oleh karena itu, membatasi diri dengan hal-hal yang bersangkut paut dengan penetapan hukum. Sebagaimana dalam al-Qur'an. وَمَا ءَاتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا Apa yang didatangkan Rasul kepadamu, maka ambillah. Dan apa yang dilarang bagimu maka jauhilah. (QS. Al-Hasyr [59]: 7). c. Ulama fiqh melihatnya dari segi bahwa pribadi Nabi SAW. dalam seluruh aspek kehidupannya (baik perkataan, perbuatan, maupun pengakuannya) mempunyai nilai hukum yang berkisar antara wajib, sunnah, haram, makruh, dan mubah. Bertitik tolak dari lima macam nilai hukum tersebut, maka untuk sunnah diartikan sebagai amalan yang dianjurkan kita untuk mengerjakannya dengan konsekuesi memperoleh pahala serta tidak diberi siksa kalau ditinggalkanya. Namun demikian, kalau ditinjau dari segi subjek yang menjadi sumber asalnya, maka pengertian hadis dan sunnah adalah sama, yakni sama-sama berasal dari Rasulullah SAW. Dengan dasar inilah maka jumhur (mayoritas) ulama ahli hadis berpendapat bahwa hadis identik atau sama dengan dengan sunnah.
UNSUR-UNSUR DALAM HADIS A. Unsur- unsur dalam Hadis Hadis Nabi SAW. حَدَّثَنَا أَبُو كُرَيْبٍ حَدَّثَنَا عَبْدَةُ بْنُ سُلَيْمَانَ عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ عَمْرٍو حَدَّثَنَا أَبُو سَلَمَةَ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَكْمَلُ الْمُؤْمِنِينَ إِيمَانًا أَحْسَنُهُمْ خُلُقًا وَخِيَارُكُمْ خِيَارُكُمْ لِنِسَائِهِمْ خُلُقًا (رواه الترمذي) Telah memberitakan kepada kami Abu Kuraib, ia berkata: "Telah memberitakan kepada kami 'Abdah bin Sulaiman dari Muhammad bin 'Amr, ia berkata telah memberitakan kepada kami Abu Salamah dari Abu Hurairah, ia berkata: "Rasulullah SAW. bersabda: "Paling sempurna iman orang-orang beriman ialah yang paling baik akhlaknya. Dan orang-orang terbaik di antara kalian ialah yang terbaik akhlaknya kepada isterinya. (HR. Tirmidzi). Ada tiga unsur pokok yang terkandung dalam hadis di atas, yaitu Rawi, Sanad, dan Matan. 1. Rawi (Periwayat) Dalam ilmu hadis, riwayat ialah kegiatan penerimaan dan penyampaian hadis serta penyandaran hadis itu kepada rangkaian para periwayatnya dengan bentuk-bentuk tertentu. Orang yang telah menerima hadis dari seorang periwayat, tetapi dia tidak menyampaikan hadis itu kepada orang lain, maka dia tidak dapat disebut sebagai orang yang telah melakukan periwayatan hadis. Kalau orang yang telah menerima hadis tersebut, lalu menyampaikan hadis itu kepada orang lain, namun ia tidak menyebutkan rangkaian para periwayatnya, maka orang tersebut belum dapat disebut sebagai orang yang telah melakukan periwayatan hadis. Dengan demikian, ada tiga unsur yang harus dipenuhi dalam periwayatan hadis, yaitu:
Orang yang melakukan periwayatan hadis disebut rawi. Dengan kata lain, rawi ialah orang yang meriwayatkan atau menyampaikan atau menuliskan hadis dalam suatu kitab hadis apa yang pernah diterima dari gurunya atau dari seseorang. Hadis tersebut di atas, dikutip dari kitab Sunan at-Tirmidzi atau biasa juga disebut kitab al-Jâmi` ash-Shahîh. Hadis tersebut diriwayatkan oleh beberapa orang, yaitu: 1. Abu Hurairah (57 H) Rawi pertama 2. Abu Salamah (94 H) Rawi kedua 3. Muhammad bin `Amr (145 H) Rawi ketiga 4. `Abdah bin Sulaiman (187 H) Rawi keempat 5. Abu Kuraib (248 H) Rawi kelima 6. Tirmidzi (209 H-279 H) Rawi keenam Imam Tirmidzi, selain disebut sebagai Rawi keenam atau Rawi terakhir, juga disebut sebagai Mukharrij, yaitu orang yang telah mencatat hadis tersebut dalam kitabnya bernama Sunan Tirmidzi, lalu mengeluarkan atau menyampaikannya kepada muridnya atau kepada generasi sesudahnya akhirnya sampai kepada kita sekarang. 2. Sanad Menurut bahasa, sanad berarti sandaran; yang dapat dipegangi atau dipercaya, kaki bukit atau kaki gunung. Menurut istilah ilmu hadis, sanad ialah jalan yang menyampaikan kepada matan hadis. Atau boleh juga dikatakan sanad ialah susunan rangkaian para periwayat hadis dalam sebuah periwayatan. Dalam contoh hadis tersebut di atas, deretan kata-kata حَدَّثَنَا أَبُو كُرَيْبٍ حَدَّثَنَا عَبْدَةُ بْنُ سُلَيْمَانَ عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ عَمْرٍو حَدَّثَنَا أَبُو سَلَمَةَ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ itulah yang disebut sanad. Dengan demikian, urutan sanad dari hadis tersebut di atas adalah: Abu Kuraib Sanad pertama `Abdah bin Sulaiman Sanad kedua Muhammad bin `Amr Sanad ketiga Abu Salamah Sanad keempat Abu Hurairah Sanad kelima, sanad terakhir Jumlah sanad dalam suatu hadis, tidak mesti lima seperti contoh di atas, tetapi ada yang jumlah lebih dan ada juga kurang dari lima. Dalam hubungannya dengan istilah Sanad, juga dikenal istilah Musnid, Musnad, dan Isnad. Musnid ialah orang yang meriwayatkan dan menerangkan hadis dengan menyebutkan sanadnya. Sedangkan Musnad ialah hadis yang diriwayatkan dan dengan diterangkan seluruh rangkaian sanadnya sampai kepada Nabi SAW. pengertian lain dari Musnad ialah Kitab Hadis yang di dalamnya dikoleksi oleh penyusunnya, hadis-hadis yang diriwayatkan oleh seorang sahabat (misalnya dari Abu Hurairah saja) dalam satu bab tertentu, kemudian yang diriwayatkan oleh sahabat yang lain dalam bab lainnya juga secara khusus. Oleh karena kitab-kitab Musnad jumlahnya banyak, untuk membedakan kitab Musnad yang satu dengan kitab Musnad lainnya, maka dihubungkanlah kata-kata Musnad itu dengan nama penyusunnya. Misalnya Musnad asy-Syafi'i, Musnad Ahmad bin Hambal, Musnad Abu Daud ath-Thayalisi, dan lain-lain. Adapun istilah Isnad dimaksudkan ialah sistem penyampaian hadis dengan menyebutkan sanadnya atau menjelaskan sanad hadis itu (narasumber jalan datangnya hadis). 3. Matan Menurut bahasa, matan berarti punggung jalan atau tanah yang keras dan tinggi. Menurut istilah ilmu hadis, matan ialah materi berita yang berupa sabda, perbuatan atau taqrir Nabi SAW. yang terletak setelah sanad berakhir. Secara umum, matan dapat diartikan selain sesuatu pembicaraan yang berasal/tentang Nabi SAW., juga berasal/tentang sahabat atau tabiin. Sebagai contoh matan hadis yang dikemukakan di atas ialah: أَكْمَلُ الْمُؤْمِنِينَ إِيمَانًا أَحْسَنُهُمْ خُلُقًا وَخِيَارُكُمْ خِيَارُكُمْ لِنِسَائِهِمْ خُلُقًا Orang-orang beriman ialah yang sangat sempurna imannya adalah orang yang sangat baik akhlaknya. Dan orang-orang terbaik di antara kalian ialah yang terbaik akhlaknya kepada isterinya. Penulisan hadis Nabi SAW. khususnya dalam hal tata penulisan secara ilmiah, sebaiknya selain ditulis matan hadis dimaksud, juga ditulis Rawi terakhir (pen-takhrij) dan nama periwayat pertamanya (sanad terakhir). Misalnya penulisan hadis tersebut di atas, setelah menulis matan hadis, lalu ditulis kata-kata رَواَهُ التِّرْمِذِي عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ Dalam terjemahan bahasa Indonesia ditulis (HR. Tirmidzi dari Abu Hurairah). Bahkan lebih lengkapnya lagi secara ilmiah adalah menyebutkan sumber pengambilan atau pengutipan hadis tersebut; Kitab apa, bab apa, hadis nomor berapa, dan lain-lain, dalam catatan kaki, catatan tengah, atau catatan akhir. Hal ini dilakukan untuk ketelitian dan pemeliharaan orisinalitas dan kesahihan materi hadis yang dikutip. B. Klasifikasi Hadis Sebutan nama hadis sangat banyak. Untuk memahami hal ini perlu dikemukakan klasifikasi hadis. Klasifikasi atau pembagian hadis dalam berbagai macam nama hadis dapat dilihat dari segi tinjauannya sehingga dapat diposisikan sesuai arah tinjauannya masing-masing. 1. Dilihat dari segi sumber dan sandarannya, hadis terdiri atas: a. Hadis Qudsi Menurut bahasa, al-Quds berarti اَلطَّهَارَةُ وَالتَّنْـزِيْهُ (suci dan bersih). Istilah hadis Qudsi juga biasa disebut hadis Rabbani atau hadis Ilahi, sebab dinisbahkan langsung kepada Allah. Menurut istilah, hadis Qudsi ialah: ماأخبر الله نبيه بالإلهام او بالمنام فأخبر النبي صلى الله عليه وسلم من ذلك المعنى بعبارة نفسه Sesuatu yang diinformasikan Allah kepada Nabi Muhammad SAW. melalui ilham atau mimpi, lalu beliau menyampaikan makna tersebut dengan ungkapan bahasa beliau sendiri. Beberapa tanda hadis Qudsi, di antaranya dalam teks terdapat kalimat: قَالَ اللهُ .... يَقُوْلُ اللهُ عز وجلّ قال رسول الله صلى الله عليه وسلم فِيْمَا يَرْوِيْهِ عَنِ الله تبارك وتعالى ... Atau kata-kata lain yang semakna dengan itu. Contoh hadis Qudsi: عن أبي هريرة عن النبي صلى الله عليه وسلم قال, يقول الله عز وجل اَلصَّوْمُ لِيْ وَأَنَا أَجْزِي بِهِ Diriwayatkan dari Abu Hurairah, Nabi SAW bersabda: "Allah 'Azza wa Jalla berfirman: "Puasa adalah untuk-Ku dan Akulah yang memberinya balasan. (HR. Bukhari). عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ يَرْوِيهِ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَرْوِيهِ عَنْ رَبِّهِ عَزَّ وَجَلَّ قَالَ إِنَّ اللهَ كَتَبَ الْحَسَنَاتِ وَالسَّيِّئَاتِ فَمَنْ هَمَّ بِحَسَنَةٍ فَلَمْ يَعْمَلْهَا كَتَبَ اللَّهُ لَهُ عِنْدَهُ حَسَنَةً كَامِلَةً وَإِنْ عَمِلَهَا كَتَبَهَا اللَّهُ لَهُ عَشْرًا إِلَى سَبْعِ مِائَةٍ إِلَى أَضْعَافٍ كَثِيرَةٍ أَوْ إِلَى مَا شَاءَ اللَّهُ أَنْ يُضَاعِفَ وَمَنْ هَمَّ بِسَيِّئَةٍ فَلَمْ يَعْمَلْهَا كَتَبَهَا اللَّهُ لَهُ عِنْدَهُ حَسَنَةً كَامِلَةً فَإِنْ عَمِلَهَا كَتَبَهَا اللَّهُ سَيِّئَةً وَاحِدَةً رواه أحمد) Diriwayatkan dari Ibnu Abbas, dari Nabi SAW. yang meriwayatkannya dari Tuhannya Allah 'Azza wa Jalla berfirman: "Sesungguhnya Allah mencatat kebaikan dan kejahatan. Barangsiapa yang merencanakan akan melakukan kebaikan, namun belum sempat melakukannya, maka Allah tetap mencatat baginya sebagai kebaikan sempurna. Kalau ia sempat melakukannya, Allah akan mencatat baginya sepuluh hingga 700 kali lipat atau lebih bahkan Allah melipatgandakan sesuai yang dikehendaki. Barangsiapa yang merencanakan akan melakukan kejahatan, namun belum sempat melakukannya, Allah akan mencatat baginya sebagai suatu kebaikan sempurna. Kalau benar-benar melakukan kejahatan, Allah akan mencatatnya satu kejahatan. (HR. Ahmad). Berdasarkan pengertian hadis Qudsi di atas bahwa hadis Qudsi itu adalah firman Allah, namun demikian hadis Qudsi tidak sama dengan al-Qur'an. Perbedaan antara hadis Qudsi dengan al-Qur'an, ialah: 1) Al-Qur'an adalah wahyu yang lafal dan maknanya dari Allah, sedang hadis Qudsi adalah wahyu dari Allah, namun lafal atau redaksinya dari Nabi SAW. sendiri. 2) Al-Qur'an adalah wahyu Allah yang diturunkan kepada Nabi SAW. melalui malaikat Jibril, sedangkan hadis Qudsi juga wahyu Allah yang disampaikan kepada Nabi SAW. melalui ilham atau mimpi. 3) Al-Qur'an adalah mu'jizat dan diriwayatkan secara mutawatir, sedangkan hadis Qudsi, belum tentu demikian. 4) Setiap huruf dari al-Qur'an yang dibaca akan mendapatkan pahala, sedang membaca hadis Qudsi, tidak ada ketentuan demikian.
Hadis Marfu' ialah hadis yang sumbernya dari Nabi SAW. dan disandarkan kepadanya baik berupa ucapan, perbuatan, taqrir, atau sifat-sifat beliau. Misalnya: Diriwayatkan dari Abu Hurairah, ia mengatakan bahwa Rasulullah SAW. bersabda: أَكْمَلُ الْمُؤْمِنِينَ إِيمَانًا أَحْسَنُهُمْ خُلُقًا Orang mukmin yang sangat sempurna imannya ialah yang sangat baik akhlaknya. (HR. Abu Daud).
Hadis Mauquf ialah hadis yang sumbernya dari sahabat dan disandarkan kepadanya dan tidak sampai kepada sahabat. Salah satu contohnya adalah pernyataan Ibnu Abbas, أَنَّ رَفْعَ الصَّوْتِ بِالذِّكْرِ حِينَ يَنْصَرِفُ النَّاسُ مِنْ الْمَكْتُوبَةِ كَانَ عَلَى عَهْدِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَقَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ كُنْتُ أَعْلَمُ إِذَا انْصَرَفُوا بِذَلِكَ إِذَا سَمِعْتُهُ.) صحيح البخاري ج 1 ص 288) Bahwa pada masa Nabi SAW. Dzikir yang dimaksud ialah membaca istighfar, tasbih, tahmid, takbir, dan bacaan lainnya.[2] Pernyataan Ibnu Abbas tersebut dipertegas lagi oleh Abdullah bin Zubair, katanya: كان رسول الله صلى الله عليه وسلم إذا سلم من صلاته يقول بصوته الأعلى : " لا إله إلا الله وحده لا شريك له له الملك وله الحمد وهو على كل شيء قدير لا حول ولا قوة إلا بالله لا إله إلا الله ولا نعبد إلا إياه له النعمة وله الفضل وله الثناء الحسن لا إله إلا الله مخلصين له الدين ولو كره الكافرون (رواه مسلم) مشكاة المصابيح ج 1 ص211) Adalah Rasulullah SAW. apabila usai shalat dan memberi salam membaca dengan suara keras Lâ Ilâha illâ Allâh wahdahu lâ Syarîka lahu lahul mulku wa lahul hamdu wa huwa 'alâ kulli syaiin Qadîr. Lâ haula wa lâ Quwwata illâ billâh. Lâ Ilâha illâ Allâh wa lâ Na'budu illâ Iyyâhu lahunni'mah wa lahul fadhlu wa lahuts-tsanâu al-hasan. Lâ Ilâha illâ Allâhu Mukhlishîna lahuddîn wa lau karihal kâfirûn. (HR. Muslim). d. Hadis Maqthu' Hadis Maqthu' ialah hadis yang sumbernya dari tabiin dan disandarkan kepadanya. Contoh pernyataan Mujahid seorang tabiin. Ia mengatakan: كان النبي صلى الله عليه وسلم يظهر من التلبية لبيك اللهم لبيك Adalah Nabi SAW. mengeraskan bacaan talbiyah: Labbaika Allâhumma Labbaika. (HR. Syafi'i). 2. Dilihat dari segi kualitasnya, hadis terbagi atas:
Klasifikasi hadis tersebut beserta contoh-contohnya akan dibahas tersendiri pada pembahasan mengenai hadis sahih dan hadis hasan serta pembahasan khusus hadis daif. 3. DiIlihat dari segi kuantitasnya, hadis terbagi atas: a. Hadis Mutawatir Hadis mutawatir ialah hadis yang diriwayatkan oleh sejumlah besar periwayat yang ada pada semua tingkatan dan para periwayat tersebut mustahil mereka berkumpul untuk berdusta serta diterima secara langsung melalui panca indera. Sejumlah besar periwayat yang dimaksud terdapat beberapa pendapat para ulama hadis. Ada yang berpendapat minimal 70 orang, 40 orang, 20 orang, dan ada juga yang berpendapat 10 orang. Kata DR. Mahmud ath-Thahhan (t.th.: 19) sejumlah besar periwayat yang dimaksud ialah 10 orang. Pendapat inilah yang terpilih. Contoh hadsi yang diriwayatkan dari Abu Hurairah, Rasulullah SAW. bersabda: من كذب علي متعمدا فليتبوأ مقعده من النار Barangsiapa yang berdusta atas namaku dengan sengaja, maka bersiaplah menempati posisinya dalam neraka. (HR. Muslim). Hadis ini diriwayatkan dari 70 sahabat Nabi. Hadis mutawatir sangat tinggi kualitas dan validitasnya. Hadis mutawatir lebih tinggi kualitasnya daripada hadis sahih. Kalau sudah menyebut hadis mutawatir, tidak perlu ada istilah hadis mutawair yang sahih, sebab memang tidak ada istilah hadis muttawatir sahih. b. Hadis Ahad Dalam pengertian bahasa, kata "Ahad" berasal dari kata "wahid" artinya satu. Hadis ahad artinya hadis diriwayatkan satu satu. Sedangkan dalam istilah ilmu hadis pengertian hadis ahad ialah hadis yang tidak sampai derajat hadis mutawatir. Hadis Ahad terbagi atas: 1) Hadis masyhur Hadis masyhur ialah hadis yang diriwayatkan tiga periwayat atau lebih pada setiap tingkatan dan tidak sampai memenuhi syarat hadis mutawatir. Contoh hadis yang diriwayatkan dari Abdullah bin 'Amr bin 'Ash, ia mendengar Rasulullah SAW. bersabda: إن الله لا يقبض العلم انتزاعا ينتزعه من العباد ولكن يقبض العلم بقبض العلماء حتى إذا لم يبق عالما اتخذ الناس رؤوسا جهالا فسئلوا فأفتوا بغير علم فضلوا وأضلوا Sesungguhnya Allah tidak mencabut ilmu dengan cara mencabutnya dari hamba-hamaba-Nya. Akan tetapi ilmu itu dicabut dengan cara wafatnya para ulama sehingga ketika tidak ada lagi ulama, maka manusia akan mengangkat pemimpin yang bodoh. Lalu masyarakat akan bertanya kepadanya, maka ia pun menjawabnya tanpa didasari ilmu sehingga mereka sesat sekaligus menyesatkan. (HR. Bukhari, Muslim, Tirmidzi, Ibn Majah, dan Ahmad ibn Hambal). Pengertian hadis masyhur juga dimaknai sebagai hadis populer. Pengertian ini bukan karena jumlah periwayatnya, tapi lebih karena popularitasnya. Ada hadis masyhur atau populer di kalangan ahli fikih, seperti yang diriwayatkan dari Abu Said al-Khudri, Nabi SAW. bersabda: لا ضرر ولا ضرار Tidak boleh melakukan yang berbahaya bagi diri dan tidak boleh melakukan yang berbahaya bagi orang lain. (HR. Hakim). Ada hadis masyhur di kalangan ahli ushul fikih, seperti hadis yang diriwayatkan dari Abdullah bin 'Amr bin 'Ash, Nabi SAW. bersabda: إذا حكم الحاكم فاجتهد ثم أصاب فله أجران وإذا حكم فاجتهد ثم أخطأ فله أجر Kalau seorang hakim membuat keputusan, lalu ia berijtihad dan benar, maka ia mendapatkan dua pahala. Dan kalau ia membuat keputusan lalu berijtihad dan ijtihadnya salah, maka ia mendapat satu pahala. (HR. Bukhari). Ada hadis populer di kalangan ahli pendidikan, seperti hadis dari Anas ibn Malik, sabda Nabi SAW. اُطْلبُوُا اْلعِلْمَ وَلَوْ بِالصِّيْن "Tuntutlah ilmu walau sampai ke negeri Hadis ini kualitasnya sangat daif. yaitu hadis munkar, bahkan ada yang menilainya sebagai hadis palsu. Demikian juga hadis popular yang diriwayatkan dari Ibnu Mas'ud, sabda Nabi SAW. أدبني ربي فأحسن تأديبي Tuhanku telah mendidik aku, dan sangat baik didikannya kepadaku. (HR. As-Sam'ani). Hadis ini kualitasnya juga daif. 2) Hadis 'aziz Hadis `Aziz ialah hadis yang diriwayatkan tidak kurang dari dua periwayat pada semua tingkatan sanad. Contoh hadis 'aziz yang diriwayatkan dari Anas bin Malik, Nabi SAW. bersabda: لا يؤمن أحدكم حتى أكون أحب إليه من والده وولده والناس أجمعين Tidak sempurna iman seseorang di antara kalian hingga aku lebih dicintai daripada orang tuanya, anaknya dan semua manusia. (HR. Bukhari). 3) Hadis gharib Hadis Gharib ialah hadis yang diriwayatkan hanya seorang periwayat. Contoh hadis yang diriwayatkan dari Anas bin Malik, ia mengatakan: أن رسول الله صلى الله عليه وسلم دخل عام الفتح وعلى رأسه المغفر Bahwa Rasulullah SAW. masuk 4. Dilihat dari segi hujjah, hadis terbagi atas:
KEDUDUKAN HADIS DALAM ISLAM
Pengkajian hadis adalah penting dan tetap aktual, sebab kedudukannya dalam Islam sangat penting. Hadis sebagai sumber ajaran Islam yang kedua, setelah al-Qur'an. Sumber ajaran yang dimaksud meliputi sebagai sumber ajaran akidah, ibadah, akhlak, dakwah, pendidikan dan peradaban. Bagaimana mengidolakan dan meneladani Rasululllah SAW. dalam hidup dan kehidupan ini tentu berdasar pada pengetahuan hadis Nabi SAW.[3] Kedudukan hadis dalam Islam yang sangat penting ini didasarkan pada kedudukan Nabi SAW. yang diberi rekomendasi dan otoritas oleh Allah. Misalnya Allah membahasakan keberadaan Nabi Saw. sebagai li tukhrija an-Nâs min azh-Zhulumâti ilâ an-Nûr (Allah mengutus Nabi SAW. untuk mengeluarkan manusia dari alam kegelapan menuju alam terang benderang). (QS. Ibrahim/14: 1). Latahdi ilâ Shirâth al-Mustaqîm (untuk memberi petunjuk menuju pada jalan Shirat al-Mustaqim). (QS. Asy-Sura/42: 52). Li Tubayyina li an-Nâs ma Nuzzila Ilaihim (untuk menjelaskan kepada manusia apa yang diturunkan kepada mereka). (QS. An-Nahl/16: 44). Li Tubayyina lahum al-Ladzi ikhtalafû fihi (untuk menjelaskan kepada manusia apa yang mereka perselisihkan). (QS. An-Nahl/16: 64). Li Tahkuma baina an-Nasi bima Araka Allah (untuk mengadili di antara manusia dengan apa yang telah diwahyukan Allah). (QS. An-Nisa’/4: 105), dan redaksi lainnya. Selain dengan ungkapan tersebut, Allah menegaskan eksistensi hadis, dengan firman-Nya: وَمَا آتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah. Dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah. (QS. Al-Hasyr [59]: 7 ). Al-Qur'an sebagai sumber pertama dan utama membutuhkan penjelasan mengenai isi kandungannya dari hadis. Bahkan para ulama hadis seringkali menyatakan bahwa al-Qur'an lebih banyak membutuhkan hadis, daripada hadis membutuhkan al-Qur'an, sebab bahasa al-Qur'an banyak bersifat umum dan global sehingga sulit dipahami kecuali setelah ada penjelasannya dari hadis Nabi SAW.. Oleh karena itu, salah satu syarat mutlak yang harus dipenuhi bagi mereka yang ingin menafsirkan al-Qur'an ialah harus tahu dan mengerti hadis dan ilmu hadis serta sejarah perjalanan kehidupan Nabi SAW. Allah SWT. menegaskan keberadaan Nabi SAW. sebagai penjelas dan penafsir al-Qur’an. وَأَنْزَلْنَا إِلَيْكَ الذِّكْرَ لِتُبَيِّنَ لِلنَّاسِ مَا نُزِّلَ إِلَيْهِمْ Dan Kami turunkan kepadamu al-Qur'an, agar kamu (Muhammad) menjelaskan kepada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka). Aisyah isteri Rasulullah SAW. pernah ditanya oleh Sa`ad ibn Hisyam: "Bagaimana akhlak Rasulullah SAW.? Beliau menjawab: كَانَ خُلُقُهُ الْقُرْآنَ "Akhlak Rasulullah SAW. adalah al-Qur'an". (HR. Ahmad dari Aisyah).[4] Ayat dan hadis tersebut mengandung arti bahwa penjelasan secara konkrit mengenai isi kandungan al-Qur'an salah satunya ada pada hadis. Hadis Nabi SAW. baik berupa sabda, perbuatan, taqrir, atau pun hal ihwal kepribadian Nabi SAW. Dalam hadis lain bersumber dari Ibnu Abbas, Nabi SAW. bersabda ketika haji Wada': يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنِّيْ قَدْ تَرَكْتُ فِيْكُمْ مَا إِنْ اِعْتَصَمْتُمْ بِهِ فَلَنْ تَضِلُّوْا أَبَدًا: كِتَابَ اللهِ وَ سُنَّةَ نَبِيِّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ Wahai sekalian manusia, sesungguhnya aku telah tinggalkan kepada kalian, jika berpegang teguh pada keduanya niscaya tidak akan sesat selamanya, yaitu Kitab Allah (al-Qur'an) dan Sunnah Nabi SAW. (HR. Hakim). Imam Malik, Al-Baihaqy dan Ibnu Abdil Bar juga meriwayatkan hadis yang semakna dengan hadis riwayat Hakim di atas dengan susunan redaksi agak berbeda, namun maksudnya sama. Dengan demikian, posisi hadis dalam Islam sangat signifikan dan urgen.
DALAM KAITANNYA DENGAN AL-QUR’AN Kedudukan hadis dalam Islam sangat penting sebagaimana disebutkan di atas. Hal ini semakin jelas dilihat dari kedudukan Nabi SAW. sebagai penjelas atau penafsir al-Qur'an. Allah SWT. sendiri menegaskan dalam al-Qur'an. وَأَنْزَلْنَا إِلَيْكَ الذِّكْرَ لِتُبَيِّنَ لِلنَّاسِ مَا نُزِّلَ إِلَيْهِمْ Dan Kami turunkan kepadamu al-Qur'an, agar kamu (Muhammad) menjelaskan kepada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka). (QS. An-Nahl [16]: 44). Namun demikian, bukan berarti bahwa semua ayat al-Qur’an tidak jelas kecuali ada penafsirannya dari hadis, sebab ayat-ayat al-Qur’an dilihat dari sisi tafsir terdiri atas beberapa macam, sebagaimana dipetakan oleh Ibnu Abbas (68 H/687 M), yaitu ada empat macam; 1. ayat-ayat yang (hampir) semua orang tahu maksudnya. 2. ayat-ayat yang tidak diketahui maksudnya kecuali ahli bahasa arab, 3. ayat-ayat yang tidak diketahui maksudnya kecuali ijtihad para ulama, 4. ayat-ayat yang tidak diketahui maksudnya kecuali Allah. إِنَّ اللهَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ Sesungguhnya Allah maha kuasa atas segala sesuatu. (QS. Al-Baqarah [2]: 20) Semua orang tahu bahwa Allah maha kuasa atas segala sesuatu. Ayat seperti ini dapat dipahami melalui terjemahannya saja. Berbeda dengan ayat-ayat umumnya yang terkadang lain yang disebutkan, namun lain pula yang dimaksudkan. Inilah yang kemudian perlunya tafsir, baik tafsir dengan pendekatan bahasa Arab atau pun ijtihad para ulama. Misalnya: وَالْفِتْنَةُ أَشَدُّ مِنَ الْقَتْلِ Fitnah lebih keras bahayanya dari pembunuhan. (QS. Al-Baqarah [2]: 191 Kata "fitnah" dalam ayat ini tidak seperti yang dipahami menurut bahasa Indonesia. Kalau ada orang yang mencemarkan nama baiknya, membuat gosip, membohongi, disebut fitnah. Para ulama tafsir dalam kitab-kitab tafsirnya[5] menyebutkan bahwa yang dimaksud kata fitnah dalam ayat tersebut adalah syirik. Syirik lebih berbahaya daripada membunuh. Dengan syirik akan menghapus semua amal baik yang pernah dilkukan, bahkan dengan tegas Allah berfirman: إِنَّ اللهَ لاَ يَغْفِرُ أَنْ يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ مَا دُونَ ذَلِكَ لِمَنْ يَشَاءُ Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya. (QS. An-Nisa’ [4]: 48). Allah mengampuni dosa-dosa yang lain, sedang syirik tidak diampuni). Itulah yang dimaksud besar bahayanya. Dengan demikian, ayat-ayat yang tidak diketahui kecuali atas bantuan informasi yang disampaikan para ulama dan pendekatan bahasa Arab yang sangat menentukan penjelasan al-Qur’an itu. Dalam konteks inilah kemudian keberadaan hadis yang banyak diketahui para ulama yang menjelaskan maksud al-Qur’an tersebut. Para ulama telah merumuskan secara rinci dan jelas bahwa fungsi hadis Nabi SAW. terhadap al-Qur’an, di antaranya adalah: Pertama, bayân at-ta'kîd, yakni hadis berfungsi sebagai penjelasan yang bersifat menguatkan, menekankan, atau mempertegas apa yang terdapat di dalam al-Qur'an. Misalnya hadis yang bersumber dari Tsauban bahwa Nabi SAW. bersabda: وَإِنَّهُ سَيَكُونُ فِي أُمَّتِي ثَلاَثُونَ كَذَّابُونَ كُلُّهُمْ يَزْعُمُ أَنَّهُ نَبِيٌّ وَأَنَا خَاتَمُ النَّبِيِّينَ لاَ نَبِيَّ بَعْدِي (رواه الترمذي) Sesungguhnya akan ada nanti di kalangan umatku 30-an orang pendusta semuanya mengaku sebagai nabi, padahal aku adalah penutup para nabi, tidak ada nabi sesudahku. (HR. Tirmidzi). Hadis ini memperjelas dan menegaskan apa yang sudah difirmankan Allah dalam al-Qur’an bahwa Nabi Muhammad SAW. adalah nabi terakhir, dan tidak ada lagi nabi sesudahnya. Dalam al-Qur’an, Allah berfirman: مَا كَانَ مُحَمَّدٌ أَبَا أَحَدٍ مِنْ رِجَالِكُمْ وَلَكِنْ رَسُولَ اللهِ وَخَاتَمَ النَّبِيِّينَ Muhammad itu sekali-kali bukanlah bapak dari seorang laki-laki di antara kamu, tetapi dia adalah Rasulullah dan penutup para nabi. (QS. Al-Ahzab [33]: 40). Hadis dan ayat tersebut sama-sama menjelaskan tentang Nabi Muhammad SAW. sebagai nabi terakhir, tidak ada lagi nabi sesudahnya. Keberadaan hadis tersebut mempertegas apa yang sudah disebutkan dalam al-Qur’an. Kalau sudah ada penafsiran dan penegasan dari hadis Nabi SAW. seperti ini, maka kalimat “خَاتَمَ النَّبِيِّينَ” (penutup para nabi) dalam ayat tersebut tidak perlu lagi ditafsir dengan analisis kebahasaan dan segala macam interpretasi. Apalagi kalau hal ini sudah menjadi ijma’ (kesepakatan para ulama). Itulah sebabnya, bagi mereka yang ingin menafsirkan al-Qur’an harus mengerti hadis dan ilmu hadis. Dikhawatirkan ayat yang sudah dijelaskan oleh hadis dengan sangat jelas tapi masih diutak atik dengan berbagai macam analisis. Apalagi kalau hanya sekedar untuk mencari pembenaran, bukan mencari kebenaran. Demikian juga hadis yang bersumber dari Abu Hurairah, bahwa Nabi SAW. bersabda: لاَ يَقْبَلُ اللهُ صَلاَةَ أَحَدِكُمْ إِذَا أَحْدَثَ حَتَّى يَتَوَضَّأَ Allah tidak menerima shalat seseorang di antara kalian kalau berhadats[6] sampai ia berwudhu. (HR.Bukhari). Hadis ini menegaskan bahwa shalat seseorang tidak sah kecuali ia berwudhu. Maksudnya, wudhu merupakan syarat sahnya shalat. Hadis ini mempertegas kembali apa yang disebutkan ayat al-Qur’an. يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا إِذَا قُمْتُمْ إِلَى الصَّلاَةِ فَاغْسِلُوا وُجُوهَكُمْ وَأَيْدِيَكُمْ إِلَى الْمَرَافِقِ وَامْسَحُوا بِرُءُوسِكُمْ وَأَرْجُلَكُمْ إِلَى الْكَعْبَيْنِ Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki. (QS. Al-Maidah [5]:6). Ayat ini memuat tentang dasar hukum bahwa syarat sah shalat ialah harus berwudhu terlebih dahulu. Ketetapan hukum dalam ayat ini tentang wudhu sebagai syarat sahnya shalat dipertegas lagi oleh hadis tersebut di atas. Kedua, Bayân at-tafsîr, yakni hadis berfungsi menjelaskan maksud kandungan ayat al-Qur'an. Penjelasan atau tafsir Nabi SAW. terhadap al-Qur’an terkadang hanya bersifat contoh saja sehingga tidak membatasi dan membakukan sebagaimana yang tertulis dalam hadis itu. Misalnya ketika Nabi SAW. menafsirkan ayat siapa yang dimaksud mereka yang dimurkai dan mereka yang sesat dalam ayat صِرَاطَ الَّذِينَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ غَيْرِ الْمَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ وَلاَ الضَّالِّينَ (yaitu) jalan orang-orang yang telah Engkau anugerahkan nikmat kepada mereka; bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat. (QS. Al-Fatihah: 7). Hadis Nabi SAW. menjelaskan bahwa yang dimaksud mereka yang dimurkai (الْمَغْضُوبِ) adalah orang-orang Yahudi, dan mereka yang sesat (الضَّالِّينَ) adalah orang Nasrani. (HR. Tirmidzi). Orang-orang Yahudi dimurkai oleh Allah salah satunya disebabkan karena mereka mengetahui kebenaran, tapi mereka menolak kebenaran itu. Demikian juga, orang-orang nasrani dikategorikan sesat juga disebabkan antara lain karena mereka mempunyai ilmu pengetahuan, namun ilmu pengetahuannya tidak mampu mengantarkan dirinya kepada kebenaran itu, bahkan justru semakin membuatnya jauh dari kebenaran. Hadis Nabi SAW. tersebut, tidak membatasi dan membakukan bahwa hanya orang-orang Yahudi dan Nasrani saja yang tergolong al-Maghdhub dan adh-Dhallin dalam surat al-Fatihah, namun hadis nabi SAW. tersebut menyebutkan sebagai contoh saja, sehingga siapa pun yang memiliki sifat dan karakter dasar yang sama dengan yang dimiliki orang-orang yahudi dan Nasrani sebagaimana disebutkan di atas, maka boleh jadi mereka juga tergolong dari al-maghdhub dan adh-Dhallin.[7] Penjelasan hadis terhadap al-Qur’an yang disebut sebagai bayân at-tafsir, oleh para ulama merumuskannya dalam tiga macam bentuk: a. Bayân at-tafshîl, yakni penjelasan hadis yang merinci maksud ayat al-Qur’an yang bersifat mujmal (global). Misalnya ayat وَأَقِيمُوا الصَّلاَةَ ”Dan dirikanlah shalat”. (QS. Al-Baqarah [2] : 43). Ayat ini memerintahkan shalat, namun tidak jelas bagaimana cara pelaksanaannya. Hadis Nabi SAW. yang menjelaskan secara rinci mengenai cara pelaksanaannya, sebagaimana dalam hadis yang bersumber dari Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu, ia menerangkan: أَنَّ رَجُلاً دَخَلَ الْمَسْجِدَ وَرَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ جَالِسٌ فِي نَاحِيَةِ الْمَسْجِدِ فَصَلَّى ثُمَّ جَاءَ فَسَلَّمَ عَلَيْهِ فَقَالَ لَهُ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَعَلَيْكَ السَّلاَمُ ارْجِعْ فَصَلِّ فَإِنَّكَ لَمْ تُصَلِّ فَرَجَعَ فَصَلَّى ثُمَّ جَاءَ فَسَلَّمَ فَقَالَ وَعَلَيْكَ السَّلاَمُ فَارْجِعْ فَصَلِّ فَإِنَّكَ لَمْ تُصَلِّ فَقَالَ فِي الثَّانِيَةِ أَوْ فِي الَّتِي بَعْدَهَا عَلِّمْنِي يَا رَسُولَ اللَّهِ فَقَالَ إِذَا قُمْتَ إِلَى الصَّلاَةِ فَأَسْبِغْ الْوُضُوءَ ثُمَّ اسْتَقْبِلْ الْقِبْلَةَ فَكَبِّرْ ثُمَّ اقْرَأْ بِمَا تَيَسَّرَ مَعَكَ مِنْ الْقُرْآنِ ثُمَّ ارْكَعْ حَتَّى تَطْمَئِنَّ رَاكِعًا ثُمَّ ارْفَعْ حَتَّى تَسْتَوِيَ قَائِمًا ثُمَّ اسْجُدْ حَتَّى تَطْمَئِنَّ سَاجِدًا ثُمَّ ارْفَعْ حَتَّى تَطْمَئِنَّ جَالِسًا ثُمَّ اسْجُدْ حَتَّى تَطْمَئِنَّ سَاجِدًا ثُمَّ ارْفَعْ حَتَّى تَطْمَئِنَّ جَالِسًا ثُمَّ افْعَلْ ذَلِكَ فِي صَلاَتِكَ كُلِّهَا (البخاري) ج 5 ح 2207) Bahwa ada seorang laki-laki masuk ke masjid, dan Rasulullah SAW. sedang duduk di salah satu pojok masjid. Lalu orang tersebut shalat. Setelah shalat, ia datang kepada Nabi SAW. dan mengucapkan salam kepadanya. Beliau menjawab salamnya wa 'alaikassalam. Ulangilah shalat Anda! Anda belum shalat. Setelah sampai tiga kali berulang, akhirnya orang itu berkata: "Wahai Rasulullah, ajarilah aku tentang cara shalat. Rasulullah SAW. mengajarkan, kalau Anda hendak shalat sempurnakanlah wudhumu, lalu menghadaplah kiblat, dan bertakbir ihramlah, kemudian bacalah ayat al-Qur'an yang mudah bagimu. Kemudian ruku'lah hingga tenang, lalu bangkitlah dari ruku' hingga berdiri tegak lurus. Seterusnya sujudlah hingga tenang, kemudian bangkit dari sujud hingga tenang. Laksanakanlah yang demikian itu semuanya dalam shalatmu. (HR. Bukhari). Demikian juga, dalam al-Qur'an Allah berfirman: إِنَّ الصَّلاَةَ كَانَتْ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ كِتَابًا مَوْقُوتًا Sesungguhnya shalat itu adalah kewajiban yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman. (QS. An-Nisa' [4]: 103). Waktu-waktu yang ditentukan itu, kapan? Hadis Nabi SAW. yang menguraikan secara rinci tentang waktu shalat shubuh, dhuhur, ashar, maghrib, dan Isya. Sebagaimana dalam hadis yang bersumber dari Abdullah bin 'Amr, bahwa Nabi SAW. bersabda: وَقْتُ الظُّهْرِ إِذَا زَالَتْ الشَّمْسُ وَكَانَ ظِلُّ الرَّجُلِ كَطُولِهِ مَا لَمْ يَحْضُرْ الْعَصْرُ وَوَقْتُ الْعَصْرِ مَا لَمْ تَصْفَرَّ الشَّمْسُ وَوَقْتُ صَلاَةِ الْمَغْرِبِ مَا لَمْ يَغِبْ الشَّفَقُ وَوَقْتُ صَلاَةِ الْعِشَاءِ إِلَى نِصْفِ اللَّيْلِ الْأَوْسَطِ وَوَقْتُ صَلاَةِ الصُّبْحِ مِنْ طُلُوعِ الْفَجْرِ مَا لَمْ تَطْلُعْ الشَّمْسُ فَإِذَا طَلَعَتْ الشَّمْسُ فَأَمْسِكْ عَنْ الصَّلاَةِ فَإِنَّهَا تَطْلُعُ بَيْنَ قَرْنَيْ شَيْطَانٍ Waktu shalat dhuhur ialah ketika matahari sudah tergelincir sampai baying-bayang seseorang itu sama panjang dengan badannya, yakni sebelum masuk waktu ashar. Waktu ashar ialah sampai matahari belum lagi kuning cahayanya. Waktu shalat maghrib ialah selama syafaq awan merah belum lagi lenyap. Waktu shalat isya sampai tengah malam kedua, sedang waktu shalat subuh ialah mulai terbit fajar sampai terbitnya matahari, kalau matahari telah terbit, maka hentikanlah shalat karena ia terbit di antara dua tanduk setan. (HR. Muslim). Dalam al-Qur'an, Allah berfirman: وَلِلَّهِ عَلَى النَّاسِ حِجُّ الْبَيْتِ مَنِ اسْتَطَاعَ إِلَيْهِ سَبِيلاً Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah. (QS. Ali 'Imran [3]: 97). وَأَتِمُّوا الْحَجَّ وَالْعُمْرَةَ لِلَّهِ Dan sempurnakanlah ibadah haji dan `umrah karena Allah. (QS. Al-Baqarah: 196). Kedua ayat tersebut menerangkan mengenai kewajiban bagi umat Islam yang mampu melaksanakan ibadah haji. Hanya saja batas kewajiban bagi mereka yang mampu, bagaimana kalau ada udzur, dan atau menggantikan haji orang tua, tidak ada penjelasannya dalam ayat al-Qur’an. Maka di sinilah keberadaan hadis Nabi SAW. menjelaskan secara rinci. Sebagaimana diriwayatkan dari Abu Hurairah, katanya Rasulullah SAW. menceramahi kami. Beliau bersabda: أَيُّهَا النَّاسُ قَدْ فَرَضَ اللهُ عَلَيْكُمْ الْحَجَّ فَحُجُّوا فَقَالَ رَجُلٌ أَكُلَّ عَامٍ يَا رَسُولَ اللهِ فَسَكَتَ حَتَّى قَالَهَا ثَلاَثًا فَقَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَوْ قُلْتُ نَعَمْ لَوَجَبَتْ وَلَمَا اسْتَطَعْتُمْ Wahai sekalian manusia! Sesungguhnya Allah mewajibkan atas kalian ibadah haji, maka laksanakanlah ibadah haji. Lalu seorang laki-laki bertanya wahai Rasulullah: "Apakah kewajiban itu setiap tahun? Beliau diam sehingga orang tersebut mengulangi pertanyaannya sampai tiga kali. Rasulullah SAW. menjawab: "Seandainya aku menjawab "ya", maka wajiblah setiap tahun dan kalian tidak akan mampu melaksanakannya. (HR. Muslim). Hadis ini memperjelas bahwa kewajiban haji hanya sekali dalam setahun. Demikian juga dalam riwayat dari Ibnu Abbas, ia mengetakan: أَنَّ امْرَأَةً مِنْ جُهَيْنَةَ جَاءَتْ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَتْ إِنَّ أُمِّي نَذَرَتْ أَنْ تَحُجَّ فَلَمْ تَحُجَّ حَتَّى مَاتَتْ أَفَأَحُجُّ عَنْهَا قَالَ نَعَمْ حُجِّي عَنْهَا أَرَأَيْتِ لَوْ كَانَ عَلَى أُمِّكِ دَيْنٌ أَكُنْتِ قَاضِيَةً اقْضُوا اللَّهَ فَاللَّهُ أَحَقُّ بِالْوَفَاءِ Bahwa seorang perempuan dari Juhainah datang kepada Nabi SAW. bertanya: "Ibuku telah bernadzar untuk melaksanakan haji, namun belum sempat melaksanakannya ia meninggal, apakah aku boleh menghajikannya? Nabi SAW. menjawb: "Ya, hajikanlah dia. Bagaimana pendapatmu, seandainya ibumu berhutang kepada orang lain, apakah engkau harus membayarnya? Bayarlah hutangnya kepada Allah. Hutang kepada Allah jauh lebih wajib dibayar. (HR. Bukhari). عَنْ الْفَضْلِ أَنَّ امْرَأَةً مِنْ خَثْعَمَ قَالَتْ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّ أَبِي شَيْخٌ كَبِيرٌ عَلَيْهِ فَرِيضَةُ اللَّهِ فِي الْحَجِّ وَهُوَ لاَ يَسْتَطِيعُ أَنْ يَسْتَوِيَ عَلَى ظَهْرِ بَعِيرِهِ فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَحُجِّي عَنْهُ Diriwayatkan dari al-Fadhl bahwa seorang perempuan dari Khats'am bertanya kepada Rasulullah SAW.: "Wahai Rasulullah, ayahku sudah lanjut usia dan wajib haji, namun tidak sanggup duduk di atas kendaraan unta. Nabi SAW. menjawab: "Hajikanlah dia". (HR. Muslim). Hadis ini menjelaskan bahwa bagi orang yang sudah wajib haji, namun tak dapat melaksanakannya karena ada udzur, maka boleh dihajikan ahli warisnya. Demikian pula ayat: وَآتُوا الزَّكَاةَ Dan tunaikanlah zakat. (QS. Al-Baqarah: 43). Khusus zakat fitrah mengenai subyek dan obyek, siapa yang wajib mengeluarkan dan apa yang harus dikeluarkan tidak dijelaskan dalam ayat al-Qur'an tersebut. Hadis Nabi SAW. yang menguraikannya secara rinci, sebagaimana diriwayatkan dari Ibnu Umar, katanya: فَرَضَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ زَكَاةَ الْفِطْرِ صَاعًا مِنْ تَمْرٍ أَوْ صَاعًا مِنْ شَعِيرٍ عَلَى الْعَبْدِ وَالْحُرِّ وَالذَّكَرِ وَالْأُنْثَى وَالصَّغِيرِ وَالْكَبِيرِ مِنْ الْمُسْلِمِينَ وَأَمَرَ بِهَا أَنْ تُؤَدَّى قَبْلَ خُرُوجِ النَّاسِ إِلَى الصَّلاَةِ (متفق عليه) Rasulullah SAW. mewajibkan zakat fitrah berupa satu sha' kurma atau satu sha' anggur bagi umat Islam; budak, merdeka, laki-laki, perempuan, anak-anak dan orang tua yang sudah lanjut usia. Beliau memerintahkan mengeluarkannya sebelum berangkat pergi shalat id. (HR. Sepakat Bukhari dan Muslim). b. Bayân at-taqyîd, yakni fungsi hadis sebagai penjelasan yang bersifat membatasi pengertian ayat al-Qur'an yang mutlak, misalnya ayat: وَالسَّارِقُ وَالسَّارِقَةُ فَاقْطَعُوا أَيْدِيَهُمَا Pencuri Laki-laki dan perempuan, potonglah tangan keduanya. (QS. Al-Maidah [5]: 38). Kata ”Pencuri” dalam ayat tersebut bersifat mutlak. Pencuri macam apa? Barang curian apa yang menyebabkan boleh diberlakukan hukum potong tangan. Apakah kalau orang mencuri hand phone yang nilai harganya hanya Rp. 500.000 sudah harus dipotong tangannya? Demikian juga kata ”tangan”, batasannya sampai dimana? Kemutlakan yang disebutkan dalam ayat tersebut akan dibatasi oleh adanya penjelasan hadis baik berupa perbuatan Nabi SAW. maupun ucapannya. Misalnya Rasulullah SAW. menjelaskannya. لاَ قَطْعَ إِلاَّ فِيْ رُبُعِ دِيْنَارٍ فَصَاعِدَا Potong tangan tidak berlaku, kecuali bagi orang yang mencuri senilai seperempat dinar atau lebih. (HR. Bukhari dan Muslim). Penjelasan hadis ini membatasi bahwa hukum potong tangan akan berlaku kalau barang yang dicuri itu sudah sampai pada batasan 1/4 dinar atau lebih. Dalam kajian hukum fikih, terdapat beberapa riwayat yang dijadikan dasar hukum oleh para ulama dalam menentukan batasan minimal harta yang dicuri. Selain yang disebutkan dalam hadis tersebut, yakni ¼ Dinar, ada juga yang menyebutnya batasannya adalah senishab harta yang dizakati, yakni 93,6 gram emas. Demikian juga batasan tangan yang dipotong dijelaskan melalui perbuatan Nabi SAW. Batasan hukum potong tangan pada pergelangan. Dalam al-Qur'an, Allah berfirman: مِنْ بَعْدِ وَصِيَّةٍ تُوصُونَ بِهَا أَوْ دَيْنٍ … sesudah dipenuhi wasiat yang dibuatnya atau sesudah dibayar hutangnya … (QS. An-Nisa' [4]: 12). Dalam al-Qur'an tidak ada batasan maksimal berapa jumlah harta yang boleh diwasiatkan. Hadis Nabi SAW. yang menjelaskan batasan maksimalnya, sebagaimana hadis yang diriwayatkan dari Sa'ad bin Abi Waqqash, ketika meminta kepada Nabi SAW. agar diizinkan berwasiat 2/3 harta warisannya. Nabi SAW. menolak permintaan Sa'ad. Kemudian minta izin lagi 1/2 saja diwasiatkan, beliau pun tetap menolak. Kemudian Sa'ad minta izin lagi hanya 1/3 hartanya akan diwasiatkan. Nabi SAW. menyetujui dan bersabda: الثُّلُثُ وَالثُّلُثُ كَثِيرٌ أَنْ تَدَعَ وَرَثَتَكَ أَغْنِيَاءَ خَيْرٌ مِنْ أَنْ تَدَعَهُمْ عَالَةً يَتَكَفَّفُوْنَ النَّاسَ فِي أَيْدِيهِمْ Sepertiga saja, sepertiga sudah banyak, engkau meninggalkan ahli warismu dalam keadaan kaya itu lebih baik dari pada engkau meninggalkan mereka dalam keadaan miskin yang akan menjadi beban dan tanggungan orang lain.” (HR. Bukhari, Muslim, Tirmidzi, Nasai, dan Ahmad dari Sa’ad ibn Abi Waqqas). Berdasarkan hadis ini para ulama menetapkan bahwa batasan maksimal harta yang dapat diwasiatkan adalah sepertiganya. c. Bayân at-takhshish, yakni hadis berfungsi sebagai penjelasan yang bersifat mengkhususkan ayat al-Qur’an yang bersifat umum. Misalnya ayat: وَللهِ الْمَشْرِقُ وَالْمَغْرِبُ فَأَيْنَمَا تُوَلُّوا فَثَمَّ وَجْهُ اللهِ Dan kepunyaan Allah-lah timur dan barat, maka ke manapun kamu menghadap di situlah wajah Allah. (QS. Al-Baqarah [2]: 115). Secara tekstual ayat ini adalah bersifat umum. Kalau dipahami secara umum dari tekstual redaksinya, maka shalat menghadap ke arah mana saja hukumnya boleh. Pemahaman dan penerapan hukum seperti ini adalah sangat keliru, sebab salah satu syarat sahnya shalat adalah menghadap kiblat.[8] Oleh karena itu ayat tersebut di atas dapat dipahami dengan baik dan benar setelah ada penjelasan dari hadis Nabi SAW. Sebagaimana asbâb an-nuzûl ayat ini yaitu: Ketika Rasulullah SAW. tengah dalam perjalanan dari Mekah menuju Madinah, beliau shalat (sunnat) di atas kendaraannya menghadap sesuai dengan arah tujuan kendaraannya, pada saat inilah turun ayat tersebut. (HR. Muslim dari Ibn Umar).[9] Berdasarkan penjelasan hadis berupa asbâb an-nuzûl ini, maka melaksanakan shalat boleh menghadap ke arah mana saja, kalau dalam kondisi tertentu yang tidak memungkinkan menghadapkan wajahnya ke arah kiblat, misalnya shalat dalam keadaan musafir. Demikian juga hadis yang diriwayatkan dari 'Ubbadah bin Shamit, bahwa Rasulullah SAW. bersabda: لاَ صَلاَةَ لِمَنْ لَمْ يَقْرَأْ بِفَاتِحَةِ اْلكِتَابِ Tidak ada shalat bagi orang yang tidak membaca surat al-Fatihah. (HR. Bukhari dan Muslim dari 'Ubbadah bin ash-Shamit). Mayoritas ulama memahami kalimat "tidak ada shalat, maksudnya tidak sah". Oleh karena itu, hadis ini dijadikan dasar penetapan bahwa membaca al-Fatihah merupakan rukun shalat. Dalam hubungannya dengan al-Qur'an, hadis ini sebagai penjelasan yang bersifat khusus dan membatasi keumuman ayat berikut: وَإِذَا قُرِئَ الْقُرْءَانُ فَاسْتَمِعُوا لَهُ وَأَنْصِتُوا لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُونَ Dan apabila dibacakan Al-Qur'an, maka dengarkanlah baik-baik, dan diamlah perhatikanlah dengan tenang agar kamu mendapat rahmat. (QS. Al-A'raf [7]: 204). Ayat ini menegaskan bahwa siapa saja yang mendengar bacaan al-Qur'an harus mendengarkannya dan diam, kecuali orang yang sedang shalat, ia boleh membaca surat al-Fatihah. Pengecualian ini didasarkan pada hadis riwayat Bukhari dan Muslim di atas. Dalam al-Qur'an Allah berfirman: إِنَّ الصَّلاَةَ كَانَتْ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ كِتَابًا مَوْقُوتًا Sesungguhnya shalat itu adalah kewajiban yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman. (QS. An-Nisa' [4]: 103). Ayat ini dengan tegas bahwa waktu shalat sudah ditentukan. Shalat subuh dilaksanakan pada waktu subuh. Shalat dhuhur dilaksanakan pada dhuhur. Shalat ashar dilaksanakan pada waktu ashar. Shalat magrib dilaksanakan pada waktu maghrib, dan shalat isya dilaksanakan pada waktu isya. Hadis Nabi SAW. menjelaskan bahwa ada waktu-waktu tertentu boleh dijamak, maksudnya dua waktu shalat digabung menjadi satu. Misalnya, shalat Ashar dilakukan pada waktu dhuhur. Shalat dhuhur dilaksanakan pada waktu ashar. shalat isya dilaksanakan pada waktu maghrib. Penjelasan hadis tentang hal ini merupakan pengecualian dan pembatasan terhadap ayat tersebut di atas. Diriwayatkan dari Anas bin Malik, katanya: كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا ارْتَحَلَ قَبْلَ أَنْ تَزِيغَ الشَّمْسُ أَخَّرَ الظُّهْرَ إِلَى وَقْتِ الْعَصْرِ ثُمَّ نَزَلَ فَجَمَعَ بَيْنَهُمَا فَإِنْ زَاغَتْ الشَّمْسُ قَبْلَ أَنْ يَرْتَحِلَ صَلَّى الظُّهْرَ ثُمَّ رَكِبَ (رواه البخاري) Rasulullah SAW. apabila hendak berangkat sebelum matahari condong ke barat (sebelum masuk waktu dhuhur) beliau menunda shalat dhuhur ke waktu shalat ashar. Kemudian beliau berhenti dari perjalananya dan menggabungkan pelaksanaan shalat dhuhur dan ashar. Apabila matahari sudah condong ke barat (waktu dhuhur sudah masuk) sebelum berangkat, beliau shalat dhuhur kemudian naik atas kendaraan lalu berangkat. (HR. Bukhari). Contoh lain lagi, misalnya dalam al-Qur'an, Allah berfirman: يُوصِيكُمُ اللهُ فِي أَوْلاَدِكُمْ لِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ الْأُنْثَيَيْنِ Allah mensyariatkan bagimu tentang (pembagian harta warisan) untuk anak-anakmu. Yaitu: bagian seorang anak lelaki sama dengan bagian dua orang anak perempuan. (QS. An-Nisa' [4]: 11).. Ayat ini bersifat umum bahwa anak akan mewarisi harta orang tuanya. Demikian juga sebaliknya, orang tuanya akan mewarisi anaknya. Namun, hadis Nabi SAW. mengkhususkan atau mengecualikan dalam beberapa hal. Misalnya kecuali bagi para nabi. Rasulullah SAW. bersabda: نَحْنُ مَعْشَرَ اْلأَنْبِيَاءِ لاَ نُوْرَثُ مَا تَرَكْنَاهُ صَدَقَةٌ Kami para nabi tidak diwarisi. Apa yang kami tinggalkan adalah sedekah. (HR. Bukhari dan Muslim). Hukum waris yang berlaku umum dalam ayat tersebut di atas di-takhsis atau dikecualikan orang yang membunuh orang yang akan diwarisi, sebagaimana dalam hadis yang bersumber dari Abu Hurairah, Rasulullah SAW. bersabda: لَيْسَ لِلْقَاتِلِ مِنَ الْمَقْتُوْلِ شَيْئٌ Bagi pembunuh tidak mewarisi orang yang dibunuhnya sedikit pun. (HR. Nasai). Dalam hadis lain yang juga bersumber dari Abu Hurairah, Rasulullah SAW. bersabda: اَلْقَاتِلُ لاَ يَرِثُ Orang yang membunuh itu tidak mewarisi harta (orang yang dibunuh). (HR. Ibnu Majah, II/913). Hukum waris yang berlaku umum sebagaimana disebutkan dalam ayat tersebut di atas juga di-takhsis atau dikecualikan bagi orang kafir. Hadis yang bersumber dari Usamah bin Zaid, bahwa Nabi SAW. bersabda: لاَ يَرِثُ الْمُسْلِمُ الْكَافِرَ وَلاَ الْكَافِرُ الْمُسْلِمَ Seorang muslim tidak mewarisi orang kafir dan orang kafir tidak mewarisi orang muslim. (HR. Bukhari). Ketiga Bayân tasyri' atau bayân taqrîr, maksudnya fungsi hadis sebagai penjelasan yang bersifat menetapkan hukum yang belum ditetapkan dalam al-Qur'an. Misalnya hadis yang melarang menikahi perempuan dengan cara memadukan isteri dan bibinya. لاَ تُنْكَحُ الْمَرْأَةُ عَلَى عَمَّتِهَا وَلاَ عَلَى خَالَتِهَا Tidak boleh menikahi seorang perempuan dan bibinya. (HR. Bukhari dan Muslim).[10] Ketetapan hukum bahwa tidak boleh memadukan isteri dengan bibinya dalam hadis ini belum ada ketentuannya dalam al-Qur'an. Hadislah yang menetapkan demikian. Demikian juga masalah binatang buas yang tidak boleh dimakan. Sebagaimana dalam hadis yang bersumber dari Ibnu Abbas, katanya: نَهَى رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ كُلِّ ذِيْ نَابٍ مِنَ السِّبَاعِ وَعَنْ كُلِّ ذِيْ مِخْلَبٍ مِنَ الطَّيْرِ Rasulullah SAW. melarang makan semua binatang buas yang bertaring dan semua burung yang mempunyai kuku cakar yang tajam. (HR. Muslim). Larangan Nabi SAW. dalam hadis ini menunjukkan larangan yang bersifat haram, bukan hanya sekedar larangan makruh. Hal ini dijelaskan dalam hadis lain yang bersumber dari Abu Hurairah, Nabi SAW. bersabda: كُلُّ ذِيْ نَابٍ مِنَ السِّبَاعِ فَأَكْلُهُ حَرَامٌ Semua binatang buas yang bertaring haram dimakan. (HR. Muslim). Hadis Nabi SAW. tersebut menetapkan hukum keharaman hewan buas dan semua burung yang mempunyai cakar. Dalam al-Qur'an yang diharamkan dimakan yaitu bangkai, darah mengalir, daging babi, dan yang disembelih tidak menyebut nama Allah. قُلْ لاَ أَجِدُ فِي مَا أُوحِيَ إِلَيَّ مُحَرَّمًا عَلَى طَاعِمٍ يَطْعَمُهُ إِلاَّ أَنْ يَكُونَ مَيْتَةً أَوْ دَمًا مَسْفُوحًا أَوْ لَحْمَ خِنْزِيرٍ فَإِنَّهُ رِجْسٌ أَوْ فِسْقًا أُهِلَّ لِغَيْرِ اللَّهِ بِهِ فَمَنِ اضْطُرَّ غَيْرَ بَاغٍ وَلاَ عَادٍ فَإِنَّ رَبَّكَ غَفُورٌ رَحِيمٌ Katakanlah: "Tiadalah aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaku, sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai, atau darah yang mengalir atau daging babi --karena sesungguhnya semua itu kotor-- atau binatang yang disembelih atas nama selain Allah. Barangsiapa yang dalam keadaan terpaksa sedang dia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka sesungguhnya Tuhanmu Maha Pengampun lagi Maha Penyayang." (QS. Al-An'am [6]: 145). Posisi hadis sebagai bayân ta'kîd dan bayân tafsîr tidak diperselisihkan para ulama. Sedangkan bayân taqrîr menetapkan hukum yang tidak ada dalam al-Qur'an masih diperdebatkan oleh para ulama, ada yang membolehkan ada juga yang tidak. Sedangkan bayân taqrîr yakni menetapkan hukum yang tidak ada dalam al-Qur'an, diperselisihkan oleh para ulama, ada yang membolehkan ada juga yang tidak.[11] Namun, imam Syafi'i bahkan mayoritas ulama membolehkan bahwa hadis Nabi SAW. mempunyai otoritas menetapkan hukum yang tidak ada ketetapannya dalam al-Qur'an, dengan alasan: 1. Banyak ayat al-Qur'an yang memberi otoritas kepada Nabi SAW. untuk ditaati. وَمَا آتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah. Dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah.. (QS. Al-Hasyr [59]: 7 ). 2. Hadis Nabi SAW. yang menunjukkan bahwa al-Qur'an dan hadis merupakan sumber utama. Diriwayatkan dari Ibnu Abbas, Nabi SAW. bersabda ketika haji Wada': يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنِّيْ قَدْ تَرَكْتُ فِيْكُمْ مَا إِنْ اِعْتَصَمْتُمْ بِهِ فَلَنْ تَضِلُّوْا أَبَدًا: كِتَابَ اللهِ وَ سُنَّةَ نَبِيِّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ Wahai sekalian manusia, sesungguhnya aku telah tinggalkan kepada kalian, jika berpegang teguh pada keduanya niscaya tidak akan sesat selamanya, yaitu Kitab Allah (al-Qur'an) dan Sunnah Nabi SAW. (HR. Hakim). 3. Selama Nabi SAW. diyakini ma'shum (terpelihara dari dosa), maka tidak ada halangan baginya untuk menetapkan syariat. Berdasar hal ini, maka Nabi SAW. berhak menetapkan hukum yang tidak diatur dalam al-Qur'an. Hadis-hadis Nabi SAW. yang sudah disepakati sebagai sumber ajaran Islam dan juga sebagai penjelas terhadap ayat-ayat al-Qur'an bahkan mempunyai otoritas dalam menetapkan hukum yang tidak ditetapkan dalam al-Qur'an sebagaimana dijelaskan di atas. Namun, persoalannya adalah ketika hadis-hadis itu tampak saling bertentangan antara satu dengan lainnya. Misalnya, ada hadis yang melarang makan dan minum dalam keadaan berdiri, sementara dalam hadis lain justru dinyatakan bahwa Nabi SAW. pernah minum dalam keadaan berdiri. Demikian juga hadis menyebutkan bahwa batal puasanya orang yang mencium isterinya dalam keadaan puasa, sementara dalam hadis lainnya bahwa Nabi SAW. sendiri pernah mencium isterinya dalam keadaan tengah berpuasa. Hadis-hadis seperti ini dalam kajian ilmu hadis disebut mukhtalif al-hadîts. Kajian mengenai mukhtalif al-hadîts ini termasuk instrument penting dalam penyelesaian pertentangan antara nas-nas syar`i (at-ta`ârudh baina an-nushûsh asy-syar`iyyah). Persoalan inilah yang ingin dikaji dalam buku ini dengan menampilkan beberapa teori dan metode dalam menyikapi pertentangan yang tampak antara satu hadis dengan hadis lainnya menurut ilmu hadis. Sebetulnya kajian ini merupakan kajian hadis, namun materi hadis yang disampaikan adalah materi hukum. Namun secara filosofisnya akan memperlihatkan cara bijak Nabi SAW. dalam menyikapi masalah sebagai bagian dari pendidikan dan dakwah. Oleh karena itu, kajian hadis bukan hanya semata-mata pada persoalan sahih atau daif-nya, namun memerlukan kajian dan analisis dari pelbagai sudut pandang dan konprehensif. Namun instrumen keilmuan yang digunakan terkadang terbatas terbatas, karena keluasan dan kedalaman ilmu pengkajinya juga terbatas.
HADIS SAHIH A. Definisi Hadis Sahih Hadis Sahih ialah الحديث الذي اتصل سنده بنقل العدل الضابط عن العدل الضابط الى مُنتهاه ولا يكون شاذا ولا مُعلّلا Hadis yang bersambung sanadnya diriwayatkan oleh periwayat yang `adil lagi dhabith dari periwayat lain yang juga `adil dan dhabith hingga akhir sanad, hadis itu tidak rancu dan tidak cacat. Kriteria Hadis Sahih
Kesahihan suatu hadis ditentukan oleh kriteria tertentu berupa periwayatnya bersifat `adil dan dhâbith, sanadnya bersambung dan bersih dari syâdz dan `illat. Dari terminologi tersebut, diketahui bahwa kriteria kesahihan suatu hadis terdiri atas: Kriteria pertama, `adil adalah suatu watak dan sifat yang sangat kuat yang mampu mengarahkan orangnya kepada perbuatan takwa, menjauhi perbuatan munkar dan segala sesuatu yang akan merusak murû’ah, harga diri. Kriteria adil ialah: a) beragama Islam, b) dewasa agar mempunyai kemampuan memikul tanggung jawab, mengemban kewajiban, dan meninggalkan hal-hal yang terlarang. c) berakal sehat agar dapat berlaku jujur dan berbicara tepat. d) bertakwa dengan menjauhi dosa-dosa besar dan tidak membiasakan perbuatan-perbuatan dosa kecil. e) bersifat murû’ah, memelihara harga diri yang agamis dan menghindari segala yang dapat merusak murû’ah-nya. Menghindari segala sesuatu yang dapat menjatuhkan harga diri manusia menurut tradisi masyarakat yang benar, seperti kencing di jalan, dan lain-lain. Kreiteria kedua, dhâbith adalah suatu sikap penuh kesadaran dan tidak lalai, kuat hapalan jika hadis yang diriwayatkan berdasarkan hapalan, dan benar tulisannya jika hadis yang diriwayatkannya berdasarkan tulisan, dan jika ia meriwayatkan hadis secara makna, maka ia tahu persis kata-kata apa yang sesuai digunakan. Suatu riwayat dari seorang periwayat dibandingkan dengan riwayat dari periwayat lain yang sudah dikenal tsiqah, jika riwayat tersebut sesuai walau hanya dari segi makna, atau lebih banyak yang sesuai daripada yang lainnya, maka ia disebut dhâbith. Namun, jika banyak yang menyalahi dan bertentangan, maka kedhabithannya cacat, sehingga riwayatnya tidak dapat dijadikan hujjah. Periwayat yang memiliki sifat `adil dan dhâbit disebut tsiqah. Hal ini disebabkan ia benar-benar bersifat jujur ditambah dengan kuat hapalannya yang menjadikan mampu menyampaikan hadis dengan lancar seperti ketika didengarnya. Kriteria ketiga, bersambung sanandnya. Maksudnya ialah setiap periwayat dalam sanad hadis itu benar-benar menerimanya dari periwayat terdekat sebelumnya dan keadaan itu berlangsung demikian sampai akhir sanad dalam hadis itu. Seluruh rangkaian periwayat dalam sanad, mulai dari periwayat yang disandari oleh mukharrij (penghimpun riwayat hadis dalam karya tulisnya) sampai periwayat tingkat sahabat yang menerima hadis yang bersangkutan dari Nabi SAW. bersambung dalam periwayatan. Sanad suatu hadis dianggap tidak bersambung, kalau terputus salah seorang atau lebih dari rangkaian para periwayatnya. Kriteria keempat, bersih dari syâdz. Menurut bahasa, syâdz artinya rancu, menyimpang dari aturan atau memisahkan diri dari jamaah. Dalam terminologi ilmu hadis, syadz artinya suatu kondisi di mana seorang periwayat menyalahi dengan periwayat lainnya yang lebih kuat dan unggul. Kondisi ini dianggap syadz (rancu), karena kalau ia menyalahi dengan periwayat lainnya yang lebih kuat, baik dari segi kekuatan daya hapalnya atau jumlah mereka lebih banyak, maka periwayat lain itu harus diunggulkan, dan ia sendiri disebut syâdz atau rancu. Dengan kerancuannya itu, maka muncullah penilaian negatif terhadap periwayat hadis yang bersangkutan. Kriteria kelima, bersih dari `illat. Menurut bahasa, `illat artinya cacat, kesalahan baca, penyakit, dan keburukan. Dalam terminologi ilmu hadis, `illat artinya kecacatan yang tersembunyi menjadi penyebab rusaknya kualitas hadis, yang pada lahirnya tampak sahih menjadi tidak sahih. Terminologi `illat di sini bukan pengertian umum tentang sebab kecacatan hadis, seperti periwayatnya pendusta atau tidak kuat hapalan. Cacat seperti ini dalam ilmu hadis disebut al-jarh. Penelitian akan `illat hadis diakui para ulama hadis sebagai suatu kajian yang sangat sulit. Orang yang mampu mendeteksi dan mengetahui `illat hadis ini hanyalah orang yang cerdas, memiliki hapalan hadis yang banyak, paham akan hadis yang dihapalnya, mendalam pengetahuannya tentang berbagai tingkat ke-dhabith-an periwayat dan ahli di bidang sanad dan matan hadis. Kalau periwayatnya dhâbith namun ke-dhâbith-annya tidak sempurna, maka kualitas hadisnya menjadi hasan, tetapi kalau bersifat `adil, dhâbith dan sanadnya terputus serta terdapat cacat dan kejanggalan di dalamnya, maka kualitasnya tidak lagi sahih, melainkan daif. Kesahihan suatu hadis sangat ditentukan oleh kriteria tersebut. Oleh karena itu, yang menjadi obyek kritikan atau penelitian adalah sanad dan matan. Contoh hadis Sahih: حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ مَسْلَمَةَ قَالَ أَخْبَرَنَا مَالِكٌ عَنْ يَحْيَى بْنِ سَعِيدٍ عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ إِبْرَاهِيمَ عَنْ عَلْقَمَةَ بْنِ وَقَّاصٍ عَنْ عُمَرَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ الْأَعْمَالُ بِالنِّيَّةِ وَلِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ فَهِجْرَتُهُ إِلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ وَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ لدُنْيَا يُصِيبُهَا أَوْ امْرَأَةٍ يَتَزَوَّجُهَا فَهِجْرَتُهُ إِلَى مَا هَاجَرَ إِلَيْهِ (رواه البخارى)
Hadis ini dalam sanadnya terdapat periwayat: 1) Umar bin Khattab, 2) `Alqamah bin Waqqas, 3) Muhammad bin Ibrahim, 4) Yahya bin Sa'ad, 5) Malik, 6) Abdullah bin Maslamah, dan 7) Bukhari. Semua periwayat ini sesuai dengan lima kriteria yang dijelaskan di atas. Oleh karena itu, hadis ini kualitasnya sahih. Diriwayatkan dari Umar bin Khattab, katanya: "Aku mendengar Rasulullah SAW. bersabda: “Bahwasanya amal itu hanyalah berdasarkan pada niatnya. Sesungguhnya bagi tiap-tiap orang (akan memperoleh) sesuai dengan apa yang dia niatkan. Barangsiapa yang hijrah karena Allah dan Rasul-Nya, maka ia akan memperoleh keridhaan Allah dan Rasul-Nya. Barangsiapa yang hijrahnya itu karena mencari dunia ia akan medapatkannya atau karena seorang perempuan, maka ia akan menikahinya. Maka (balasan) hijrah itu sesuai dengan apa yang diniatkan ketika hijrah.” (HR. Bukhari). B. Klasifikasi Hadis Sahih Hadis sahih terbagi atas dua macam: 1. Hadis Sahih li Dzatihi ialah hadis yang terpenuhi semua kriteria kesahihannya sebagaimana diterangkan di atas. 2. Hadis Sahih li Ghairihi ialah hadis Hasan li Dzatihi apabila diriwayatkan (juga) melalui jalur sanad lain yang sama atau lebih kuat, baik dengan redaksinya sama maupun hanya maknanya saja. Contoh Hadis Sahih li Dzatihi. Diriwayatkan dari Abdullah bin 'Amr, Nabi SAW. bersabda: اَلْمُسْلِمُ مَنْ سَلِمَ الْمُسْلِمُوْنَ مِنْ لِسَانِهِ وَيَدِهِ
“Muslim itu adalah orang yang bisa menyelamatkan terhadap sesamanya dari gangguan lidah dan tangannya.” (HR. Bukhari dari Abdullah bin 'Amr). Contoh Hadis Sahih li Ghairihi. Diriwayatkan dari Abu Hurairah, ia mengatakan Rasulullah SAW. bersabda: لَوْلاَ أَنْ أَشُقَّ عَلَى أُمَّتِي لأَ مَرْتُهُمْ بِالسِّوَاكِ عِنْدَ كُلِّ صَلاَةٍ Seandainya tidak menyusahkan bagi umatku, niscaya aku perintahkan bersiwak setiap kali hendak shalat. (HR. Tirmidzi). Selain kriteria sanad seperti dikemukakan di atas, ulama juga merumuskan kriteria dari segi matan atau kandungan hadis itu. Ibn al-Jauzî (597 H/1210 M) menawarkan rumusan kritik matan yang sangat singkat, namun cukup padat. Menurutnya, setiap hadis yang menyalahi akal sehat atau bertentangan dengan ketentuan pokok agama, maka ketahuilah bahwa hadis itu adalah maudhu` (palsu), maka jangan dijadikan i`tibar (pertimbangan)".[12] Al-Khathîb al-Bagdadî (463 H/1072 M) merumuskan bahwa matan hadis dapat diterima selama ia memenuhi kriteria berikut ini: 1. Tidak bertentangan dengan akal yang sehat. 2. Tidak bertentangan dengan hukum al-Qur’an yang muhkam, maksudnya ketentuan hukum yang sudah tetap. 3. Tidak bertentangan dengan sunnah mutawatir. 4. Tidak bertentangan dengan amalan sunnah yang telah disepakati oleh ulama salaf. 5. Tidak bertentangan dengan dalil yang qath`i (yang sudah pasti). 6. Tidak bertentangan dengan hadis ahad yang kesahihannya sudah pasti.[13] Setelah membaca rumusan yang ditawarkan Ibn al-Jauzî dan al-Baghdadî di atas, al-Idlibî[14] menyimpulkan bahwa ada 4 landasan utama yang patut dijadikan acuan dalam mengeritik matan hadis, yaitu: 1. Tidak bertentangan dengan petunjuk al-Qur’an. Contoh hadis diriwayatkan Abu Daud dari Ibn Mas`ud, Nabi SAW. bersabda: الْوَائِدَةُ وَالْمَوْءُودَةُ فِي النَّارِ Perempuan yang mengubur hidup-hidup bayinya dan bayi perempuan yang dikubur hidup-hidup keduanya akan masuk neraka. (HR. Abu Daud).[15] Hadis ini dinilai bertentangan dengan petunjuk al-Qur'an. وَإِذَا الْمَوْءُودَةُ سُئِلَتْ(8)بِأَيِّ ذَنْبٍ قُتِلَتْ apabila bayi-bayi perempuan yang dikubur hidup-hidup ditanya, karena dosa apakah dia dibunuh. (QS. At-Takwîr/81: 8-9). 2. Tidak bertentangan dengan hadis mutawatir dan sejarah kehidupan Nabi. Contoh hadis yang diriwayatkan Muslim dari Rafi` ibn Khadij bahwa Rasulullah SAW. bersabda: شَرُّ الْكَسْبِ مَهْرُ الْبَغِيِّ وَثَمَنُ الْكَلْبِ وَكَسْبُ الْحَجَّامِ Pekerjaan yang paling buruk adalah mahar pelacuran, harga dari jual beli anjing, dan profesi bekam. (HR. Muslim).[16] Hadis ini dinilai bertentangan dengan hadis yang lebih kuat dan sejarah kehidupan Nabi SAW. dimana beliau sendiri pernah melakukan bekam dan memberi upah kepada tukang bekam itu. Bahkan beliau menyatakan bahwa bekam itu adalah suatu pengobatan yang paling baik. Sebagaimana diriwayatkan Anas ibn Malik bahwa ia pernah ditanya mengenai profesi bekam, ia menjawab: "Rasulullah SAW. sendiri pernah berbekam. Abu Thaibah yang membekamnya. Setelah berbekam, beliau menyuruh agar memberi makanan dua sha` kepada Abu Thaibah. Bahkan beliau membicarakan perihal bekam itu kepada keluarganya. Beliau bersabda: "Sesungguhnya pengobatan yang paling baik adalah berbekam." (HR. Muslim).[17] Bukhari, Tirmidzi, dan Abu Daud juga meriwayatkan seperti ini.[18] 3. Tidak bertentangan dengan akal yang sehat, indera, dan sejarah. Contoh hadis yang diriwayatkan dari Aisyah binti Sa`ad dari ayahnya, ia mendengar Rasulullah SAW. bersabda: "Adakah salah seorang dari isteri-isteri kalian hamil?" Seseorang menjawab: "Isteriku sedang hamil." Beliau bersabda: "Kalau kamu kembali ke rumahmu, letakkanlah tanganmu di perut isterimu, dan namailah anakmu Muhammad, sesungguhnya Allah akan menjadikannya laki-laki." Demikian juga riwayat dari Abu Umamah al-Bahili bahwa Rasulullah SAW. bersabda: "Barangsiapa dikaruniai bayi, kemudian diberi nama Muhammad, untuk mencari berkah, maka orang itu dan bayinya akan masuk surga."[19] Hadis ini dinilai bertentang dengan akal sehat. Tidak mungkin hanya dengan niat menamai Muhammad akan berpengaruh pada janin menjadi laki-laki. Demikian juga, dengan modal bernama Muhammad, ia dan ayahnya akan masuk surga. Berapa banyak manusia bernama Muhammad, tetapi tidak beriman dan beramal saleh, apakah ia dijamin masuk surga? Contoh hadis yang bertentangan dengan indera atau kenyataan yang diriwayatkan Abu Ya`la dan Baihaqi: "Barangsiapa meriwayatkan suatu hadis, lalu ia bersin ketika melakukan periwayatan itu, maka ia benar."[20] Hadis ini dinilai bertentangan dengan indera atau kenyataan bahwa bersin tidak ada hubungannya dengan kebenaran dan kebohongan. Kalaupun seratus ribu orang bersin ketika sebuah hadis diriwayatkan dari Rasulullah SAW., maka hadis itu tidak dihukumi sahih dengan bersin itu. Demikian juga, kalaupun mereka bersin pada persaksian palsu, maka persaksian itu tetap tidak dapat dipercaya. Contoh hadis yang bertentangan dengan kenyataan sejarah yang diriwayatkan Anas, katanya: "Ketika Rasulullah SAW. pulang dari perang Tabuk, Sa`ad ibn Mu`adz al-Anshari menjemput dan berjabat tangan dengan beliau. Lalu Rasulullah SAW. bertanya: "Apa yang membuat tanganmu ini tergores?" Sa`ad menjawab: "Aku bekerja dengan memecahkan batu hanya untuk memenuhi kebutuhan keluargaku." Mendengar jawaban itu, beliau langsung mencium tangannya dan bersabda: "Tangan ini tidak akan disentuh api neraka selamanya."[21] Hadis ini dinilai bertentangan dengan kenyataan sejarah, sebab tidak mungkin Nabi SAW. dapat mencium tangan Sa`ad ibn Mu`adz, sebab ia sudah meninggal pada saat terjadinya perang Tabuk. Sa`ad ibn Mu`adz meninggal terkena anak panah pada perang Khandaq yang terjadi tahun 5 H, sedang perang Tabuk terjadi pada tahun 9 H. Jadi empat tahun setelah meninggalnya, baru terjadi perang Tabuk.[22] 4. Susunan pernyataannya tidak menunjukkan ciri-ciri sabda kenabian. Contohnya hadis yang diriwayatkan dari Anas bahwa Rasulullah SAW. bersabda: "Dua kelompok dari umatku yang tidak akan mendapat syafaatku; yaitu Murji`ah dan Qadariyah. Beliau ditanya: "Siapa Qadariyah itu?" Beliau menjawab: "Mereka adalah kaum yang mengatakan bahwa tidak ada qadar." Lalu siapa Murji`ah itu?" Beliau menjawab: "Kaum yang ada di akhir zaman, jika ditanya tentang iman, mereka menjawab, kami beriman insya Allah."[23] Demikian juga diriwayatkan dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah SAW. bersabda: "Sesungguhnya setiap umat mempunyai Majusi. Majusinya umat ini adalah Qadariyah. Janganlah kalian menjenguk mereka, kalau mereka sakit, dan jangan kalian salati kalau mereka mati."[24] Hadis-hadis ini tidak menyerupai sabda Nabi SAW. seorang halus budi pekerti dan bahasanya. Nama-nama yang disebutkan dalam riwayat di atas belum ada di zaman Nabi SAW. para pemalsu hadis yang membuat-buat dan menisbahkan kepada Nabi SAW. Hadis Hasan li Ghairihi adalah hadis yang pada dasarnya daif, tapi karena ada hadis-hadis lainnya yang mendukung dan menguatkannya, maka berubah kualitasnya menjadi hadis hasan li ghairihi. Hadis Daif yang bisa berubah ini adalah hadis daif "ringan", bukan daif "berat". C. Kehujjahan Hadis Sahih Hadis sahih memberikan kepastian dan harus diyakin apa yang diungkapkan dalam hadis itu. Oleh karena itu, hadis sahih dapat dijadikan dalil dalam menetapkan masalah dalam syariat, baik masalah akidah, hukum, ibadah, akhlak, pendidikan, dakwah, dan semua masalah dalam Islam. D. Sumber-Sumber Hadis Sahih
HADIS HASAN A. Definisi الحديث الذي اتصل سنده بنقل عدل خفَّ ضبطه غير شاذٍّ ولا مُعلّلٍ Hadis yang bersambung sanadnya, diriwayatkan oleh periwayat yang adil, yang kurang dhabith, tidak syadz (rancu) dan tidak cacat. Pengertian hadis sahih dan hadis hasan hampir sama, hanya dibedakan pada kualitas ke-dhabith-an atau hapalan. Sama-sama bersambung sanadnya, tidak mengandung syadz dan 'illat serta periwayatnya adil. Kalau hadis sahih, periwayatnya sempurna ke-dhabath-an (hapalan), sedangkan hadis hasan hapalan kurang sempurna. B. Klasifikasi Hadis Hasan Hadis Hasan terbagi dua: 1. Hadis Hasan li Ghairihi ialah seperti yang dirumuskan di atas yaitu Hadis yang bersambung sanadnya, diriwayatkan oleh periwayat yang adil, yang kurang dhabith, tidak syadz (rancu) dan tidak cacat. Contoh hadis yang diriwayatkan dari Muawiyah bin Haidah, ia mengatakan: يَا رَسُولَ اللَّهِ مَنْ أَبَرُّ قَالَ أُمَّكَ قَالَ قُلْتُ ثُمَّ مَنْ قَالَ ثُمَّ أُمَّكَ قَالَ قُلْتُ ثُمَّ مَنْ قَالَ أُمَّكَ ثُمَّ أَبَاكَ ثُمَّ الْأَقْرَبَ فَالْأَقْرَبَ Wahai Rasulullah, kepada siapakah, saya berbuat baik? Rasulullah SAW. menjawab: "kepada ibumu". Aku bertanya lagi, Lalu kepada siapa lagi? Beliau menjawab: "Kepada ibumu". Aku bertanya lagi, Lalu kepada siapa lagi? Beliau menjawab: "Kepada ibumu". Kemudian kepada ayahmu lalu kepada kerabat terdekatnya. (HR. Ahmad). 2. Hadis Hasan li Ghairihi ialah hadis كل حديث يُرْوَى لا يكون في إسناده من يُتَّهَمُ بالكذب ولا يكون الحديث شاذاًّ ويُرْوى من غير وجه نحو ذلك Semua hadis yang diriwayatkan melalui sanad yang di dalamnya tidak terdapat periwayat yang dituduh berdusta; matan hadisnya tidak syadz, diriwayatkan melalui sanad lain yang sederajat. Dengna kata lain, bahwa Hadis Hasan Li Ghairihi: pada dasarnya adalah hadis daif yang diriwayatkan melalui beberapa jalur lain, ke-dhaifan-annya "ringan" bukan disebabkan karena periwayatnya fasik atau dusta. Oleh karena ada beberapa jalur sanad lainnya yang menguatkannya, maka berubah kualitasnya menjadi hadis hasan li ghairihi. Berbeda dengan hadis daif "berat" karena periwayatnya dusta, fasik, dan lainnya, maka hadis daif seperti ini tidak dapat berubah walaupun banyak hadis lain yang menguatkan maknanya. Itulah sebabbya disebut hadis daif "berat". Contoh hadis yang diriwayatkan dari al-Barra' bin 'Azib, ia mengatakan, Rasulullah SAW. bersabda: حق على المسلمين أن يغتسلوا يوم الجمعة Merupakan hak (wajib) bagi umat Islam mandi pada hari jumat. (HR. Tirmidzi). Hadis ini kualitasnya daif, sebab salah seorang periwayatnya bernama Ismail bin Ibrahim at-Taimi hapalannya buruk. Oleh karena hadis seperti ini juga diriwayatkan melalui jalur lain dan justru menguatkan keberadaannya, maka hadis ini berubah menjadi hadis hasan li ghairihi. Hadis yang menguatkannya adalah hadis yang diriwayatkan dari Abu Said al-Khudri, ia mengatakan Nabi SAW. bersabda: الغسل يوم الجمعة واجب على كل محتلم Mandi pada hari jumat adalah wajib bagi setiap orang yang sudah mimpi basah (dewasa). (HR. Bukhari). Wajib yang dimaksud dalam hadis ini adalah sangat disunnahkan. C. Kehujjahan Hadis Hasan Hadis Hasan, baik li Dzatihi maupun li Ghairihi dapat dijadikan hujjah dalam menetapkan masalah syariat dan dapat diamalkan. Secara khusus hadis hasan li ghairihi walaupun pada awalnya hadis daif, lalu berubah menjadi hadis hasan li ghairihi karena diriwayatkan melalui jalur sanad lain dan tidak bertentangan dengan hadis lain. D. Sumber-Sumber Hadis Hasan Adapun kitab-kitab yang banyak memuat hadis hasan atau disebut sebagai sumber hadis hasan, di antaranya:
A. Pengertian Hadis Daif Hadis Nabi SAW. dilihat dari segi kualitasnya terdiri atas tiga macam; yaitu hadis sahih, hadis hasan, dan hadis daif. Memahami terminologi hadis daif, terlebih dahulu harus memahami terminologi hadis sahih dan hadis hasan. Kalau sudah mengerti dan memahami hadis sahih dan kriterianya, maka otomatis akan mengerti juga pengertian hadis daif, sebab hadis daif adalah hadis yang tidak memenuhi kriteria hadis sahih dan hadis hasan. Hadis sahih adalah hadis yang diriwayatkan oleh periwayat yang adil dan sempurna ke-dhabith-annya, sanadnya bersambung, tidak mengandung syadz (rancu) dan `illat (cacat).[25] Kalau periwayatnya dhâbith namun ke-dhâbith-annya tidak sempurna, maka kualitas hadisnya menjadi hadis hasan. Kalau periwayat `adil, dhâbith, tapi sanadnya terputus serta terdapat cacat dan kejanggalan di dalamnya, maka kualitasnya juga tidak sahih, melainkan daif. Kesahihan suatu hadis sangat ditentukan oleh kriteria tersebut di atas. Dengan demikian, hadis daif ialah: اَلْحَدِيْثُ الضَّعِيْفُ هُوَ مَالَمْ يَجْتَمِعْ فِيْهِ صِفَاتُ الصَّحِيْحِ وَلاَ صِفَاتُ الْحَسَنِ[26] Hadis yang tidak memenuhi kriteria hadis sahih dan hadis hasan. Daif artinya lemah. Hadis daif berarti hadis lemah, maksudnya hadis itu tidak kuat dijadikan landasan dan sandaran dalam menetapkan masalah hukum halal dan haram. Hadis dinilai daif bukanlah karena Nabi SAW. yang daif, melainkan disebabkan oleh para periwayat dalam sanadnya yang terlibat dalam proses periwayatannya. Ke-daif-an hadis disebabkan pada beberapa hal; 1) Sanadnya yang terputus, 2) Kualitas moral (ke-`adil-an) periwayatnya yang cacat, 3) Kualitas intelektual (ke-dhabith-an) periwayatnya yang rusak, 4) Susunan redaksinya bermasalah, dan 5) Kandungan maknanya rancu. B. Klasifikasi Hadis Daif Pada dasarnya, hadis daif termasuk bagian dari hadis mardud (tertolak). Namun, tidak semua hadis daif tertolak, ada hadis daif dapat diterima dan diamalkan dengan kriteria tertentu. Dengan demikian, ada hadis daif yang diterima dan ada juga yang ditolak. Oleh karena itu, hadis daif perlu dijelaskan klasifikasinya. Hadis daif dilihat dari segi kehujjahannya dapat diklasifikasi pada dua bagian; 1 Hadis daif “ringan”, maksudnya hadis daif yang kedaifannya dapat berubah kualitasnya karena mendapat dukungan yang menguatkan dari hadis-hadis sahih lainnya yang kandungan maknanya sama sehingga berubah menjadi hadis hasan li ghairihi. 2 Hadis daif “berat”, maksudnya hadis daif yang kedaifannya bersifat paten, tidak dapat berubah kualitasnya walau sebanyak apa pun hadis sahih lainnya yang semakna dan mendukungnya. Hadis daif yang paling “parah” atau “kelas berat” adalah hadis maudhu` atau hadis palsu. Hadis daif yang dapat berubah kualitasnya menjadi hadis hasan li ghairihi karena didukung dan dikuatkan oleh hadis sahih lain sebagai mutabi’ atau syahid adalah hadis daif yang kedaifannya disebabkan oleh a) Sanadnya terputus, seperti hadis mu’allaq, munqathi’, mu’dhal, dan mursal. b) Ke-dhabith-an periwayatnya buruk, misalnya banyak bimbang dan ragu-ragu, atau hafalannya buruk. c) Tidak jelasnya ke-`adil-an periwayatnya, misalnya mubham, majhul al-‘ain, dan al-mastur. Adapun hadis daif yang tidak dapat berubah kualitasnya atau hadis daif “parah” disebabkan kualitas moral periwayatnya cacat, seperti dusta, tertuduh dusta, fasik, atau hapalannya ikhtilath (kacau). Hadis daif yang diriwayatkan oleh periwayat seperti ini disebut hadis yang sangat daif, seperti hadis maudhu`, hadis munkar, dan hadis matruk,.[27] Contoh : Berikut ini akan dikemukakan beberapa contoh hadis daif, terutama yang sudah populer di masyarakat. Di antaranya: 1. اُطْلبُوُا اْلعِلْمَ وَلَوْ بِالصِّيْن "Tuntutlah ilmu walau sampai ke negeri Hadis ini diriwayatkan oleh beberapa periwayat, di antaranya Ibn `Adiy (356 H) dalam bukunya al-Kamil fi Dhu`afa’ ar-Rijal, Abu Nu`aim (450 H) dalam bukunya Akhbar al-Ashbihan, al-Khathib al-Baghdadiy (463 H) dalam bukunya Tarikh Baghdad dan ar-Rihlah fi Thalab al-Hadits, Ibn `Abd al-Barr (463 H) dalam bukunya Jami` Bayan al-`Ilm wa Fadhlihi, Ibn Hibban (254 H) dalam bukunya al-Majruhin, al-Baihaqi dalam bukunya al-Madkhal dan Syu`ab al-Iman, ad-Dailami dan lain-lain bersumber dari Anas ibn Malik. (Al-Albani, 1986: 450; Yaqub, 2003: 2; al-Malibariy, t.th.: 7; al-`Ajlûnî, 1421 H, I: 154) . Dilihat dari sisi sumber sanadnya, hadis ini melalui al-Hasan ibn `Atiyah dari Abu `Atikah Tarif ibn Sulaiman dari Anas ibn Malik. Kualitas hadis ini dinilai oleh para ulama hadis sebagai hadis daif. Ke-daif-an hadis ini disebabkan salah seorang periwayat dalam sanadnya bernama Abu `Atikah Tarif ibn Sulaiman. Abu `Atikah dinilai oleh kritikus hadis seperti al-`Uqaili sebagai matruk (tertolak). Bukhari menilai bahwa hadisnya munkar. An-Nasai menilai, hadisnya tidak kuat. Abu Hatim menilai, hadisnya dzahib (dibuang). Kata as-Sulaimani, Abu `Atikah dikenal pernah memalsukan hadis. Ahmad ibn Hambal (243 H) tidak mengakui hadis tersebut. Ibn Hibban (354 H/965 M) menilai hadis ini batil, tidak ada dasar dan sumbernya (lâ ashla lahû). Bahkan Ibn al-Jauzi (597 H/1201 M) dalam bukunya koleksi hadis-hadis palsu "al-Maudhû`ât" menilai bahwa hadis tersebut adalah palsu. (Al-Albani, 1986: 451; Yaqub, 2003: 2; Al-`Ajlûnî, 1421 H, I: 154). Dengan demikian hadis tersebut kualitasnya sangat daif, yaitu hadis munkar. Bahkan ada yang menilainya sebagai palsu. 2. إِعْمَلْ لِدُنْيَاكَ كَأَنَّكَ تَعِيْشُ أَبَدًا وَاعْمَلْ لآخِرَتِكَ كَأَنَّكَ تَمُوْتُ غَدًا Beramallah untuk duniamu seolah-olah engkau akan hidup selamanya. Dan beramallah untuk akhiratmu seolah-olah engkau akan mati besok. Albani menilai riwayat ini juga bukan hadis Nabi. Ibnu Mubarak meriwayatkannya bersumber dari Abdullah ibn `Amr ibn Ash bahwa hadis ini mauquf, dan ternyata juga munqathi’ (terputus sanadnya). Ini berarti daif. Baihaqi meriwayatkan secara marfu’ dengan menggunakan lafal yang cukup panjang dan pada bagian akhirnya ia menyebutkan: “Bekerjalah sebagaimana orang-orang yang bekerja dan menyangka akan hidup selamanya. Dan berhati-hatilah sebagaimana hati-hatinya orang yang menyangka besok ia akan mati.” Hadis ini pun kualitasnya daif, sebab terdapat dua periwayatnya; Maula Umar ibn Abd al-`Aziz dan Abu Shalih adalah majhul. (Al-Albani, 1986: 5). Dengan demikian, riwayat tersebut adalah palsu 3. نَوْمُ الصَّائم عبَادَةٌ وَصَمْتُهُ تَسْبيْحٌ وَ عَمَلُهُ مُضَاعَفٌ وَدُعَاؤُهُ مُسْتَجَابٌ وَذَنْبُهُ مَغْفُوْرٌ Saurnya orang puasa adalah ibadah, diamnya adalah tasbih, amalnya dilipatgandakan (pahalanya), doanya dikabulkan, dan dosanya diampuni. Hadis ini diriwayatkan al-Baihaqî (458 H/1067 M) dalam kitabnya Syu`ab al-Imân, kemudian dikutip as-Suyûthî (911 H/1505 M) dalam kitabnya Lubab al-Hadits dan al-Jami` ash-Shaghîr. Muhammad Nawawi al-Bantani dalam bukunya Tanqîh al-Qaul al-Hatsits mengomentari dan menilai hadis tersebut sebagai hadis daif.[28] Al-Baihaqî sendiri yang meriwayatkannya sudah menjelaskan bahwa dalam sanad hadis ini terdapat periwayat bernama Ma`ruf ibn Hisan yang daif. Selain itu, ada juga periwayat lainnya bernama Sulaiman ibn `Amr an-Nakha`i dinilai sebagai al-kadzdzab (pendusta). Kritikus hadis lainnya menilai sebagai pendusta dan pemalsu hadis. Demikian dijelaskan al-Manawî dalam kitab Faidh al-Qadîr. Dengan demikian, hadis ini adalah sangat daif bahkan mendekati level palsu. 4. أَوَّلُ شَهْر رَمَضَانَ رَحْمَةٌ وَ أَوْسَطُهُ مَغْفرَةٌ وَآخرُهُ عتْقٌ منَ النَّار Awal Ramadhan itu Rahmat, pertengahannya maghfirah (ampunan), dan akhirnya merupakan pembebasan dari neraka. Riwayat ini terdapat dalam kitab adh-Dhu`afâ' karya al-`Uqailî, Ibn `Adî (al-Kâmil fî adh-Dhu`afâ'), Târîkh Baghdâd karya al-Khathib al-Baghdadî, ad-Dailamî (Musnad al-Firdaus), dan Ibn `Asakir (Hilyah al-Auliyâ'). Menurut as-Suyûthî hadis ini adalah lemah. Sedang Syekh Nashiruddin al-Albâni menilai hadis ini adalah Munkar. Hadis munkar merupakan bagian dari hadis lemah, yakni sangat lemah. Hadis munkar ialah hadis yang diriwayatkan oleh periwayat yang jelas melakukan perbuatan fasik (maksiat), pelupa, dan sering melakukan kesalahan. Sumber kelemahan hadis ini adalah dua periwayat dalam sanadnya yaitu Sallam ibn Sawwâr dinilai munkar al-hadits, dan Maslamah ibn ash-Shalt dinilai matrûk (tertolak). Hadis matrûk adalah hadis yang sangat lemah, yaitu hadis yang diriwayatkan oleh orang yang tertuduh dusta. 5. لَوْ تَعْلَمُ أُمَّتِيْ ماَ فِي رَمَضاَنَ لَتَمَنَّواْ أَنْ تَكُوْنَ السَّنَةُ كُلُّهاَ رَمَضاَنَ Seandainya umatku mengetahui pahala ibadah pada bulan Ramadhan, niscaya mereka menginginkan agar satu tahun penuh menjadi Ramadhan semua. Hadis ini kualitasnya sangat daif, sebab dalam sanadnya terdapat seorang periwayat bernama Jarir ibn Ayyub al-Bajali yang dinilai oleh para kritikus hadis sebagai pemalsu hadis, matruk, dan munkar. 6. كَادَ الْفَقْرُ أَنْ يَّكُوْنَ كُفْرًا Kemiskinan itu menghampiri kekafiran. Hadis ini kualitasnya sangat daif, sebab salah seorang periwayat dalam sanadnya bernama Yazid ibn Aban ar-Raqqasyi. Ulama kritikus hadis menilainya dha`if jiddan (sangat lemah). An-Nasai dan lainnya menilainya sebagai matruk (tertolak). 7. اَلنَّظَافَةُ مِنَ اْلإْيمَانِ Kebersihan bagian dari iman. Hadis ini berasal dari Ibn Mas`ud terdapat dalam Mu`jam al-Ausath karya ath-Thabarani dengan sanad yang sangat daif. (Takhrij Ahadits Ihya' `Ulum ad-Din oleh al-`Iraqi, I: 168). 8. اَلْجَنَّةُ تَحْتَ أَقْدَامِ اْلأُمَّهَاتِ Surga di bawah telapak kaki ibu Kata al-Albani hadis ini kualitasnya daif. Bahkan ia menilai maudhu` (palsu) riwayat yang sama, hanya saja ada tambahan bagian akhirnya. الجنة تحت أقدام الأمهات من شئن أدخلن ومن شئن أخرجن Hadis yang benar dari Mu`awiyah فاَلْزَمْهَا فَإِنَّ الْجَنَّةَ تَحْتَ رِجْلَيْهَا Kalau begitu, janganlah ikut berperang, temanilah (dan rawatlah ibumu), sebab surga ada di bawah telapak kakinya. (HR. Nasai, ath-Thabarani dan lainnya). Kualitas hadis ini hasan. Hakim menilainya sahih. Adz-Dzahabi dan al-Mundziri menyetujuinya. (Silsilah Ahadits adh-Dhaifah, II: 83). C. Mengamalkan dan Menyampaikan Hadis Daif dan Hadis Palsu Dalam kajian ilmu hadis, hadis daif dan hadis palsu dilihat dari sisi kehujjahannya termasuk kategori mardud, yakni hadis yang tertolak. Hadis palsu adalah mardud, tertolak secara pasti dan meyakinkan. Berbeda dengan hadis daif yang belum sampai pada level palsu masih ada kemungkinan diterima dengan kriteria tertentu, walaupun pada umumnya tertolak. Hadis daif bermacam-macam jenisnya dan derajatnya pun beragam. Di sinilah kemudian terjadi perbedaan dan perdebatan di kalangan ulama hadis mengenai pengamalan hadis daif. Dalam konteks inilah para ulama terbagi tiga pandangannya; pendapat pertama, hadis daif tidak boleh diamalkan secara mutlak, baik berkaitan dengan hukum halal dan haram maupun fadhâil al-a`mâl (keutamaan amal). Pendapat ini didukung oleh Ibnu Sayyid an-Nas, Abu Bakar ibn al-`Arabi. Imam Bukhari dan Muslim terkesan juga berpendapat demikian, keduanya tidak meriwayatkan hadis-hadis daif. Pendapat kedua, hadis daif boleh diamalkan secara mutlak. Pendapat ini disampaikan oleh antara lain imam Ahmad ibn Hambal dan Abu Daud. Pendapat ketiga, boleh mengamalkan hadis daif dalam hal fadhâil al-a`mâl dengan syarat-syarat tertentu.[29] Hadis daif yang boleh diamalkan seperti yang dimaksud Ahmad ibn Hambal boleh jadi dalam konteks sekarang adalah hadis hasan, baik hasan li dzatihi maupun hasan li ghairihi. Pada zaman Ahmad ibn Hambal, hadis hanya terbagi dua saja, yaitu hadis sahih dan hadis daif, belum ada hadis hasan.[30] Demikian pula, hadis-hadis daif riwayat Tirmidzi, biasanya adalah hadis hasan li ghairihi, sebab hadis-hadis daif dalam Sunan Tirmidzi, kedaifannya “ringan” sehingga dapat diperkuat oleh adanya hadis sahih yang lain sehingga berubah kualitasnya menjadi hadis hasan li ghairihi. Hadis daif kualitas seperti inilah yang boleh diamalkan. Nurdin `Itr menambahkan bahwa hadis daif yang boleh diamalkan secara mutlak sebagaimana pendapat kedua di atas, dimaksudkan ialah hadis daif yang tidak terlalu daif, sebab hadis yang sangat daif sudah ditolak oleh para ulama, dan hadis daif tersebut juga tidak bertentangan dengan hadis lainnya.[31] Adapun pandangan yang membolehkan mengamalkan hadis daif dalam hal fadhail al-a`mal adalah dengan syarat-syarat sebagaimana dijelaskan al-Hafizh Ibn Hajar, yang dikutip oleh Nurdin `Itr, yaitu: 1. Telah disepakati untuk diamalkan, yaitu hadis daif yang tidak terlalu daif sehingga tidak bisa diamalkan hadis yang hanya diriwayatkan oleh seorang pendusta atau dituduh dusta atau orang yang banyak kesalahan. 2. Hadis daif itu berada di bawah suatu dalil yang umum sehingga tidak dapat diamalkan hadis daif yang sama sekali tidak memiliki dalil pokok. 3. Ketika hadis daif yang bersangkutan diamalkan tidak disertai keyakinan atas kepastian keberadaannya untuk menghindari penyandaran kepada Nabi SAW. sesuatu yang ia tidak sabdakan.[32] Penulis lebih cenderung kepada pandangan ketiga di atas dengan alasan bahwa pandangan ini lebih moderat. Pandangant ketiga ini didukung oleh mayoritas ulama hadis dan fikih, Kata imam an-Nawawi, para ulama telah sepakat mengenai hal ini.[33] Sebagaimana disebutkan di atas bahwa hadis daif bermacam-macam dan derajatnya pun beragam, maka dalam hal penyampaian dan pemakaiannya pun juga berbeda-beda. Para ulama hadis membolehkan periwayatan hadis-hadis daif yang tidak berkaitan dengan akidah dan hukum halal dan haram. Mereka membolehkan meriwayatkan hadis-hadis daif tentang at-targhib wa at-tarhib, (yakni hadis-hadis yang memuat berita gembira dan ancaman sebagai motivasi untuk selalu berbuat kebaikan dan menjauhi larangan), hadis-hadis tentang kisah dan nasehat-nasehat tanpa harus menjelaskan ke-daif-annya, selama bukan hadis palsu atau yang menyerupainya.[34] Hadis-hadis daif yang menyerupai hadis palsu adalah hadis yang sangat daif, seperti hadis munkar, hadis matruk, dan semacamnya. Hadis-hadis seperti ini tidak boleh diriwayatkan. Hadis-hadis yang boleh diriwayatkan tanpa perlu menjelaskan kualitas ke-daif-annya adalah hadis-hadis daif yang ke-daif-annya “ringan”, seperti hadis daif karena sanadnya terputus, misalnya hadis mursal, hadis mu`allaq, hadis mu`dhal, dan semacamnya. Adapun hadis-hadis daif yang sangat “parah”, karena periwayatnya cacat, misalnya pendusta, fasik, tertuduh dusta, munkar al-hadits, matruk al-hadits. Hadis mereka ini disebut hadis munkar, hadis matruk dan hadis yang sangat daif lainnya. Hadis seperti ini tidak boleh diriwayatkan. Pada dasarnya, istilah meriwayatkan dalam kajian ilmu hadis dimaksudkan ialah proses penerimaan dan penyampaian hadis dengan menyertakan rangkaian sanadnya.[35] Kalau meriwayatkan saja yang dalam proses penyampaiannya dilengkapi dengan sumber dan sistem periwayatannya tidak dibolehkan, maka menyampaikan dan menyebarluaskan ke tengah-tengah masyarakat umum tentu lebih dilarang lagi. Menyampaikan dan menyebarluaskan hadis-hadis daif terutama yang sangat daif bahkan hadis palsu implikasinya sangat besar dalam masalah kebenaran dan kemurnian ajaran Islam. Padahal sesungguhnya, seorang khatib dan muballigh justru dituntut menyampaikan kebenaran dan kemurnian ajaran Islam. Oleh karena itu, tidak dibolehkan menyampaikan dan menyebarluaskan hadis-hadis daif terutama yang sangat daif melalui ceramah dan khutbah, juga melalui tulisan pada buku. Ketetapan para ulama hadis dalam menyikapi problem penggunaan dan periwayatan hadis daif tersebut menunjukkan bahwa mereka sangat konsisten pada sikap kejelian dan kehati-hatian sehingga tidak memperbolehkan periwayatan atau penyampaian hadis daif dengan menggunakan kata-kata yang mengesankan kepastian dalam menyandarkan hadis daif itu kepada Rasulullah SAW. Tidak boleh mengatakan Rasulullah SAW. bersabda …, Rasulullah SAW. melakukan …, Rasulullah SAW. memerintahkan …, dan kata-kata lainnya yang mengesankan kepastian benar-benar datang dari Rasulullah SAW. Oleh karena itu, kalau mengutip suatu riwayat yang tidak diketahui secara pasti kualitasnya atau diragukan, maka sebaiknya dikatakan: "diriwayatkan dari Rasulullah SAW. …, diriwayatkan …, ada riwayat menjelaskan ...., diceritakan …, atau disampaikan kepada kita …. Dikatakan Rasulullah SAW. bersabda, melakukan, atau memerintahkan … kalau sudah yakin bahwa riwayat yang disampaikan itu adalah benar-benar hadis Nabi SAW. dan jelas kualitasnya sahih atau hasan.[36] D. Sumber Hadis Daif dan Hadis Palsu Implikasi negatif hadis daif dan hadis palsu sangat besar terhadap kebenaran dan kemurnian ajaran agama. Oleh karena itu, para ulama memberikan perhatian besar dan serius dalam menangani dan mengatasinya. Ada beberapa upaya ulama dalam menyikapi problem tersebut, di antaranya dengan cara menyusun kaedah ilmu kritik hadis dan menyusun buku yang menghimpun secara khusus hadis-hadis daif dan hadis palsu serta memberikan sinyal mengenai kitab-kitab yang merupakan sumber hadis-hadis daif, di antaranya al-`Uqaili dalam adh-Dhu`afa’, Ibn `Adi dalam al-Kamil fi adh-Dhu`afa’, al-Khatib al-Baghdadi, Ibnu `Asakir, ad-Dailami dalam Musnad al-Firdaus, Abu Nu`aim dalam al-Hilyah al-Auliya’, Durrah an-Nashihin karya Usman al-Khubawi, Ihya’ `Ulum ad-Din karya al-Ghazali, Tanbih al-Ghafilin. Hadis-hadis daif yang terdapat dalam kitab-kitab tersebut, tidak hanya disebabkan karena tidak terpenuhinya syarat-syarat pada periwayatnya, melainkan juga karena kecacatan pada sanad dan matannya. Tiga buku yang terakhir tersebut di atas sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Kitab Ihya’ `Ulum ad-Din yang sudah tidak asing lagi bagi masyarakat Indonesia, kualitas hadis-hadisnya sudah di-takhrij oleh al-`Iraqi dalam bukunya al-Mughni `an al-Asfar fi al-Asfar fi Takhrij ma fi al-Ihya’ min Akhbar. Buku ini biasanya dicetak include dalam kitab Ihya’ `Ulum ad-Din, di pinggir (hasyiyah) atau di bagian bawah semacam footnote. Selain itu, buku yang sangat popular terutama bagi para khatib dan muballigh adalah Durrah an-Nashihin yang sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan judul beragam, di antaranya Mutiara Dakwah, Bekal Juru Dakwah. Hadis-hadis dalam buku ini sudah diteliti oleh Ahmad Lutfi dalam disertasi. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa dari 844 hadis dalam kitab ini terdapat 252 (30 %) hadis palsu, 180 (21,3 %) hadis lemah, 48 (5,7 %) hadis sangat lemah, 220 (26 %) hadis sahih, 87 (10,3 %) hadis hasan, dan 57 (6,8 %) belum diketahui kualitasnya.[37]
HADIS MAUDHU' A. Pengertian Hadis Maudhu' Adapun hadis maudhu` atau hadis palsu ialah hadis yang dibuat-buat oleh para pendusta, lalu mengatasnamakan Rasulullah SAW. padahal beliau tidak menyabdakannya.[38] Hadis maudhu` ini merupakan bagian dari hadis daif yang paling buruk, karena berasal dari pendusta. Contoh: 1. أطلبوا العلم من المهد الى اللحد Tuntutlah ilmu sejak bayi hingga liang kubur. Hadis ini dinilai oleh Sykeh Abdul Aziz bin Baz sebagai hadis yang tidak ada asalnya. Istilah seperti ini menunjukkan bahwa riwayat tersebut bukan hadis Nabi SAW. atau kalau disebut hadis berarti hadis palsu. 2. أَلْجَنَّةُ مُشْتاَقَةٌ إلَى أَرْبَعَة نَفَر تَالي الْقُرْآن وَحَافظ اللساَن وَمُطْعم الْجيْعاَن وَالصَّائميْنَ في شَهْر رَمَضاَنَ Surga itu rindu kepada empat golongan; yaitu pembaca al-Qur'an, orang yang memelihara lidahnya, orang yang memberi makan kepada yang lapar, dan orang yang berpuasa pada bulan Ramadhan. Semua responden mengakui pernah menyampaikan hadis tersebut dalam dakwah, baik khutbah maupun ceramahnya. Riwayat ini tidak ditemukan dalam kitab-kitab hadis, baik kitab-kitab hadis Musnad, Sunan, Jâmi`, Mushannaf, Mustadrak, Mustakhrajat, maupun kitab-kitab syarh (komentar) hadis lainnya. Salah satu ciri atau kaedah penetapan kepalsuan suatu hadis ialah apabila telah diadakan penelitian terhadap suatu hadis ternyata menurut ahli hadis tidak terdapat dalam hapalan para periwayat hadis dan tidak terdapat dalam kitab-kitab hadis setelah penelitian dan pembukuan hadis dilakukan dengan sempurna. (Nur ad-Din `Itr, 1401 H: 312). Berdasar pada kaedah ini, maka kedua riwayat tersebut dinilai oleh ulama hadis sebagai hadis palsu. Kedua riwayat ini hanya terdapat dalam kitab Durrah an-Nâshihîn (al-Khûbawî, t.th.: 7-8). Al-Khûbawî, nama lengkapnya Utsman ibn Hasan ibn Ahmad asy-Syâkir (1241 H/1824 M). Al-Khûbawî adalah seorang penasehat dan peng-hikayat, bukan seorang ahli hadis. Ia tidak punya karya lain kecuali hanya kitab Durrah an-Nashihin. Menurut hasil penelitian terhadap hadis-hadis dalam kitab ini ditemukan bahwa dari 844 hadis dalam kitab ini terdapat 252 (30 %) hadis palsu, 180 (21,3 %) hadis daif, 48 (5,7 %) hadis sangat daif, 220 (26 %) hadis sahih, 87 (10,3 %) hadis hasan, dan 57 (6,8 %) belum diketahui kualitasnya (Lutfi, 2000: 705). Dengan demikian, riwayat tersebut adalah palsu. 3. مَنْ عَرَفَ نَفْسَهُ فَقَدْ عَرَفَ رَبَّهُ Barangsiapa mengenal dirinya, maka ia akan mengenal Tuhannya. Al-`Ajlûnî (1421 H, II: 343) dalam Kasyf al-Khafâ' menyebutkan bahwa Ibnu Taimiyah (728 H/1328 M) menilai hadis ini sebagai hadis palsu. As-Sam`ani menilai bahwa hadis ini adalah ucapan Yahya ibn Mu`adz ar-Razî. An-Nawawi (676 H/1277 M) menyebutnya sebagai laisa bi tsabit (tidak mengakuinya sebagai hadis). Ungkapan ini merupakan istilah lain bagi hadis palsu. Al-Albanî (1986, I: 101-102) menilai sebagai bukan hadis, tidak ada dasar dan sumbernya (lâ ashla lahû). 4. رَجَعْنَا مِنَ الْجِهَادِ اْلأصْغَرِ إلىَ الْجِهَادِ اْلأكْبَرِ قاَلوُا وَمَا الْجِهَادُ اْلأَكْبَرُ قَالَ جِهَادُ النَّفْسِ Kita kembali dari jihad terkecil menuju jihad terbesar. Riwayat ini sangat populer sebagai hadis Nabi SAW. dengan tambahan pada bagian akhir "Jihad Akbar adalah jihad melawan hawa nafsu, sebagaimana tertulis dalam Kasyf al-Khafa'. قاَلوُاْ وَمَا الْجِهَادُ اْلأكْبَرُ قاَلَ جِهَادُ اْلقَلْبِ (mereka bertanya, apa jihad akbar ? Beliau menjawab: "jihad qalbu, maksudnya melawan hawa nafsu). Dalam riwayat lainnya disebutkan " مُجَاهَدَةُ اْلعَبْدِ هَوَاهُ" (Jihad melawan hawa nafsu). Al-`Ajluni (1421 H, I: 511) mengutip pendapat Ibn Hajar al-`Asqalani pengarang Fath al-Barî Syarah Sahih Bukhari bahwa riwayat ini bukanlah sabda Nabi SAW. melainkan pernyataan Ibrahim ibn `Ailah. Dalam ad-Duraruh al-Muntatsirah (I: 256) disebutkan Ibrahim ibn Abi `Abalah. Hal ini sama dengan yang dikemukakan Muhammad Fuad Syakir (2006: 137) dan diberi keterangan bahwa Ibrahim ibn Abi `Abalah adalah seorang tabiin yang wafat 152 H. Pernyataan seseorang yang diklaim dan dinisbahkan sebagai sabda Nabi SAW. itulah yang disebut hadis palsu. Dilihat dari segi kandungannya, sulit diterima, sebab jihad perang melawan orang-orang kafir dalam rangka menegakkan agama Allah adalah dipandang sebagai jihad terkecil. Jihad seperti ini adalah jihad yang sangat besar. Ibn Taimiah termasuk menolak hadis ini, sebab jihad melawan orang kafir dalam menegakkan agama Allah dipandang sebagai jihad terkecil, padahal ini termasuk jihad akbar. 5. اَلدِّيْنُ هُوَ الْعَقْلُ وَمَنْ لاَ دِيْنَ لَهُ لاَ عَقْلَ لَهُ “Agama itu adalah akal. Orang dipandang tidak beragama yang tidak berakal.” Imam an-Nasai (303 H/915 M) mengatakan hadis ini batil dan munkar. Al-Haris ibn Abu Usamah meriwayatkan dalam Musnadnya diterima dari Daud ibn al-Muhabbir, bahwa lebih dari 30 hadis yang menceritakan tentang keutamaan akal. Menurut Ibnu Hajar al-‘Asqalani (852 H/1447 M), semua hadis tersebut adalah maudhu’ atau palsu. Termasuk di antaranya adalah hadis tersebut. Al-Albani, ?: ?). 6. مَنْ أرَادَ الدُّنْيَا فَعَلَيْهِ بِالْعِلْمِ وَمَنْ أَرَادَ اْلأخِرَةَ فَعَلَيْهِ بِالْعِلْمِ Barangsiapa menghendaki dunia, maka hendaklah berilmu. Barangsiapa menghendaki akhirat, maka hendaklah berilmu. Riwayat ini tidak dikenal di kalangan para ulama hadis, sebab tidak ditemukan dalam kitab-kitab hadis, baik kitab-kitab hadis Musnad, Sunan, Jâmi`, Mushannaf, Mustadrak, Mustakhrajat, maupun kitab-kitab syarh (komentar) hadis lainnya. Riwayat tersebut terdapat dalam kitab al-Majmu` Syarh al-Muhadzdzab karya an-Nawawi (676 H). Dalam kitab ini an-Nawawi mengutip pernyataan al-Imam asy-Syafi`i (204 H). قَالَ رَحِمَهُ اللهُ طَلَبُ الْعِلْمِ أَفْضَلُ مِنْ صَلاَةِ النَّافِلَةِ وَقاَلَ مَنْ أَراَدَ الدُّنْياَ فَعَلَيْهِ بِالْعِلْمِ وَمَنْ أَراَدَ اْلأَخِرَةَ فَعَلَيْهِ بِالْعِلْمِ Al-Imam asy-Syafi`i Rahimahullah berkata: “Mencari ilmu itu lebih utama daripada shalat sunnat”. Beliau juga berkata, “Barangsiapa yang menghendaki dunia ia harus berilmu. Dan barangsiapa yang menghendaki akhirat ia harus berilmu”. (an-Nawawi, t.th.: 12). Berdasarkan pernyataan an-Nawawi tersebut, maka jelas bahwa riwayat tersebut di atas bukanlah hadis Nabi SAW., melainkan ucapan al-Imam asy-Syafi`i. (Yaqub, 2003: 72). Oleh karena itu, riwayat di atas tidak boleh dinisbahkan kepada Nabi SAW. dan diklaim sebagai hadis Nabi SAW. Kalau tetap diklaim sebagai hadis, maka itulah yang disebut hadis palsu. 7. مَنْ فَرِحَ بِدُخُوْلِ رَمَضَانَ حَرَّمَ اللهُ جَسَدَهُ عَلَى النيْراَنِ Barangsiapa gembira dengan datangnya bulan Ramadhan, Allah akan mengharamkan tubuhnya disentuh api neraka. Riwayat ini tidak ditemukan dalam kitab-kitab hadis, baik kitab-kitab hadis Musnad, Sunan, Jâmi`, Mushannaf, Mustadrak, Mustakhrajat, maupun kitab-kitab syarh (komentar) hadis lainnya. Salah satu ciri atau kaedah penetapan kepalsuan suatu hadis ialah apabila telah diadakan penelitian terhadap suatu hadis ternyata menurut ahli hadis tidak terdapat dalam hapalan para periwayat hadis dan tidak terdapat dalam kitab-kitab hadis setelah penelitian dan pembukuan hadis dilakukan dengan sempurna. (Nur ad-Din `Itr, 1401 H: 312). Berdasar pada kaedah ini, maka kedua riwayat tersebut dinilai oleh ulama hadis sebagai hadis palsu. Kedua riwayat ini hanya terdapat dalam kitab Durrah an-Nâshihîn (al-Khûbawî, t.th.: 7-8). Al-Khûbawî, nama lengkapnya Utsman ibn Hasan ibn Ahmad asy-Syâkir (1241 H/1824 M). Al-Khûbawî adalah seorang penasehat dan peng-hikayat, bukan seorang ahli hadis. Ia tidak punya karya lain kecuali hanya kitab Durrah an-Nashihin. Menurut hasil penelitian terhadap hadis-hadis dalam kitab ini ditemukan bahwa dari 844 hadis dalam kitab ini terdapat 252 (30 %) hadis palsu, 180 (21,3 %) hadis daif, 48 (5,7 %) hadis sangat daif, 220 (26 %) hadis sahih, 87 (10,3 %) hadis hasan, dan 57 (6,8 %) belum diketahui kualitasnya (Lutfi, 2000: 705). 8. أَلْمَرْأةُ عِماَدُ الْبِلاَدِ إِذاَ صَلُحَتْ صَلُحَتِ الْبِلاَدُ وَإِذاَ فَسَدَتْ فَسَدَتِ الْبِلاَدُ Perempuan adalah tiang negara. Kalau ia baik, maka baiklah negara. Kalau ia rusak, maka rusaklah negara. Riwayat ini tidak ditemukan dalam kitab-kitab hadis, sehingga ulama berkesimpulan bahwa riwayat tersebut hanyalah semacam kata-kata mutiara. Kalau disandarkan kepada Nabi SAW. dan diklaim sebagai sabdanya, maka ia adalah hadis palsu. 9. إِخْتِلاَفُ أُمَّتي رَحْمَةٌ Perbedaan pendapat di kalangan umatku adalah rahmat. Syekh Nashiruddin al-Albani (1986: 80) menilai bahwa hadis ini tidak ada dasar dan sumbernya (لاَ أَصْلَ لَهُ). Sebuah hadis harus terdiri dari unsur sanad dan matan. Hadis yang dibicarakan ini belum pernah ditemukan sanadnya, sebab memang bukan sabda Nabi SAW. Hal ini diperjelas dan dipertegas Muhammad Fuad Syakir (2006: 126) dalam bukunya Laisa min Qaul an-Nabî (Bukan Sabda Nabi). Menurutnya riwayat ini adalah ucapan al-Qasim ibn Muhammad. Ia lahir pada masa pemerintahan Khalifah Ali ibn Abi Thalib dan wafat tahun 107 H. Hadis yang ada sanadnya adalah hadis yang diriwayatkan dari Ibnu Abbas. مَهْمَا أُوْتِيْتُمْ مِنْ كِتَابِ اللهِ فَالْعَمَلُ بِهِ لاَ عُذْرَ لأَحَدٍ فِيْ تَرْكِهِ فَإِنْ لَمْ يَكُنْ فِيْ كِتَابِ اللهِ فَسُنَّةٌ مِنِّيْ مَاضِيَةٌ فَإِنْ لَمْ تَكُنْ سُنَّةٌ مِنِّيْ فَمَا قَالَهُ أَصْحَابِيْ إنَّ أَصْحَابِيْ بِمَنْزِلَةِ النُّجُوْمِ فِي السَّمَاءِ فَأَيُّمَا أَخَذْتُمْ بِهِ اهْتَدَيْتُمْ وَاخْتِلاَفُ أَصْحَابِيْ لَكُمْ رَحْمَةٌ “Selagi kamu telah diberi kitab Allah, maka ia harus diamalkan. Tidak ada alas an bagi seseorang untuk meninggalkannya. Apabila tidak ada keterangan dalam kitab Allah, maka (kamu harus memakai) Sunnah daripadaku yang berjalan. Apabila tidak ada keterangan dalam Sunnah, maka (kamu harus memakai) pendapat para sahabatku. Sesungguhnya para sahabatku itu ibarat bintang-bintang di langit. Mana yang kamu ambil pendapatnya, kamu akan mendapatkan petunjuk. Dan perbedaan (pendapat) para sahabatku itu merupakan rahmat bagi kamu”. Hadis ini diriwayatkan Baihaqi (458 H/1067 M) dalam kitabnya al-Madkhal ilâ as-Sunan al-Kubrâ, al-Khathib al-Baghdadî (463 H/1072 M) dalam kitabnya al-Kifâyah fî `Ilm ar-Riwâyah.[39] Di antara periwayat dalam sanadnya bernama Juwaibir dan adh-Dhahhak. Ibn Hajar al-`Asqalânî (852 H/1449 M) dalam Tahdzîb at-Tahdzîb (1404 H/1984 M, II: 123) dan adz-Dzahabî (748 H/1347 M) dalam Mîzân al-I`tidâl fî Naqd ar-Rijâl (1382 H/1963 M, I: 427) menyebutkan bahwa Juwaibir[40] dinilai sebagai munkar, matrûk, dan dzâhib al-hadîts (pemalsu hadis). Adh-Dhahhâk diklaim menerima hadis tersebut dari Ibn Abbas, padahal ia tidak pernah bertemu dengan Ibn Abbas. Dengan demikian, hadis tersebut kualitasnya sangat daif, yakni matrûk (tertolak). Bahkan al-Albani menilainya sebagai hadis palsu. 10. حُبُّ الْوَطَنِ مِنَ الإِيْمَانِ Cinta tanah air sebagian dari iman. Riwayat ini dinilai oleh ash-Shagani dan al-Albani sebagai hadis palsu. (al-`Ajluni, I: 415; al-Albani, Silsilah adh-Dha`ifah I: 110). 11. مَنْ عَظَّمَ مَوْلِدِيْ كُنْتُ شَفِيْعاً لَهُ يَوْمَ الْقِياَمَةِ Barangsiapa memuliakan Maulidku, maka Aku akan member syafaat baginya pada hari kiamat. Riwayat ini tidak ditemukan dalam kitab-kitab hadis, hanya ada dalam kitab Madarij ash-Shu`ud karya Syekh Nawawi Banten yang tidak menyebutkan sanadnya. Kalau riwayat tersebut tetap diklaim sebagai sabda Nabi SAW. maka itulah namanya hadis palsu. Demikian pula dalam salah satu kaedah penetapan kepalsuan suatu hadis ialah apabila telah diadakan penelitian terhadap suatu hadis ternyata menurut ahli hadis tidak terdapat dalam hapalan para periwayat hadis dan tidak terdapat dalam kitab-kitab hadis setelah penelitian dan pembukuan hadis dilakukan dengan sempurna. (Nur ad-Din `Itr, 1401 H: 312). 12. إِنَّ رَجَبَ شَهْرُ اللهِ وَشَعْباَنَ شَهْرِيْ وَرَمَضاَنَ شَهْرُ أُمَّتِي Sesungguhnya bulan Rajab itu adalah bulan Allah, Sya`ban adalah bulanku, dan Ramadhan adalah bulan ummatku.” Hadis ini terdapat dalam kitab Durrah an-Nashihin karya al-Khubawi (t.th.: 41) tanpa sanad. Hadis ini merupakan penggalan dari hadis cukup panjang yang terdapat dalam kitab himpunan hadis-hadis palsu berjudul al-Maudhu`at karya Ibn al-Jauzi (t.th., II: 125). Ibn Qayyim, Ibn Hajar, dan as-Suyuthi menilai hadis tersebut sebagai palsu hadis, (Fathullah, 2006: 18). 13. مَنْ تَقَرَّبَ فِيْهِ بِخَصْلَةٍ مِنَ الْخَيْرِ كَانَ كَمَنْ أَدَّى فَرِيْضَةً فِيْمَا سِوَاهُ وَمَنْ أَدَّى فِيْهِ فَرِيْضَةً كَانَ كَمَنْ أَدَّى سَبْعِيْنَ فَرِيْضَةً فِيْمَا سِوَاهُ Siapa yang melakukan amal kebajikan pada bulan Ramadhan, maka ia seperti melakukan suatu kewajiban pada bulan lain. Dan yang melakukan suatu kewajiban pada bulan Ramadhan, maka ia seperti melakukan tujuh puluh kewajiban pada bulan lainnya. Hadis ini merupakan penggalan dari hadis yang agak panjang diriwayatkan Ibn Khuzaimah dalam kitabnya Shahih Ibn Khuzaimah. Selengkapnya riwayat tersebut adalah: أيها الناس قد أظلكم شهر عظيم شهر مبارك شهر فيه ليلة خير من ألف شهر جعل الله صيامه فريضة و قيام ليله تطوعا من تقرب فيه بخصلة من الخير كان كمن أدى فريضة فيما سواه و من أدى فيه فريضة كان كمن أدى سبعين فريضة فيما سواه وهو شهر الصبر و الصبر ثوابه الجنة و شهر المواساة و شهر يزداد فيه رزق المؤمن من فطر فيه صائما كان مغفرة لذنوبه و عتق رقبته من النار و كان له مثل أجره منغير أن ينتقص من أجره شيء قالوا ليس كلنا نجد ما يفطر الصائم فقال : يعطي الله هذا الثواب من فطر صائما على تمرة أو شربة ماء أو مذقة لبن و هو شهر أوله رحمة و أوسطه مغفرة و آخره عتق من النار Wahai sekalian manusia kalian akan dilindungi bulan yang agung. Bulan yang diberkati. Bulan di dalamnya terdapat suatu malam lebih baik daripada seribu bulan. Allah menjadikan puasa pada bulan Ramadhan sebagai suatu kewajiban dan salat malamnya sebagai sunnah. Siapa yang melakukan suatu amal kebajikan pada bulan itu, ia seperti melakukan suatu kewajiban pada bulan lain. Dan yang melakukan suatu kewajiban pada bulan itu, ia seperti melakukan tujuh puluh kewajiban pada bulan lainnya. Pada bulan itu adalah bulan kesabaran. Pahala untuk kesabaran adalah surga. Ia juga bulan untuk memberi pertolongan dan pada bulan itu rezki orang mukmin akan bertambah. Orang yang memberikan buka puasa kepada orang yang berpuasa, hal itu akan menjadi ampunan bagi dirinya dan ia akan dibebaskan dari neraka. Ia juga akan memperoleh pahala ibadah orang telah diberi buka puasa. Dan orang yang diberi buka puasa bersama tidak akan dikurangi sedikitpun pahalanya. Para sahabat bertanya: "Bukankah kami semua dapat memberikan buka puasa kepada orang yang berpuasa". Nabi SAW. menjawab: "Allah akan memberikan pahala kepada orang yang memberi buka puasa walaupun sebiji kurma, seteguk air, atau setetes susu masam. Bulan Ramadhan diawali dengan rahmat, pertengahannya adalah ampunan, dan bagian akhirnya adalah pembebasn dari neraka." (HR. Ibnu Khuzaimah). Riwayat Ibn Khuzaimah ini kualitasnya daif, sebab salah seorang periwayat dalam sanadnya bernama `Ali ibn Zaid ibn Jud`ân (129 H). al-`Asqalânî (1404 H, VII: 283) dan adz-Dzahabi (1382 H, III: 127) mengemukana bahwa para kritikus hadis menilainya sebagai dha`if al-hadîts fî kulli syaiin (hadisnya daif dalam segala hal), laisa bi qawî (tidak kuat), laisa bi hujjah (tidak dapat dijadikan hujjah), bahkan ada yang menilainya wâhî al-hadîts (pemalsu hadis). Dengan penilaian ini, maka periwayat tersebut adalah daif. Hadis tersebut yang diriwayatkannya adalah daif. Riwayat Ibn Khuzaimah inilah yang paling banyak dikutip, padahal Ibn Khuzaimah sendiri meragukan kesahihan hadis ini. Ketika memulai menulis hadis ini Ibnu Khuzaimah mengatakan, "Bab keutamaan bulan Ramadhan إِنْ صَحَّ الْخَبَرُ (in shahha al-khabaru), artinya kalau hadis ini sahih)". Peneybutan "kalau …" ini menunjukkan keraguan. Setelah diteliti ternyata hadis tersebut kualitasnya daif sebagaimana dijelaskan di atas. (Yaqub, 2003: 35-6). 14. مَنْ عَظَّمَ مَوْلِدِيْ كاَنَ فيِ الْجَنَّةِ مَعِي Barangsiapa memuliakan maulidku, ia akan bersamaku di surga. Hadis ini sama dengan hadis ke- 18 di atas tidak ditemukan dalam kitab-kitab hadis, hanya ada dalam kitab Madarij ash-Shu`ud karya Syekh Nawawi Banten yang tidak menyebutkan sanadnya. Kalau riwayat tersebut tetap diklaim sebagai hadis Nabi SAW. maka itulah namanya hadis palsu. Demikian pula dalam salah satu kaedah penetapan kepalsuan suatu hadis ialah apabila telah diadakan penelitian terhadap suatu hadis ternyata menurut ahli hadis tidak terdapat dalam hapalan para periwayat hadis dan tidak terdapat dalam kitab-kitab hadis setelah penelitian dan pembukuan hadis dilakukan dengan sempurna. (Nur ad-Din `Itr, 1401 H: 312). 15. خُذُواْ شَطْرَ دِيْنِكُمْ عَنِ الْحُمَيْرَاءَ “Ambillah setengah agamamu dari al-Humaira.” Al-Humaira artinya yang kemerah-merahan, maksudnya ialah Aisyah isteri Nabi SAW.” Riwayat ini, oleh para ulama kritikus hadis, seperti Ibn Hajar al-Asqalani (852 H/1447 M) mengakui tidak mengenal isnad hadis ini dan tidak pernah terlihat dalam kitab-kitab hadis, kecuali hanya dalam buku al-Nihayah karya Ibnu al-Atsir (630 H/1232 M) yang juga tidak menyebutkan siapa yang meriwayatkannya. Ibnu Katsir (774 H/1373 M) seorang ulama tafsir dan hadis menyebutkan bahwa al-Mizzi dan al-Dzahabi (keduanya adalah ulama kritikus hadis) pernah ditanya tentang hadis ini, keduanya mengaku tidak mengenalnya, bahkan al-Mizzi menilai bahwa hadis tersebut adalah batal (palsu).[41] 16. الجمعة حج الفقراء Shalat jumat merupakan ibadah hajinya orang-orang miskin. (HR. Al-Qudha'i dan Ibnu 'Asakir dari Ibnu Abbas). Kata Syekh Nashiruddin al-Albani hadis ini adalah palsu. 17. صنفان من الناس إذا صلحا صلح الناس و إذا فسدا فسد الناس : العلماء و الأمراء (حل ) عن ابن عباس Ada kelompokj manusia, kalau keduanya damai, maka damailah seluruh manusia. Kalau keduanya rusak, maka rusaklah semua manusia. Kedua manusia yang dimaksud ialah ulama dan umara (pemerintah). (HR. Ibnu Abbas). Kata Syekh Nashiruddin al-Albani hadis ini adalah palsu. B. Latar Belakang Kemunculan Hadis Palsu Kemunculan hadis yang sangat daif atau hadis maudhu` dilatarbelakangi oleh berbagai motivasi, di antaranya: 1. Motivasi kepentingan politik dan kekuasaan. Motivasi ini merupakan awal kemunculan hadis maudhu`terutama masa kekacauan, masa kekhalifahan Ali ibn Abi Thalib. Puncak kekacauan ini pada terjadinya perang Shiffin. Misalnya hadis:[42] أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اِسْتَشَارَ أَبَا بَكْرٍ وَعُمَرَ فِيْ أَمْرٍ فَقَالاَ اللهُ وَرَسُوْلُهُ أَعْلَمُ فَقَالَ اُدْعُوْا لِيْ مُعَاوِيَةَ فَلَمَّا وَقَفَ بَيْنَ يَدَيْهِ قَالَ أُحْضُرُوْهُ أَمْرَكُمْ وَأَشْهِدُوْهُ أَمْرَكُمْ فَإِنَّهُ قَوِيٌّ أَمِيْنٌ Nabi SAW. meminta saran kepada Abu Bakar dan Umar ibn al-Khattab mengenai suatu masalah. Keduanya menjawab: “Allah dan Rasul-Nya yang lebih tahu”. Lalu Nabi SAW. bersabda, panggilkan Muawiyah kepadaku. Ketika Muawiyah duduk di hadapannya, beliau bersabda: “hadapkanlah dan persaksikan semua urusanmu kepada Muawiyah, karena dia sangat kuat dan terpercaya. Hadis ini dibuat oleh pengikut dan pendukung Muawiyah. Lawan politiknya, tidak mau kalah sehingga membuat juga hadis yang memojokkan dan mencela Muawiyah, sebaliknya justru mendukung Ali ibn Abi Thalib. لِكُلِّ أُمَّةٍ فِرْعَوْنَ وَفِرْعَوْنَ هذِهِ اْلأُمَّةُ مُعَاوِيَةُ Setiap umat ada Fir`aunnya. Fir`aunnya umat ini adalah Muawiyah. Demikian juga hadis palsu lainnya yang mendukung Ali ibn Abi Thalib. أَنَا مَدِيْنَةُ الْعِلْمِ وَ عَلِيٌّ بَابُهَا فَمَنْ أَرَادَ الْعِلْمَ فَلْيَأْتِهَا مِنْ بَابِهَا Saya (Nabi SAW) adalah kotanya (sumber atau pusatnya) ilmu dan Ali ibn Abi Thalib adalah pintunya. Barangsiapa yang mau memperoleh ilmu maka datanglah melalui pintunya.[43] Golongan Rafidhah telah membuat hadis palsu tentang keutamaan Ali ibn Abi Thalib dan Ahl al-Bait hingga mencapai 300. 000 hadis palsu.[44] Lalu kelompok Khawarij juga membuat hadis. أَوَّلُ مَنْ يَخْتَصِمُ مِنْ هذِهِ اْلأُمَّةِ عَلِيٌّ وَمُعَاوِيَةُ Orang pertama yang menimbulkan permusuhan di kalangan umat Islam adalah Ali dan Muawiyah. 2. Motivasi mengeruhkan dan merusak kemurnian ajaran agama. Misalnya oleh kaum Zindik membuat hadis. أَنَا خَاتَمُ النَّبِيِّيْنَ لاَ نَبِيَّ بَعْدِيْ إِلاَّ أَنْ يَّشَاءَ اللهُ Saya adalah penutup para nabi. Tidak ada lagi nabi setelahku kecuali kalau Allah menghendaki. Kalimat “إِلاَّ أَنْ يَّشَاءَ اللهُ” ditambahkan oleh Muhammad ibn Said, seorang pendusta yang kemudian dieksekusi di tiang gantungan oleh Khalifah al-Manshur di hadapan para kaum zindik. Abdul Karim ibn Abi al-Auja' menjelang dieksekusi di tiang gantungan oleh Walikota Basrah Muhammad ibn Sulaiman, mengaku telah membuat hadis palsu sebanyak 4. 000 hadis.[45] 3. Motivasi targhib dan tarhib. Dalam rangka mendorong agar rajin beribadah dan berbuat kebaikan serta menjauhi kejahatan. Misalnya agar umat kembali kepada al-Qur’an dan rajin membacanya. Nuh ibn Abi Maryam telah membuat hadis-hadis mengenai keutamaan membaca beberapa مَنْ سَمِعَ سُوْرَةَ يس عَدَلَتْ لَهُ عِشْرِيْنَ دِيْنَارًا فِيْ سَبِيْلِ اللهِ وَمَنْ قَرَأَهَا عَدَلَتْ لَهُ عِشْرِيْنَ حَجَّةً وَمَنْ كَتَبَهَا وَشَرِبَهَا أُدْخِلَتْ جَوْفُهُ أَلْفَ يَقِيْنٍ وَأَلْفَ نُوْرٍ وَأَلْفَ بَرَكَةٍ وَأْلَف رَحْمَةٍ وَأَلْفَ رِزْقٍ وَنُزِعَتْ مِنْهُ كُلُّ غَلٍّ Barangsiapa mendengarkan bacaan surat Yasin, maka senilai dengan menyumbangkan 20 dinar ke jalan Allah. Barangsiapa membaca surat Yasin senilai dengan pergi haji 20 kali. Barangsiapa menulisnya dan meminumnya, maka akan dimasukkan ke dalam mulutnya 1000 keyakinan dan 1000 cahaya, 1000 berkah, 1000 rahmat, dan 1000 rezki. Dan dikeluarkan dari dalam tubuhnya segala macam penyakit.[47] Pengakuan Maisarah ibn `Abd Rabbih dalam membuat hadis maudhu`. Muhammad ibn `Isa bertanya kepadanya, “dari mana Anda dapat riwayat hadis: مَنْ قَرَأَ كَذاَ ... كَانَ لَهُ كَذاَ ؟ قَالَ: وَضَعْتُهُ أَرْغَبُ النَّاسَ “Barangsiapa membaca … (ayat atau bacaan tertentu) … demikian, maka baginya akan berhak mendapatkan … demikian.”? Maisarah menjawab: “Saya membuat (palsukan) demikian riwayat itu untuk memberi motivasi kepada masyarakat (agar rajin membaca al-Qur’an)”.[48] صَوْمُ أَوَّلِ يَوْمٍ مِنْ رَجَبٍ كَفَّارَةُ ثَلاَثَ سِنِيْنَ وَ الثَّانِيْ كَفَّارَةُ سَنَتَيْنِ وَ الثَّالِثُ كَفَّارَةُ سَنَةٍ ثُمَّ كُلَّ يَوْمٍ شَهْرًا Puasa pada hari pertama bulan Rajab akan menghapus dosa tiga tahun, puasa pada hari kedua akan menghapus dosa dua tahun, puasa pada hari ketiga akan menghapus dosa setahun, dan puasa setiap setiap akan menghapus dosa sebulan.[49] Memotivasi agar tidak memandang remeh para ulama dan keutamaan orang yang berilmu. Misalnya hadis riwayat dari Anas ibn Malik, مَنْ أَكْرَمَ عَالِمًا فَقَدْ أَكْرَمَ سَبْعِيْنَ نَبِيًّا وَمَنْ أَكْرَمَ مُتَعَلِّمًا فَقَدْ أَكْرَمَ سَبْعِيْنَ شَهِيْدًا وَمَنْ أَحَبَّ الْعِلْمَ وَالْعُلَمَاءَ لَمْ تُكْتَبْ عَلَيْهِ خَطِيْئَةُ أَيَّامِ حَيَاتِهِ Barangsiapa memuliakan ulama, maka sesungguhnya ia telah memuliakan 70 nabi. Barangsiapa memuliakan orang yang belajar, maka sesungguhnya ia telah memuliakan 70 orang mati syahid. Barangsiapa mencintai ilmu dan ulama dosa hariannya tidak akan dicatat. 4. Motivasi menarik simpati dengan cara membuat kisah-kisah menarik para pendengar. Dalam sebuah riwayat dari Anas ibn Malik, disebutkan bahwa seorang perempuan diberitahu bahwa ayahnya sedang sakit menjelang alhir hayatnya. Ia meminta izin kepada suaminya untuk mengunjungi ayahnya, namun suaminya melarang. Ketika ayahnya meninggal dunia, isteri tersebut meminta izin lagi kepada suaminya untuk melayat dan ingin berkumpul bersama keluarganya ketika jenazah ayahnya diantar ke tempat pemakaman. Namun suaminta tetap melarangnya. Akhirnya isterinya datang kepada Nabi SAW. mengadukan apa yang dialami dan perlakuan suaminya. Mendengar pengaduan isteri tersebut, Nabi SAW. bersabda: “Sungguh Allah telah mengampuni ayahmu disebabkan engkau mematuhi perintah suamimu”.[50] Riwayat seperti ini bertentangan dengan prinsip ajaran Islam yang sangat mengedepankan hubungan silaturrahim terutama kepada kedua orang tua. Tidak mungkin Nabi SAW. merestui perbuatan yang memutuskan hubungan silaturrahim. 5. Motivasi kepentingan pribadi dan duniawi. Dalam rangka mendapatkan fasilitas duniawi sehingga mengadakan pendekatan kepada pihak pemerintah. Misalnya Ghiyats ibn Ibrahim yang dating menghadap kepada khalifah al-Mahdi (khalifah yang senang burung merpati dan suka bermain dengannya). Ketika itu ada seekor burung merpati di hadapannya. Datanglah Ghiyats mengatakan seorang telah meriwayatkan kepadaku, katanya telah meriwayatkan kepadaku bahwa Rasulullah SAW. bersabda: لاَ سَبْقَ إِلاَّ فِيْ نَصْلٍ أَوْ خَفٍّ أَوْ حَافِرٍ أَوْ جَنَاحٍ Tidak ada perlombaan kecuali lomba panahan, lomba lari unta, lari kuda, atau lomba burung. Kata “أَوْ جَنَاحٍ” merupakan tambahan Ghiyats ke dalam hadis tersebut. Dengan usahanya membuat hadis maudhu` dengan cara menambahkan satu kata sehingga ia mendapatkan uang 10.000 dirham dari khalifah. METODE
Membaca dan memahami hadis Nabi SAW. tidak hanya melihat apakah hadis sahih atau daif, akan tetapi adalah juga bagaimana memahami makna dan maksud kandungan hadis itu. Oleh karena itu, berikut ini akan dikemukakan metode memahami hadis Nabi SAW. A. Prinsip otentisitas dan kualitas Langkah awal dalam upaya menggali dan memegang pesan dan ajaran dari suatu hadis adalah prinsip otentisitas dan kualitas hadis itu. Maksudnya, setelah diyakini dengan sebenarnya bahwa hadis itu otentik berasal dari Rasulullah SAW. Dalam sebuah riwayat, ada dua hal pokok yang harus menjadi perhatian utama, yaitu wurud dan dalalah-nya. Wurud adalah sumber dan asal usul suatu riwayat, dan dalalah adalah makna dan petunjuk dari kandungan suatu riwayat itu. 1. Memahami hadis sesuai petunjuk al-Qur'an (فهم السنة في ضوء القرآن الكريم) Umar pernah mendengar Nabi SAW bersabda: إِنَّ الْمَيِّتَ لَيُعَذَّبُ بِبُكَاءِ أَهْلِهِ عَلَيْهِ (Sesungguhnya mayat itu disiksa karena tangisan keluarganya kepadanya). Mendengar informasi tersebut, Aisyah langsung berkomentar, “Semoga Umar dirahmati Allah” Rasulullah SAW tidak pernah bersabda bahwa mayat orang mukmin itu akan disiksa karena ditangisi keluarganya. Beliau hanya bersabda: “Sesungguhnya Allah akan menambah siksa mayat orang kafir yang ditangisi keluarganya”. Cukuplah bagi kalian sebuah ayat yang mengatakan bahwa seseorang tidak akan menanggung dosa orang lain, yaitu: وَلاَ تَزِرُ وَازِرَةٌ وِزْرَ أُخْرَى(Dan seseorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain). (QS. al-An’âm [6]: 164 dan QS. al-Isrâ’ [17]: 15).[51] الْوَائِدَةُ وَالْمَوْءُودَةُ فِي النَّارِ Perempuan yang mengubur hidup-hidup bayinya dan bayi perempuan yang dikubur hidup-hidup keduanya akan masuk neraka. (HR. Abu Daud dari Ibn Mas`ud).[52] Hadis ini dinilai bertentangan dengan petunjuk al-Qur'an. وَإِذَا الْمَوْءُودَةُ سُئِلَتْ(8)بِأَيِّ ذَنْبٍ قُتِلَتْ Apabila bayi-bayi perempuan yang dikubur hidup-hidup ditanya, karena dosa apakah dia dibunuh. (QS. At-Takwîr/81: 8-9). 2. Menghimpun hadis-hadis yang terjalin dalam tema yang sama (جمع الأحاديث الواردة في الموضوع الواحد) Diriwayatkan dari Abdullah ibn Amr, Rasulullah SAW. bersabda: مَنْ لَبِسَ الذَّهَبَ مِنْ أُمَّتِي فَمَاتَ وَهُوَ يَلْبَسُهُ حَرَّمَ اللَّهُ عَلَيْهِ ذَهَبَ الْجَنَّةِ وَمَنْ لَبِسَ الْحَرِيرَ مِنْ أُمَّتِي فَمَاتَ وَهُوَ يَلْبَسُهُ حَرَّمَ اللَّهُ عَلَيْهِ حَرِيرَ الْجَنَّةِ Barangsiapa dari umatku memakai emas sampai meninggal dunia, maka Allah mengharamkan baginya emas surga. Dan barangsiapa dari umatku yang memakai sutera sampai meninggal dunia, maka Allah mengharamkan baginya pakaian sutera surga. (HR. Ahmad).[53] Dalam hadis lain bersumber dari Abu Musa al-‘Asy’ari, bahwa Rasulullah SAW. bersabda: حُرِّمَ لِبَاسُ الْحَرِيرِ وَالذَّهَبِ عَلَى ذُكُورِ أُمَّتِي وَأُحِلَّ ِلإِنَاثِهِمْ “Telah diharamkan pakaian sutera dan emas bagi umatku dari kalangan laki-laki saja dan dihalalkan bagi kalangan perempuan.” (HR. Turmidzi).[54] Diriwayatkan dari Abu Dzarr, Rasulullah SAW. bersabda: ثَلاَثَةٌ لاَ يُكَلِّمُهُمْ اللَّهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ الْمَنَّانُ الَّذِي لاَ يُعْطِي شَيْئًا إِلاَّ مَنَّهُ وَالْمُنَفِّقُ سِلْعَتَهُ بِالْحَلِفِ الْفَاجِرِ وَالْمُسْبِلُ إِزَارَهُ (مسلم) Dalam riwayat lainnya bersumber dari Ibnu Umar, Rasulullah SAW. bersabda: مَنْ جَرَّ ثَوْبَهُ خُيَلاَءَ لَمْ يَنْظُرْ اللَّهُ إِلَيْهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ (البخاري) Barangsiapa yang menyeret pakaiannya karena sombong, Allah membencinya pada hari kiamat. (HR. Bukhari). Kedua hadis ini saling menjelaskan dalam hal cara berpakaian di bawah mata kaki. Hadis kedua ini memperjelas bahwa menyeret pakaian atau memakai pakaian di bawah mata kaki yang dilarang adalah yang dilakukan karena sombong. 3. Mempertimbangkan latar belakangnya, situasi dan kondisi ketika munculnya hadis itu (فهم الأحاديث في ضوء أسبابها وملابستها ومقاصدها) Nabi SAW. bersabda: الأئمّة من قريش انّ لهم عليكم حقا ولكم عليهم حقا مثل ذلك “Pemimpin itu dari etnis Quraisy. Sesungguhnya mereka mempunyai hak atas kamu sekalian dan kamu sekalian mempunyai hak atas mereka.” (HR. Ahmad dan Malik dari Anas ibn Malik dan Ibn Barzah).[55] Dalam realitas kehidupan sosial politik, dan budaya bangsa Arab baik masa Pra Islam maupun Pasca-Islam, etnis Quraisy menempati pada posisi dan strata yang tinggi dan terhormat, dilihat dari aspek eksistensi religiusitasnya yang berkaitan dengan Hanafiyyah, agama Nabi Ibrahim as. Etnis Quraisylah yang melaksanakan pengabdian atau pelayanan servis terhadap Ka’bah. Demikian juga aset dan posisi ekonomi perdagangan dipegang dan dimainkan oleh etnis Quraisy. Yang pertama kali menyambut dan masuk Islam serta menjadi pahlawan-pahlawan dalam mendakwahkan syiar Islam adalah orang-orang dari etnis Quraisy.[56] (Al-Mubarak, 1995:80). Djalaluddin Rakhmat mengutip pandangan Nicholson, Goldziher, dan Jafri tentang teori sosio-antropologis bangsa Arab yang berpijak pada dua asumsi: (1) Bangsa Arab adalah bangsa yang terorganisasi atas dasar kesukuan (etnisitas); kesetiaan pada suku dan ketergantungan kehormatan pada sukunya menjadi sangat penting; (2) Bangsa Arab yang membentuk umat Islam permulaan terdiri dari dua subkultur–subkultur Arab Selatan dan subkultur Arab Tengah Utara.[57] Suku Arab Selatan adalah suku Arab yang memiliki sensitivitas religius yang tinggi, artinya mereka lebih menunjukkan pada perasaan syukur dan penyerahan diri pada Tuhan. Berbeda dengan suku-suku di Arab Utara lebih memuja keberanian dan kepahlawanan. Pada suku-suku Arab Utara, pemimpin umumnya dipilih berdasarkan usia atau senioritas. Sedangkan suku-suku Arab Selatan pemimpin dipilih berdasarkan kesucian keturunan. Bagi bangsa Arab, khususnya Arab Selatan, pengurusan rumah suci dan kehormatan tidak dapat dipisahkan. Oleh karena itu, sejak zaman jahiliyah orang Arab tidak mengenal pemisahan antara kepemimpinan temporal dan kepemimpinan sakral. Ka’bah adalah rumah suci yang dihormati semua kabilah Arab. Kabilah yang mendapat tugas secara turun temurun memelihara Ka’bah dan tugas kepemimpinan Arab dipegang oleh keturunan dari suku Quraisy. Dengan demikian, orang-orang yang berasal dari etnis Quraisy diangkat menjadi pemimpin sebagaimana dalam hadis di atas, adalah sangat beralasan, karena prestasi mereka yang didukung oleh adanya kewibawaan, kemampuan, dan pengalaman serta hasil prestasi kerja mereka. Artinya, Orang-orang Quraisylah saat itu yang merupakan etnis Arab yang paling kuat, tangguh dan terkemuka yang mempunyai solidaritas kelompok yang kokoh dan membuatnya paling berwibawa untuk memelihara keutuhan dan persatuan umat Islam. Jadi, persoalannya di sini bukan pada etnis Quraisynya itu, akan tetapi, lebih pada persoalan kemampuannya. Oleh karena itu, kapan dan dimanapun, mereka yang mempunyai kewibawaan, dan kemampuan, maka itulah yang pantas dan layak dipilih menduduki jabatan kepala atau pemimpin walaupun bukan berasal dari keturunan etnis Quraisy. Pandangan seperti ini didukung oleh hadis yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim yang bersumber dari Anas ibn Malik yang intinya bahwa hak kepemimpinan itu tidak hanya bagi orang-orang Quraisy, tapi orang-orang hamba sahaya pun boleh menjadi pemimpin selama mereka mampu, bahkan Nabi Saw. sendiri justru memerintahkan supaya taat dan mendengarkan apa yang diperintahkan oleh pemimpin yang berasal dari hamba sahaya dari Habsyi. Hadis yang dimaksud ialah: إسمعوا وأطيعواوان استُعْمِلَ عليكم عبْدٌ حَبَشِيٌّ كأنّه رأسَه زبيبة “Dengarlah dan taatilah kamu sekalian walaupunpejabat yang saya angkat untuk mengurus kepentngan kamu sekalian adalah hamba sahaya dari Habsyi yang (rambut) di kepalanya menyerupai gandum”. (HR.Bukhari , Muslim, dan lain-lain yang bersumber dari Anas ibn Malik). Selanjutnya Diriwayatkan dari Abi Bakrah, Rasulullah SAW. bersabda: لَنْ يُفْلِحَ قَوْمٌ وَلَّوْا أَمْرَهُمْ امْرَأَةً “Tidak akan suskses suatu kaum (masyarakat, bangsa) yang menyerahkan (untuk memimpin urusan mereka kepada perempuan”. (HR. Bukhari, Turmidzi, dan an-Nasai dari Abi Bakrah). Hadis ini, kalau dilihat dan dipahami secara tekstual, maka perempuan memang tidak layak untuk diangkat menjadi presiden. Pemahaman seperti ini banyak dilakukan oleh ulama, bahkan mungkin masih jumhur (mayoritas) ulama berpendapat demikian. Menurut hemat kami, bahwa dengan pemahaman cara seperti ini akan memunculkan kesan yang diskriminatif terhadap perempuan dan tidak menghargai peran dan eskistensi hak politik bagi mereka untuk memimpin. Kondisi dan kemampuan yang dimiliki perempuan terutama di era modern, tentu sudah tidak sama lagi dengan zaman dahulu. Sekarang mereka mengalami kemajuan sebagaimana halnya laki-laki berkat perkembangan dan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, termasuk kemajuan dalam bidang politik. Perubahan situasi dan kondisi serta realitas sosial dimana mereka hidup dan beraktifitas, dikaitkan dengan hadis di atas, maka pendekatan kontekstual merupakan tawaran yang relevan. Pendekatan kontekstual ini adalah dengan memperhatikan pada latar belakang sosio-historis lahirnya hadis tersebut dan realitas sosial masyarakat pada saat itu sehingga gambaran mengenai tujuan disabdakannya hadis itu dapat tertangkap. Hadis tersebut disabdakan Nabi Saw. ketika mendengar laporan dari sahabat yang menceritakan tentang pengangkatan seorang perempuan menjadi ratu di Sejarah telah mencatat bahwa perempuan di mata masyarakat pada saat itu adalah makhluk yang kurang dihargai bahkan boleh dikatakan tidak berharga sama sekali. Dengan dasar kepercayaan seperti ini, maka hanya laki-lakilah yang dipandang mampu mengurus kepentingan masyarakat luas dan masalah negara. Sementara perempuan tetap tidak dipercaya sama sekali untuk ikut mengurus kepentingan masyarakat dan lebih-labih lagi masalah negara. Dalam situasi dan kondisi seperti inilah, Nabi Saw. menyatakan bahwa menyerahkan urusan kemasyarakatan atau kenegaraan kepada perempuan tidak akan sukses, sebab bagaimana mungkin bisa sukses, kalau orang yang memimpin itu adalah makhluk yang sama sekali tidak dihargai oleh masyarakat yang dipimpinnya. Salah satu syarat yang ideal bagi seorang pemimpin adalah ia mempunyai kharisma atau kewibawaan, sementara perempuan pada saat itu sama sekali tidak mempunyai kharisma atau kewibawaan untuk menjadi pemimpin masyarakat.[59] Oleh karena itu, dengan perubahan situasi dan kondisi, dimana masyarakat sudah menghargai, menerima, dan memposisikan perempuan itu sebagaimana halnya dengan laki-laki, dan perempuan itu sendiri juga sudah mempunyai kewibawaan dan kemampuan memimpin, maka mengangkat mereka untuk menjadi pemimpin adalah boleh-boleh saja. Jadi, hadis di atas persoalan intiinya bukan pada persoalan keperempuanannya, akan tetapi lebih pada persoalan kemampuan memimpin. Oleh karena itu, laki-laki pun juga tidak akan sukses dalam memimpin suatu masyarakat atau negara, kalau tidak mempunyai wibawa dan kemampuan kepemimpinan yang memadai. Contoh lainnya hadis yang diriwayatkan dari Ibnu Umar, Rasulullah SAW. bersabda: لا تسافر المرأة ثلاثة أيام إلا مع ذي محرم Seorang perempuan tidak boleh mengadakan perjalanan jauh tiga hari kecuali harus disertai oleh mahramnya (HR. Bukhari dan Muslim). B. Hadis; Antara Teks dan Tujuannya Contoh yang dapat dikemukakan termasuk hadis tentang zakat fitrah berupa jenis makanan tertentu, seperti kurma, kismis, gandum, sya`ir. عن ابن عمر رضي الله عنهما قال فرض رسول الله صلى الله عليه وسلم زكاة الفطر صاعا من تمر أو صاعا من شعير على العبد والحر والذكر والأنثى والصغير والكبير من المسلمين وأمر بها أن تؤدى قبل خروج الناس إلى الصلاة (رواه البخاري ومسلم) Diriwayatkan dari Ibnu Umar RA., ia berkata: "Rasulullah SAW. mewajibkan umat Islam mengeluarkan zakat fitrah berupa satu sha' kurma dan gandum bagi kalangan budak, merdeka, laki-laki, perempuan, anak kecil dan orang lanjut usia. Beliau memerintahkan menunaikannya sebelum berangkat pergi shalat ' Berdasarkan teks hadis tersebut, maka yang dikeluarkan zakat fitrah berupa makanan seperti kurma atau anggur. Kalau di Indonesia berupa beras sebagai bahan makanan pokok. Kalau dilihat dari segi tujuan pengeluaran ialah agar dapat memenuhi kebutuhan orang orang miskin, maka mengeluarkan dalam bentuk uang kontan (cas) juga boleh. Sebab dengan uang justru akan lebih dapat memenuhi kebutuhan orang miskin. Kalau orang miskin diberi zakat berupa beras sebanyak 100 Kg, maka mereka pasti menjual sebagiannya. Hasil penjualannya digunakan untuk keperluan lainnya seperti beli gula, kopi, teh, susu, ikan, dan lain-lain. Dengan demikian, memahami hadis tersebut dilihat dari sisi tujuannya, boleh mengeluarkan zakat berupa nilainya itu uang. C. Membedakan antara sarana yang berubah-ubah dan tujuan yang tetap (التمييز بين الوسيلة المتغيرة والهدف الثابت للحديث) Hadis yang diriwayatkan dari Aisyah, Nabi SAW. bersabda: السِّوَاكُ مَطْهَرَةٌ لِلْفَمِ مَرْضَاةٌ لِلرَّبِّ Bersiwak adalah membersihkan mulut-gigi dan mendapatkan Ridha Allah. (HR. Bukhari). Siwak adalah sebagai alat atau sarana, dan bukan tujuan. Tujuannya adalah terwujudnya kebersihan mulut dan gigi sehingga memperoleh keridhaan Allah. Siwak digunakan dan dianjurkan oleh Nabi SAW. sebab memang cocok dan mudah didapatkan bahannya pada waktu itu. Siwak biasanya di negeri Arab diambil dari ranting pohon arak, arjun, zaitun atau lainnya yang tidak melukai, tidak mengganggu, dan tidak mudah hancur. Karena siwak sebagai alat atau sarana, maka dalam kondisi sekarang ini bisa saja diganti dengan sikat gigi yang sudah sangat banyak diproduksi. Termasuk juga dalam hal ini hadis-hadis Nabi SAW. mengenai etika makan yang disebutkan dalam hadis. Nabi SAW. bersabda: إِذَا أَكَلَ أَحَدُكُمْ فَلاَ يَمْسَحْ يَدَهُ حَتَّى يَلْعَقَهَا أَوْ يُلْعِقَهَا (متفق عليه) Apabila salah seorang di antara kalian selesai makan, maka janganlah ia membersihkan tangannya hingga menjilatinya. (HR. Muttafaq `alaih). Diriwayatkan dari Ka'ab, ia meriwayatkan: أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَأْكُلُ بِثَلاَثِ أَصَابِعَ فَإِذَا فَرَغَ لَعِقَهَا (مسلم ) Rasulullah SAW. makan menggunakan tiga jari. Apabila selesai makan, beliau menjilati jarinya. (HR. Muslim). Perintah membersihkan tangan sesudah makan tidak mesti dengan menjilatinya, tapi bisa saja dengan cara lain yang lebih sederhana, praktis, dan bersih, sebab tujuan utama yang dikehendaki adalah etika makan dengan sikap rendah hati dan penghargaan terhadap karunia rezki dan nikmat Allah SWT. dalam makanan, maksudnya adalah bersikap tawadhu’ dan syukur serta sederhana. D. Membedakan antara ungkapan yang bermakna sebenarnya dan bermakna majaz (التفريق بين الحقيقة والمجاز في فهم الحديث) Bangsa Arab sangat terkenal dengan kemampuan dan penguasaan bahasa dan sastra atau balaghahnya, misalnya menggunakan bahasa kiasan (majazi), tamsil, perumpamaan, metafora, isti`arah, atau kinayah, dan lain-lain. Sebagai kelahiran bangsa Arab yang hidup dan dibesarkan di tengah-tengah mereka yang tinggi penguasaan ilmu bahasa dan sastra, maka redaksi bahasa yang digunakan dalam hadis, selain menggunakan bentuk yang bermakna hakikat (denotatif) dan ada juga yang menggunakan bahasa tamsil, metafora, majazi atau kiasan, isti`arah, kinayah, simbolik, analogis, dialogis, dan lain-lain. Rasulullah SAW. pernah bersabda kepada isteri-isterinya: اَسْرَعُكُنَّ لُحُوْقاً بِى اَطْوَلُكُنَّ يَداً (رواه مسلم) “Yang paling cepat menyusulku (sepeninggalku) nanti di antara kalian adalah yang paling panjang tangannya.” Mereka para isteri Nabi SAW. Ummahat al-Mukminin mengira bahwa yang dimaksud oleh beliau adalah secara fisik yang benar-benar tangannya paling panjang, sehingga mereka saling mengukur siapa di antara mereka yang paling panjang tangannya. Padahal, sesungguhnya bukan itu yang dimaksudkan oleh Rasulullah SAW. “Tangan yang paling panjang” yang dimaksudkan oleh Rasulullah SAW. adalah yang paling banyak kebaikan dan kedermawanannya.” (HR. Muslim bersumber dari Aisyah). Dan itulah yang benar-benar terbukti kemudian. Di antara isteri-isteri beliau, Ummahat al-Mukminin yang paling cepat meninggal dunia menyusuli Nabi SAW. adalah Zainab binti Jahsy. Ia dikenal sebagai seorang perempuan yang sangat terampil, bekerja dengan kedua tangannya sendiri, lalu ia menyedekahkan hasil-hasil kerjanya. Begitu juga hadis yang diriwayatkan Thabarani. لأَنْ يُّطِعْنَ اَحَدُكُمْ بِمُخِيْطٍ مِنْ حَدِيْدٍ خَيْرٌ مِنْ اَنْ يَّمُسَّ امْرَأَةً لاَتَحِلُّ لَهُ (رواه الطبرانى) “Sungguh lebih baik bagi seseorang di antara kalian ditusuk jarum besi dari pada ia menyentuh seorang perempuan yang tidak halal baginya.” (HR. Thabrani). Pemahaman secara majazi atau kiasan seperti ini juga didapati dalam bahasa al-Qur’an, misalnya: يَآاَيُّهاَ الَّذِيْنَ آمَنُواْ اِذاَ نَكَحْتُمُ الْمُؤْمِناَتِ ثُمَّ طَلَّقْتُمُوْهُنَّ مِنْ قَبْلِ اَنْ تَمَسُّوْهُنَّ فَماَلَكُمْ عَلَيْهِنَّ مِنْ عِدَّةٍ تَعْتَدُّوْنَهاَ “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu menikahi perempuan-perempuan yang beriman, kemudian kamu ceraikan mereka sebelum kamu menyentuhnya, maka sekali-kali tidak wajib atas mereka iddah bagimu yang kamu minta menyempurnakannya.” (QS. al-Ahzab/33: 49). Kata اَنْ تَمَسُّوْهُنَّ (menyentuh mereka) dalam ayat ini, bukan dalam arti sebenarnya “menyentuh antar kulit dengan kulit seperti biasa”, tetapi dipahami dalam arti majazi atau kiasan, yakni berhubungan seksual. Dalam ayat lain diungkapkan: قَالَتْ رَبِّ اَنَّى يَكُوْنُ لِي وَلَدٌ وَلَمْ يَمْسَسْنِى بَشَرٌ “Maryam berkata: “Ya Tuhanku, bagaimana mungkin aku mempunyai anak, padahal aku belum pernah disentuh oleh seorang laki-laki.” (QS. Ali Imran/3: 47). Kata يَمْسَسْنِي (aku disentuh) dalam ayat ini juga dalam arti majazi atau kiasan. Maksudnya ialah aku belum pernah berhubungan seksual. Ketika Muawiyah bin Jahimah as-Salamy datang kepada Rasulullah SAW. memberikan bai’atnya (janji setia) untuk ikut berjihad bersama Rasul, sementara ia meninggalkan ibunya yang sangat memerlukan santunan, perawatan, dan pemeliharaannya, maka Rasulullah SAW. bersabda kepadanya: فَالْزَمْهَا فَإِنَّ الْجَنَّةَ تَحْتَ رِجْلَيْهَا “Tinggallah bersama ibumu, sebab surga berada di bawah kedua telapak kakinya.” (HR. Ahmad dan Nasai bersumber dari Muawiyah bin Jahimah as-Salamy). Ini juga menggunakan bahasa majazi atau kiasan, maksudnya ialah berbakti kepada ibu dan bersikap tulus dalam menyantuni dan merawatnya. Berbakti dengan menyantuni dan merawat ibu merupakan pintu menuju surga. Kualitas hadis ini adalah sahih. Berbeda dengan hadis yang populer selama ini, yaitu: اَلْجَنَّةُ تَحْتَ اَقْدَامِ الأُمَّهَاتِ مَنْ شِئْنَ اَدْخَلْنَ وَمَنْ شِئْنَ اَخْرَجْنَ “Surga ada di bawah telapak kaki ibu-ibu. Barangsiapa dikehendakinya maka dimasukkannya dan barangsiapa yang dikehendakinya maka ia akan dikeluarkannya.” Riwayat ini dimasukkan oleh al-‘Uqaili (323 H) dalam kumpulan hadis-hadis lemah dalam bukunya aAl-Dhu’afa. Sedang menurut Nashiruddin Albani hadis ini adalah maudhu’ atau palsu. Demikian juga dengan hadis yang diriwayatkan imam Muslim yang bersumber dari Abu Hurairah, Nabi SAW. bersabda: فَإِنَّ الْمَرْأَةَ خُلِقَتْ مِنْ ضِلَعٍ وَإِنَّ أَعْوَجَ شَيْءٍ فِي الضِّلَعِ أَعْلاَهُ إِنْ ذَهَبْتَ تُقِيمُهُ كَسَرْتَهُ وَإِنْ تَرَكْتَهُ لَمْ يَزَلْ أَعْوَجَ “Sesungguhnya perempuan itu diciptakan dari tulang rusuk. Dan Tulang rusuk pada bagian atasnya bengkok, jika engkau meluruskannya akan membuatnya patah. Dan jika engkau membiarkannya akan bengkok selamanya.” (HR. Muslim dari Abu Hurairah). Banyak ulama bahkan mayoritas memahami hadis ini dengan berpegang pada makna lahiriah dan tekstualnya sehingga terkadang perempuan diposisikan secara terpojok karena ia merupakan sub-ordinasi atau bagian dari laki-laki. Tulang rusuk yang bengkok yang dimaksudkan dalam hadis ini adalah sebagai ungkapan simbolik mengenai sifat-sifat negatif yang dimiliki oleh seorang perempuan. Hadis ini disabdakan Nabi SAW. dalam konteks cara menyikapi perempuan, khususnya isteri yaitu dengan bahasa kelembutan, sebab dia mempunyai watak dan sifat-sifat dasar yang bengkok atau negatif, kalau dia disikapi dengan keras, maka akibatnya fatal bisa pecah dan berantakan yang berujung pada perceraian dalam sebuah rumah tangga. Akan tetapi, kalau dibiarkan tidak ditegur dan dinasehati, maka sifat-sifat negatifnya yang bengkok itu sulit akan berubah. Jadi, tulang rusuk yang bengkok adalah ungkapan bahasa metafora atau tamsil, perumpamaan mengenai sifat-sifat yang dimiliki oleh seorang perempuan. Demikian juga hadis tentang usus orang mukmin dan orang kafir. الْمُؤْمِنُ يَأْكُلُ فِي مِعًى وَاحِدٍ وَالْكَافِرُ يَأْكُلُ فِي سَبْعَةِ أَمْعَاءٍ “Orang mukmin itu makan dengan satu usus dan orang kafir makan dengan tujuh usus. (HR. Bukhari, Muslim, dan Ahmad bersumber dari Ibnu Umar). Apakah hadis seperti ini juga harus ditolak dan divonis sebagai hadis lemah atau palsu, karena bertentangan al-Qur’an, akal, dan fakta. Susunan organ tubuh manusia seperti usus adalah sama, tidak mungkin organ tubuh berbeda antar satu dengan yang lain hanya karena perbedaan ideologi dan kepercayaan. Hadis ini menggunakan bahasa simbolik, yaitu usus orang mukmin hanya satu dan berbeda dengan orang kafir yang makan dengan tujuh usus. Perbedaan usus ini adalah bahasa simbolik yang mengandung arti perbedaan sikap dan pandangan terhadap nikmat Allah, termasuk ketika makan. Orang mukmin memandang bahwa makan bukanlah tujuan hidup. Berbeda dengan orang kafir terutama yang berpandangan Hedonisme dalam menyikapi kenikmatan duniawi, mereka menjadikan kenikmatan duniawi termasuk makan sebagai bagian dari tujuan hidupnya. Wa Allahu A`lam bi al-Shawwab
MEMAHAMI HADIS YANG TAMPAK SALING BERTENTANGAN A. Pengertian Hadis Mukhtalif Hadis-hadis yang secara lahiriah tampak saling bertentangan antara satu dengan lainnya, dalam kajian ilmu hadis disebut mukhtalif al-hadîts atau ikhtilâf al-hadîts, musykil al-hadîts, ta'wîl al-hadîts, atau talfîq al-hadîts.[60] Dalam kajian ushul fikih lebih dikenal sebagai at-ta’ârudh atau al-mu’âradhah.[61] Mukhtalif hadis adalah hadis-hadis yang sama kualitasnya sahih atau hasan yang dapat dijadikan hujjah yang secara lahiriah tampak saling bertentangan satu dengan lainnya, namun dapat diselesaikan dengan cara al-jam`u wa at-taufiq (kompromi), at-tanawwu` (mengakui dan menerima keragaman), at-tarjih (mengunggulkan salah satunya), an-nasakh (membatalkan salah satunya), atau at-tawaqquf (menangguhkan).[62] Pada hakekatnya, pertentangan antara nas-nas syar`i itu tidak mungkin terjadi, sebab tidak mungkin Allah dan Rasul-Nya mengajarkan sesuatu hal yang saling bertentangan. Pertentangan itu terjadi pasti bersumber dari selain Allah dan Rasul-Nya. Menurut Ibn al-Qayyim –sebagaimana dikutip al-Jawabî- terjadinya pertentangan antara hadis-hadis yang satu dengan lainnya disebabkan oleh tiga hal; pertama, kemungkinan redaksi hadis tersebut keliru walaupun diriwayatkan oleh periwayat yang tsiqah; kedua, salah satu hadis tersebut memang me-nasakh (membatalkan) hadis yang sebelumnya; ketiga, terjadi kesalahdengaran dari penerima informasi hadis tersebut.[63] Dengan kata lain, bahwa sebetulnya pertentangan terjadi antara dua dalil syar’i`, seperti antara satu hadis dengan hadis lainnya hanya tampak secara lahiriahnya saja, selain disebabkan seperti yang dikemukakan Ibnu al-Qayyim di atas, juga boleh jadi karena kekeliruan dalam memahami maksud dan tujuan suatu hadis serta kekaburan tentang sejarah yang melatarbelakangi munculnya hadis itu. Kontradiksi atau pertentangan hadis atau paling tidak kesannya seperti ini tidak baik dibiarkan begitu saja dan berlangsung terus sehingga menimbulkan kesalahpahaman dan kesalahdugaan terhadap hadis Nabi SAW. Oleh karena itu, para ulama menetapkan bagaimana metode memahami dan menyikapi hadis-hadis kontradiksi yang tampak saling bertentangan antara satu dengan lainnya. B. Metode Memahami Hadis-Hadis Kontradiksi Memahami dan menyikapi hadis-hadis kontradiksi yang tampak saling bertentangan antara satu dengan lainnya para ulama dalam sejarah hadis sejak awal sudah berusaha menetapkan metode penyelesaiannya. Misalnya Ibn Qutaibah (213 H-276 H) sejak abad ketiga hijriah sudah menetapkan dua metode, yaitu al-jam`u dan at-tarjîh dalam bukunya Ta'wîl Mukhtalif al-Hadîts. Imam asy-Syafi`î (204 H/820 M) dikenal sebagai peletak dasar dan pelopor dalam ilmu mukhtalif hadis melalui bukunya Mukhtalif al-Hadîts dan ar-Risâlah. Cara penyelesaian hadis-hadis mukhtalif tersebut, Imam asy-Syafi`î menggunakan tiga macam metode; 1) al-jam`u wa at-taufiq, metode ini menggunakan pendekatan kaedah ushul fiqh, asbâb wurûd al-hadîts, fiqh wa munâsabah al-hadîts al-mukhtalifah (korelasi hadis-hadis mukhtalif dengan hadis-hadis lainnya), dan takwil; 2) an-nâsikh wa al-mansûkh; dan 3) at-Tarjih. Ketiga metode ini diikuti oleh para ulama yang datang berikutnya, seperti ath-Thahawî (239-321 H), Ibn ash-Shalâh (643 H/1245 M), dan sejumlah ulama lainnya. Selain tersebut, Ibnu Taimiyah (728 H/1328 M)[64] juga menawarkan suatu metode yang disebut at-tanawwu'. At-Tanawwu’ artinya beraneka ragam, maksudnya hadis-hadis yang menerangkan praktek ibadah Rasulullah SAW. atau yang diajarkan, antara satu dan lainnya terdapat perbedaan yang menggambarkan adanya keanekaragaman ajaran tersebut. Dengan menggunakan metode at-tanawwu` ini berarti mengakui dan menerima semua keanekaragaman tersebut tetap eksis dan semuanya dapat diterima dan diamalkan. Sedangkan Ibn Hajar al-`Asqalânî (852 H/1449 M), menggunakan empat metode dalam menyikapi dan menyelesaikan hadis-hadis mukhtalif, yaitu metode al-jam`u wa at-taufiq, an-nâsikh wa al-mansûkh, at-tarjih, dan at-tawaqquf. Metode at-tawaqquf ini diperkenalkan oleh al-`Asqalânî melalui bukunya Syarh Nukhbah al-Fikar.[65] Dengan mengacu pada beberapa pandangan yang telah dikemukakan di atas, maka hadis-hadis kontradiksi yang tampak saling bertentangan dapat dipahami dan disikapi dengan beberapa metode, di antaranya: 1 Manhaj al-Jam’i wa at-taufiq (metode kompromi). 2 Manhaj at-Tanawwu’ (mengakui dan menerima keragaman tetap eksis). 3 Manhaj at-Tarjih (metode mengunggulkan salah satunya). 4 Manhaj an-Naskh (membatalkan salah satunya). 5 Manhaj at-Tawaqquf (menangguhkan). Dengan demikian langkah awal dalam penyelesaian hadis-hadis kontradiksi adalah metode kompromi (al-jam'u wa at-taufiq). Sehubungan dengan metode ini imam asy-Syafi'i mengatakan janganlah sekali-kali mempertentangkan hadis-hadis Rasulullah SAW. satu dengan lainnya selagi ditemukan jalan (untu mengkompromikannya), agar hadis-hadis tersebut sama-sama dapat diamalkan. Jangan terlantarkan yang satu karena mengamalkan yang lain karena kita punya kewajiban untuk mengamalkan masing-masing pada proporsinya. Oleh karena itu, jangan jadikan hadis-hadis tersebut sebagai hadis yang bertentangan, kecuali apabila tidak mungkin dapat diamalkan selain harus maninggalkan salah satunya.[66] Yusuf al-Qaradhawi juga mengatakan bahwa mengkompromikan nash harus didahulukan daripada men-tarjih, karena mengkompromikan berarti memberlakukan semuanya, sedangkan tarjih berarti meninggalkan sebagian nash-nash tersebut.[67] Metode at-tanawwu' pada prinsipnya merupakan bagian dari metode kompromi (al-jam'u wa at-taufiq), sebab dengan cara ini berarti memberlakukan semua hadis kontradiksi tersebut dan menghindarkan agar tidak meninggalkan hadis lainnya. Memahami dan menyikapi hadis-hadis kotradiksi dengan cara tarjih atau nasakh akan dilakukan, kalau cara kompromi dan at-tanawwu' sudah tidak bisa dilakukan. Adapun mendahulukan cara tarjih daripada an-nasakh atau sebaliknya adalah tergantung pada data atau indikator yang mendukungnya. Sedangkan cara penyelesaian dengan metode tawaqquf adalah cara penyelesaian alternatif terakhir setelah cara-cara lainnya tidak dapat dilakukan. Hadis-hadis kotradiksi yang tampak saling bertentangan dapat dipahami, disikapi, dan diselesaikan dengan beberapa metode, antara lain: 1. Metode (Manhaj) al-Jam’i wa at-Taufiq. Metode al-Jam’i wa at-Taufiq, maksudnya mempertemukan dan mengkompromikan kedua hadis yang tampak saling bertentangan dengan memperhatikan kandungan makna dan maksudnya masing-masing, sehingga kedua hadis itu dapat diamalkan sesuai dengan kandungannya. Cara kompromi ini dapat dilakukan dengan beberapa pendekatan, antara lain: a. Pendekatan kaedah ushul fikih. Hadis tersusun dalam bahasa Arab dengan redaksi yang bersifat umum dan dimaksudkan umum. Boleh jadi ada yang susunan redaksinya bersifat umum, namun dimaksudkan secara khusus atau karena adanya takhshish. Demikian juga ada yang bersifat mutlak (tanpa batas) dan muqayyad (terbatas). Bahasa dan redaksi hadis seperti ini dapat dipahami dengan menggunakan kaedah ushul fikih, seperti `âm (umum) dan khash (khusus), muthlaq dan muqayyad, dan kaedah-kaedah lainnya. Berikut ini akan dikemukakan contohnya. 1) Larangan dan perintah penulisan hadis Diriwayatkan dari Abu Said al-Khudri, bahwa Rasulullah SAW. bersabda: لاَ تَكْتُبُوا عَنِّي وَمَنْ كَتَبَ عَنِّي غَيْرَ الْقُرْآنِ فَلْيَمْحُهُ "Janganlah kamu menulis sesuatu yang berasal dariku, dan barangsiapa yang sudah menulis seuatu yang berasal dariku, maka hendaklah ia menghapusnya." (HR. Muslim).[68] Sedang dalam hadis lainnya bersumber dari Abdullah bin ‘Amr, ia mengatakan: “Aku pernah mencatat segala sesuatu yang kudengar dari Rasulullah SAW. Aku ingin memeliharanya. Lalu orang-orang Quraisy mencegahku dan mereka mengatakan, mengapa engkau menulis sesuatu dari Nabi, padahal dia itu adalah manusia biasa yang berbicara terkadang dalam keadaan marah dan terkadang gembira. Dengan kritikannya itu, aku berhenti mencatat hadis. Hal ini aku laporkan kepada Rasulullah SAW. Menanggapi teguran mereka ini, maka Nabi SAW. bersabda kepadaku: اكْتُبْ فَوَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ مَا يَخْرُجُ مِنْهُ إِلاَّ حَقٌّ
Tulislah! Demi yang jiwaku berada dalam genggaman kekuasaan-Nya, tidaklah ada sesuatu yang keluar dari mulutku kecuali kebenaran. (HR. Abu Daud dari `Abdullah ibn `Amr).[69] Demikian juga, ketika Abu Syah seorang sahabat dari Yaman seusai mendengar khutbah Nabi SAW., meminta kepada beliau untuk dituliskan apa yang disampaikan dalam khutbahnya. Maka Nabi SAW. menjawab dan memerintahkan kepada sahabatnya yang pandai menulis dengan sabdanya: أُكْتُبُواْ ِلأَبِي شَاهْ
“Tuliskanlah untuk Abu Syah!” (HR. Bukhari dari Abu Hurairah).[70] Hadis pertama di atas melarang menulis hadis, sedang hadis kedua dan ketiga justeru memerintahkan agar menulis hadis. Pertentangan tersebut dapat diselesaikan dengan cara kompromi (al-jam`u wa at-taufiq) melalui pendekatan ushul fikih dengan kaedah umum dan khusus. Riwayat pertama dari Abu Said al-Khudri di atas adalah bersifat umum bagi mereka yang tidak cermat dalam mencatat sehingga mencampur baur antara al-Qur’an dan hadis. Pada umumnya masyarakat Arab pada waktu itu kurang cermat dan ahli dalam penulisan. Mereka lebih banyak mengandalkan pada kekuatan hapalan. Sehingga wajar dan bijak kalau secara umum mereka dilarang menulis hadis dikhawatirkan akan memcampurbaur catatan hadis dan al-Qur’an. Pada waktu itu al-Qur’an juga belum dibukukan dalam satu mushaf, tapi masih berserakan pada lembaran catatan. Adapun hadis kedua dan ketiga yang memerintahkan menulis hadis adalah bersifat khusus bagi mereka yang sudah dianggap cakap dan cermat mencatat hadis dan dapat memisahkan antara catatan hadis dan wahyu al-Qur’an sehingga tidak campurbaur hadis dan al-Qur'an. 2) Pakaian sutera dan emas Misalnya hadis yang bersumber dari Abdullah bin Amr bin Ash, bahwa Rasulullah SAW. bersabda: مَنْ لَبِسَ الذَّهَبَ مِنْ أُمَّتِي فَمَاتَ وَهُوَ يَلْبَسُهُ حَرَّمَ اللَّهُ عَلَيْهِ ذَهَبَ الْجَنَّةِ وَمَنْ لَبِسَ الْحَرِيرَ مِنْ أُمَّتِي فَمَاتَ وَهُوَ يَلْبَسُهُ حَرَّمَ اللَّهُ عَلَيْهِ حَرِيرَ الْجَنَّةِ Barangsiapa dari kalangan umatku memakai emas sampai meninggal dunia, maka Allah mengharamkan baginya emas surga. Dan barangsiapa dari umatku yang memakai sutera sampai meninggal dunia, maka Allah mengharamkan baginya pakaian sutera surga. (HR. Ahmad).[71] Dalam hadis lain bersumber dari Abu Musa al-‘Asy’ari, bahwa Rasulullah SAW. bersabda: حُرِّمَ لِبَاسُ الْحَرِيرِ وَالذَّهَبِ عَلَى ذُكُورِ أُمَّتِي وَأُحِلَّ ِلإِنَاثِهِمْ Telah diharamkan pakaian sutera dan emas bagi umatku dari kalangan laki-laki saja dan dihalalkan bagi kalangan perempuan.” (HR. Tirmidzi).[72] Kedua hadis ini tampak saling bertentangan, namun dapat dikompromikan dengan pendekatan kaidah am dan khas. Pada hadis pertama riwayat Abdullah bin Amr, menggunakan redaksi dengan huruf “مَنْ” yang berarti “barangsiapa” adalah bersifat umum meliputi siapa saja, baik laki-laki atau pun perempuan. Dengan pengertian ini laki-laki dan perempuan tidak diperbolehkan memakai emas dan sutera. Sedang hadis kedua, riwayat dari Abu Musa al-Asy’ari adalah men-takhshish, yakni menentukan khusus bagi kalangan laki-laki saja yang tidak diperbolehkan memakai emas dan sutera. Selama ada hadis yang mengkhususkan seperti ini, maka yang dipakai sebagai pegangan adalah yang khusus, bukan yang bersifat umum. b. Pendekatan kontekstual. Kedua hadis yang tampak saling bertentangan itu dapat dikompromikan dan diamalkan sesuai dengan konteksnya masing-masing dengan memperhatikan konteks dan sejarah yang melatarbelakangi munculnyanya hadis itu. Nabi SAW. terkadang melarang atau membolehkan sesuatu dengan pertimbangan konteks tertentu. Misalnya dalam hadis yang bersumber dari Abdullah ibn `Amr, katanya: "Ketika aku tengah bersama Nabi SAW., datang seorang pemuda bertanya: "Wahai Rasulullah, bolehkah aku mencium (isteriku) dalam keadaan berpuasa?" Beliau menjawab: "لاَ" Tidak boleh. Kemudian datang lagi seorang tua dan bertanya dengan pertanyaan yang sama: "Bolehkah saya mencium isteriku dalam keadaan berpuasa?" Beliau menjawab: "نَعَمْ" Boleh. Mendengar jawaban Nabi SAW., kedua orang itu saling berpandangan (dengan heran). Akhirnya Rasulullah SAW. menjelaskan: "Aku mengerti, mengapa kamu saling berpandangan, ketahuilah bahwa orang tua itu mampu mengendalikan nafsunya. (HR. Ahmad).[73] Jadi, Nabi SAW. melarang mencium isterinya yang keduanya sedang berpuasa yang tidak mampu mengendalikan diri. Berbeda dengan mereka yang sudah mampu mengendalikan dirinya dan tidak khawatir terjerumus ke dalam sesuatu yang dilarang, maka dibolehkan. Demikian juga Nabi SAW. sering menjawab pertanyaan yang sama dengan jawaban yang berbeda-beda. Hal ini menunjukkan Nabi SAW. banyak mempertimbangkan kontekstual. Nabi SAW. pernah ditanya: أَيُّ الْعَمَلِ أَفْضَلُ فَقَالَ إِيمَانٌ بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ قِيلَ ثُمَّ مَاذَا قَالَ الْجِهَادُ فِي سَبِيلِ اللَّهِ قِيلَ ثُمَّ مَاذَا قَالَ حَجٌّ مَبْرُورٌ. Amal apakah yang paling utama? Beliau menjawab iman kepada Allah dan Rasul-Nya, kemudian ditanya lagi, apa lagi? Beliau menjawab: jihad di jalan Allah. Kemudian ditanya lagi, apa lagi? Beliau menjawab: "aji mabrur. (HR. Bukhari dan Muslim bersumber dari Abu Hurairah). Dalam hadis lain, Abdullah bin Mas'ud pernah bertanya kepada Nabi SAW.: أَيُّ الْعَمَلِ أَفْضَلُ قَالَ الصَّلاَةُ عَلَى مِيقَاتِهَا قُلْتُ ثُمَّ أَيٌّ قَالَ ثُمَّ بِرُّ الْوَالِدَيْنِ قُلْتُ ثُمَّ أَيٌّ قَالَ الْجِهَادُ فِي سَبِيلِ اللَّهِ فَسَكَتُّ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَلَوْ اسْتَزَدْتُهُ لَزَادَنِي Amal apakah yang paling utama? Beliau menjawab: “Shalat pada waktunya. Aku tanya lagi, kemudian apa lagi? Beliau menjawab: “Berbuat baik kepada kedua orang tua. Aku tanya lagi, kemudian apalagi?” Beliau menjawab: “Berjihad di jalan Allah. Lalu aku diam, tidak bertanya lagi. Seandainya aku menambah pertanyaan, niscaya beliau akan menambah jawabannya lagi.” (HR. Bukhari). Hadis pertama disebutkan bahwa amal yang paling utama adalah beriman kepada Allah dan Rasul, serta berjihad dan haji mabrur. Sedangkan hadis kedua disebutkan bahwa amal paling utama adalah shalat pada waktunya dan berbuat baik kepada kedua orang tua. Perbedaan jawaban Nabi SAW. ini karena pertimbangan konteksnya yang berbeda. Nabi SAW. menjawab, bahwa beriman dan berjihad merupakan amal sangat utama, sebab yang bertanya adalah mereka yang baru masuk Islam. Sedangkan hadis kedua, Nabi SAW. menjawab bahwa amal utama adalah shalat pada waktunya, sebab yang bertanya adalah orang yang kuat tidurnya sulit dibangunkan sehingga menyebabkan shalat agak terlambat dari waktu yang sudah ditentukan. Berikut ini akan dikemukakan beberapa contoh. 1) Kencing berdiri Diriwayatkan dari Aisyah, katanya: مَنْ حَدَّثَكَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَالَ قَائِمًا فَلاَ تُصَدِّقْهُ مَا بَالَ رَسُولُ اللَّهِ قَائِمًا مُنْذُ أُنْزِلَ عَلَيْهِ الْقُرْآنُ Barangsiapa yang menceritakan kepadamu, bahwa Rasulullah SAW. kencing dalam keadaan berdiri, maka janganlah mempercayainya. Rasulullah SAW. tidak pernah kencing dalam keadaan berdiri sejak diturunkannya al-Qur’an. (HR. Ahmad).[74] Dalam hadis lain yang bersumber dari Hudzaifah, katanya: أَتَى النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سُبَاطَةَ قَوْمٍ فَبَالَ قَائِمًا Nabi SAW. pernah mendatangi tempat pembuangan sampah, lalu beliau kencing di situ dalam keadaan berdiri. (HR. Bukhari, Tirmidzi, Nasai, dan Abu Daud).[75] Kedua hadis ini tampak saling bertentangan, namun dapat dipahami secara kompromi dengan pendekatan kontekstual. Hadis pertama dari Aisyah bahwa Nabi SAW. tidak pernah kencing dalam keadaan berdiri adalah ketika di rumahnya dalam kondisi aman dan normal. Sedang hadis kedua riwayat dari Hudzaifah, bahwa Nabi SAW. kencing berdiri adalah ketika berada di tempat yang tidak atau kurang memungkinkan untuk bisa duduk dan tenang karena ada pertimbangan lain. Namun secara etika sebaiknya kencing dengan cara duduk, kalau hal itu memungkinkan dan tidak merusak. 2) Buang air kecil atau besar menghadap ke arah kiblat Diriwayatkan dari Abu Ayyub, katanya: أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِذَا أَتَيْتُمْ الْغَائِطَ فَلاَ تَسْتَقْبِلُوا الْقِبْلَةَ وَلاَ تَسْتَدْبِرُوهَا بِبَوْلٍ وَلاَ غَائِطٍ وَلَكِنْ شَرِّقُوا أَوْ غَرِّبُوا Bahwa Nabi SAW. bersabda: "Kalau kamu buang hajat, maka janganlah menghadap kiblat dan jangan pula membelakanginya, baik buang air kecil maupun buang air besar … " (HR. Muslim).[76] Sedang hadis lainnya bersumber dari Abdullah ibn Umar, katanya: لَقَدْ ارْتَقَيْتُ يَوْمًا عَلَى ظَهْرِ بَيْتٍ لَنَا فَرَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى لَبِنَتَيْنِ مُسْتَقْبِلًا بَيْتَ الْمَقْدِسِ لِحَاجَتِهِ Pada suatu hari aku naik ke atas loten rumah kami (tempat tinggal Hafsah isteri Nabi SAW.), tiba-tiba aku melihat Nabi SAW. duduk di atas dua batang kayu (tempat jongkok) untuk buang air menghadap ke arah Bait al-Maqdis. (HR. Bukhari).[77] Kedua hadis tersebut tampak saling bertentangan. Hadis pertama riwayat Abu Ayyub di atas melarang menghadap dan membelakangi arah kiblat ketika buang air kecil atau pun besar. Sedang hadis kedua riwayat Abdullah ibn Umar justru menyatakan bahwa Nabi SAW. buang air menghadap ke arah Bait al-Maqdis. Menghadap ke arah Bait al-Maqdis sama dengan membelakangi arah kiblat. Kedua hadis tersebut dapat dikompromikan dengan pendekatan kontekstual. Larangan yang dimaksud pada hadis pertama di atas adalah buang air di lapangan terbuka. Sedang riwayat kedua menunjukkan bahwa Nabi SAW. buang air membelakangi kiblat adalah dalam ruangan tertutup. Maksudnya, ketika buang air dalam ruang tertutup boleh menghadap ke arah mana saja. Namun secara etika sebaiknya tidak menghadap atau membelakangi kiblat, selama hal itu memungkinkan dan tidak menyusahkan. c. Pendekatan takwil. Takwil adalah upaya mengalihkan makna suatu lafal dari makna lahiriah yang tampak bertentangan itu ke makna lain yang memungkinkan karena ada dalil atau indikasi yang mendukungnya sehingga pertentangan itu dapat dirujuk titik temunya. Dalam melakukan takwil, ada beberapa hal yang harus diperhatikan; pertama, Lafalnya muhtamil, bisa menerima takwil; kedua, takwil dilakukan ketika lahiriah suatu teks tampak saling bertentangan dengan kaedah agama lainnya; ketiga, maknanya tidak terlepas dari makna lahiriahnya dan sudah dikenal dalam bahasa Arab klasik; keempat, ada dalil atau indikasi membuat lebih kuat dari pada makna lahiriahnya; dan kelima, mereka yang men-takwil adalah ahlinya mengerti bahasa Arab.[78] Berikut akan dikemukakan beberapa contoh, antara lain: 1) Minum atau makan dalam keadaan berdiri. Anas ibn Malik meriwayatkan: أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَى أَنْ يَشْرَبَ الرَّجُلُ قَائِمًا فَقِيلَ الأَكْلُ قَالَ ذَاكَ أَشَدُّ Sesungguhnya Nabi SAW. melarang seseorang minum dalam keadaan berdiri. Lalu beliau ditanya: “Bagaimana kalau makan?” Beliau menjawab: “Lebih dilarang lagi.” (HR. Tirmidzi, Muslim, Abu Daud).[79] Dalam hadis lain bersumber dari أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ شَرِبَ مِنْ زَمْزَمَ وَهُوَ قَائِمٌ Sesungguhnya Rasulullah SAW.pernah minum air zamzam dalam keadaan berdiri. (HR. Muslim dan Tirmidzi).[80] Kedua hadis ini tampak saling bertentangan. Namun keduanya dapat dikompromikan dengan pendekatan takwil. Kata “قاَئِماً” (berdiri) dalam hadis pertama riwayat dari Anas bin Malik ditakwil, dalam arti dialihkan maknanya dalam pengertian “sambil berjalan (terburu-buru)”. Minum dengan cara seperti inilah yang dilarang. Tujuannya adalah supaya minum atau makan dalam keadaan tenang. Takwil ini tidak menyalahi kaedah bahasa Arab. Orang-orang Arab biasa berkata: قُمْ فِي حاَجَتِناَ maksudnya, ialah أَمْشِ فِي حاَجَتِناَ, اِسْعَ فِي حاَجَتِناَ (Berjalanlah cepat kemari). Kata قاَئِماً dalam ayat 75 QS. Ali 'Imran, tidak diartikan sebagai berdiri, tapi dimaksudkan ialah “selalu menagih”. وَمِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ مَنْ إِنْ تَأْمَنْهُ بِقِنْطَارٍ يُؤَدِّهِ إِلَيْكَ وَمِنْهُمْ مَنْ إِنْ تَأْمَنْهُ بِدِينَارٍ لاَ يُؤَدِّهِ إِلَيْكَ إِلاَّ مَا دُمْتَ عَلَيْهِ قَائِمًا Di antara Ahli Kitab ada orang yang jika kamu mempercayakan kepadanya harta yang banyak, dikembalikannya kepadamu; dan di antara mereka ada orang yang jika kamu mempercayakan kepadanya satu Dinar, tidak dikembalikannya padamu, kecuali jika kamu selalu menagihnya. (QS. Ali `Imran [3]: 75). Sedang hadis kedua riwayat dari Ibnu Abbas, bahwa Nabi SAW. minum dalam keadaan berdiri adalah dalam pengertian biasa, yakni dalam keadaan berdiri secara tenang.[81] 2) Nabi SAW. berdoa agar hidup miskin Abu Said al-Khudri meriwayatkan, ia mengatakan aku mendengar Nabi SAW. berdoa: اللَّهُمَّ أَحْيِنِي مِسْكِينًا وَأَمِتْنِي مِسْكِينًا وَاحْشُرْنِي فِي زُمْرَةِ الْمَسَاكِينِ Ya Allah, hidupkanlah aku dalam keadaan miskin, matikan aku dalam keadaan miskin, dan kumpulkan aku nanti di hari kiamat bersama orang-orang miskin. (HR. Ibnu Majah). Hadis yang senada dengan ini juga diriwayatkan Tirmidzi dari Anas, Ath-Thabarani dari `Ubadah ibn ash-Shamit. Dalam hadis lainnya diriwayatkan dari Abu Bakrah, bahwa Nabi SAW. setiap usai shalat berdoa dengan membaca: أَللّهُمَّ إِنِّيْ أَعُوْذُ بِكَ مِنَ الْكُفْرِ وَالْفَقْرِ وَعَذَابِ الْقَبْرِ Ya Allah, aku berlindung kepadaMu dari kekafiran dan kemiskinan serta siksaan kubur. (HR. Nasai, Ibnu Khuzaimah, Ibn Hibban, dan Ahmad). Dalam hadis lain yang diriwayatkan dari Abu Hurairah, Rasulullah SAW. berdoa: اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنْ الْفَقْرِ Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung kepadaMu dari kemiskinan. (HR. Abu Daud, Nasai, dan Ahmad). Hadis pertama yang diriwayatkan dari Abu Said al-Khudri, Anas, dan Ubadah ibn ash-Shamit Nabi SAW. berdoa agar hidup menjadi orang miskin. Hadis ini tampak bertentangan dengan hadis kedua dan ketiga yang diriwayatkan dari Abu Bakrah dan Abu Hurairah bahwa Nabi SAW. justru minta perlindungan agar hidup tidak dalam keadaan miskin. Cara memahami dan menyikapi kedua hadis tersebut adalah mengkompromikan dengan pendekatan takwil. Kata “miskin” pada hadis pertama di atas ditakwil atau dialihkan maknanya dalam arti tawadhu` atau rendah hati lawan dari takabbur. Dengan demikian, hadis pertama di atas, Nabi SAW. berdoa agar hidup senantiasa dalam keadaan tawadhu`, jauh dari sifat dan sikap takabbur, sombong, dan angkuh.[82] Dengan demikian, kedua hadis tersebut menjadi tidak bertentangan lagi. 2. Metode (Manhaj) at-Tanawwu’ At-Tanawwu’ artinya beraneka ragam, maksudnya hadis-hadis yang menerangkan praktek ibadah tertentu yang dilakukan Rasulullah SAW. atau yang diajarkan, antara satu dan lainnya terdapat perbedaan yang menggambarkan adanya keanekaragaman ajaran tersebut. Dengan menggunakan metode at-tanawwu` ini berarti menerima dan mengakui semua keanekaragaman tersebut tetap eksis. Misalnya, bacaan tasyahhud dalam shalat sangat beragam. Nabi pernah mengajarkan bacaan tasyahhud kepada Aisyah berbeda dengan yang diajarkan kepada Umar, Ibnu Umar, Ibnu Abbas, Ibnu Mas’ud, dan Abu Musa al-Asy’ari, sampai ada sekitar tujuh macam bacaan tasyahhud, dan semuanya ini dapat diterima dan diamalkan.[83] Bacaan tasyahhud yang diajarkan kepada Ibn Abbas: التَّحِيَّاتُ الْمُبَارَكَاتُ الصَّلَوَاتُ الطَّيِّبَاتُ لِلَّهِ السَّلاَمُ عَلَيْكَ أَيُّهَا النَّبِيُّ وَرَحْمَةُ اللَّهِ وَبَرَكَاتُهُ السَّلاَمُ عَلَيْنَا وَعَلَى عِبَادِ اللَّهِ الصَّالِحِينَ أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ[84] Sedang kepada Ibn Mas`ud Rasulullah SAW. mengajarkan bacaan tasyahhud: التَّحِيَّاتُ لِلَّهِ وَالصَّلَوَاتُ وَالطَّيِّبَاتُ السَّلاَمُ عَلَيْكَ أَيُّهَا النَّبِيُّ وَرَحْمَةُ اللَّهِ وَبَرَكَاتُهُ السَّلاَمُ عَلَيْنَا وَعَلَى عِبَادِ اللَّهِ الصَّالِحِينَ أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ [85] Umar ibn al-Khattab di atas mimbar menjelaskan dan mengajarkan kepada masyarakat bacaan tasyahhud, yaitu:[86] التَّحِيَّاتُ لِلَّهِ الزَّاكِيَاتُ لِلَّهِ الطَّيِّبَاتُ الصَّلَوَاتُ لِلَّهِ السَّلاَمُ عَلَيْكَ أَيُّهَا النَّبِيُّ وَرَحْمَةُ اللَّهِ وَبَرَكَاتُهُ السَّلاَمُ عَلَيْنَا وَعَلَى عِبَادِ اللَّهِ الصَّالِحِينَ أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ Bacaan tasyahhud Ibnu Umar. Rasulullah SAW. mengajarkan membaca dalam tasyahhud. (HR. Abu Daud dan Daruquthni, dan ia men-sahihkannya.). التَّحِيَّاتُ لِلَّهِ الصَّلَوَاتُ الطَّيِّبَاتُ السَّلاَمُ عَلَيْكَ أَيُّهَا النَّبِيُّ وَرَحْمَةُ اللَّهِ وَبَرَكَاتُهُ قَالَ قَالَ ابْنُ عُمَرَ زِدْتَ فِيهَا وَبَرَكَاتُهُ السَّلاَمُ عَلَيْنَا وَعَلَى عِبَادِ اللَّهِ الصَّالِحِينَ أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ قَالَ ابْنُ عُمَرَ زِدْتُ فِيهَا وَحْدَهُ لاَ شَرِيكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ Tasyahhud Abu Musa al-Asy`ari. Katanya, Rasulullah SAW. bersabda: “… jika seseorang duduk (pada dua rakaat ini), hendaklah bacaan pertama ia baca: (HR. Muslim, Abu Daud, dan Ibnu Majah.). التَّحِيَّاتُ الطَّيِّبَاتُ الصَّلَوَاتُ لِلَّهِ السَّلاَمُ عَلَيْكَ أَيُّهَا النَّبِيُّ وَرَحْمَةُ اللَّهِ وَبَرَكَاتُهُ السَّلاَمُ عَلَيْنَا وَعَلَى عِبَادِ اللَّهِ الصَّالِحِينَ أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ Tasyahhud Aisyah. Qasim ibn Muhammad mengatakan, Aisyah pernah mengajarkan kepada kami bacaan tasyahhud. Seraya memberi isyarat dengan tangannya ia mengucapkan: (HR. Baihaqi). التَّحِيَّاتُ الطَّيِّبَاتُ الصَّلَوَاتُ الزَّاكِيَاتُ لله السَّلاَمُ عَلَيْكَ أَيُّهَا النَّبِيُّ وَرَحْمَةُ اللَّهِ وَبَرَكَاتُهُ السَّلاَمُ عَلَيْنَا وَعَلَى عِبَادِ اللَّهِ الصَّالِحِينَ أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ Demikian pula dalam hal bacaan doa iftitah (bacaan pembukaan sesudah takbir pertama) dalam shalat ada sekitar 10 macam bacaan doa iftitah. Doa iftitah yang diriwayatkan dari Ali ibn Abi Thalib.[87] وَجَّهْتُ وَجْهِي لِلَّذِي فَطَرَ السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضَ حَنِيفًا مُسْلِمًا وَمَا أَنَا مِنْ الْمُشْرِكِينَ إِنَّ صَلاَتِي وَنُسُكِي وَمَحْيَايَ وَمَمَاتِي لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ لاَ شَرِيكَ لَهُ وَبِذَلِكَ أُمِرْتُ وَأَنَا مِنْ الْمُسْلِمِينَ قَالَ أَبُو النَّضْرِ وَأَنَا أَوَّلُ الْمُسْلِمِينَ اللَّهُمَّ لاَ إِلَهَ إِلاَّ أَنْتَ أَنْتَ رَبِّي وَأَنَا عَبْدُكَ ظَلَمْتُ نَفْسِي وَاعْتَرَفْتُ بِذَنْبِي فَاغْفِرْ لِي ذُنُوبِي جَمِيعًا لاَ يَغْفِرُ الذُّنُوبَ إِلاَّ أَنْتَ وَاهْدِنِي لِأَحْسَنِ الْأَخْلاَقِ لاَ يَهْدِي لِأَحْسَنِهَا إِلاَّ أَنْتَ وَاصْرِفْ عَنِّي سَيِّئَهَا لاَ يَصْرِفُ عَنِّي سَيِّئَهَا إِلاَّ أَنْتَ تَبَارَكْتَ وَتَعَالَيْتَ أَسْتَغْفِرُكَ وَأَتُوبُ إِلَيْكَ Doa iftitah yang diriwayatkan dari Abu Hurairah. Katanya, adalah Rasulullah SAW. setelah takbir al-Ihram dalam shalat, beliau diam sejenak sebelum membaca al-Fatihah. Lalu aku bertanya: “Wahai Rasul, apa yang Anda baca antara takbir dan bacaan fatihah? Beliau menjawab: “Aku membaca:[88] اللَّهُمَّ بَاعِدْ بَيْنِي وَبَيْنَ خَطَايَايَ كَمَا بَاعَدْتَ بَيْنَ الْمَشْرِقِ وَالْمَغْرِبِ اللَّهُمَّ نَقِّنِي مِنْ الْخَطَايَا كَمَا يُنَقَّى الثَّوْبُ الْأَبْيَضُ مِنْ الدَّنَسِ اللَّهُمَّ اغْسِلْ خَطَايَايَ بِالْمَاءِ وَالثَّلْجِ وَالْبَرَدِ Doa iftitah yang diriwayatkan dari Umar ibn al-Khattab dan Aisyah, Rasulullah SAW. setelah takbir al-Ihram membaca:[89] سُبْحَانَكَ اللَّهُمَّ وَبِحَمْدِكَ تَبَارَكَ اسْمُكَ وَتَعَالَى جَدُّكَ وَلاَ إِلَهَ غَيْرُكَ Doa iftitah yang diriwayatkan dari Jubair ibn Muth’im. Katanya, aku melihat Rasulullah SAW. ketika memulai shalat aku mendengar membaca doa: (HR. Ibn Majah dan Abu Daud). اللَّهُ أَكْبَرُ كَبِيرًا اللَّهُ أَكْبَرُ كَبِيرًا ثَلاَثًا الْحَمْدُ لِلَّهِ كَثِيرًا الْحَمْدُ لِلَّهِ كَثِيرًا ثَلاَثًا سُبْحَانَ اللَّهِ بُكْرَةً وَأَصِيلاً ثَلَاثَ مَرَّاتِ اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنْ الشَّيْطَانِ الرَّجِيمِ مِنْ هَمْزِهِ وَنَفْخِهِ وَنَفْثِهِ Doa iftitah yang diriwayatkan dari Aisyah, katanya Rasulullah SAW. mengawali bacaan dalam shalat malamnya dengan doa: (HR. Muslim, Abu Daud, Tirmidzi, Nasai, dan Ibnu Majah.). اللَّهُمَّ رَبَّ جَبْرَائِيلَ وَمِيكَائِيلَ وَإِسْرَافِيلَ فَاطِرَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ عَالِمَ الْغَيْبِ وَالشَّهَادَةِ أَنْتَ تَحْكُمُ بَيْنَ عِبَادِكَ فِيمَا كَانُوا فِيهِ يَخْتَلِفُونَ اهْدِنِي لِمَا اخْتُلِفَ فِيهِ مِنْ الْحَقِّ بِإِذْنِكَ إِنَّكَ تَهْدِي مَنْ تَشَاءُ إِلَى صِرَاطٍ مُسْتَقِيمٍ Termasuk juga hadis-hadis berdimensi tanawwu' adalah hadis tentang waktu dan jumlah rakaat serta cara pelaksanaan shalat witir. Dalam satu riwayat disebutkan bahwa Nabi SAW. mengajarkan kepada Abu Bakar shalat witir dilakukan sebelum tidur, sedangkan kepada Umar diajarkan shalat witirnya setelah tidur. Dalam hadis yang diriwayatkan dari Abu Qatadah, bahwa: أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لِأَبِي بَكْرٍ مَتَى تُوتِرُ قَالَ أُوتِرُ مِنْ أَوَّلِ اللَّيْلِ وَقَالَ لِعُمَرَ مَتَى تُوتِرُ قَالَ آخِرَ اللَّيْلِ فَقَالَ لِأَبِي بَكْرٍ أَخَذَ هَذَا بِالْحَزْمِ وَقَالَ لِعُمَرَ أَخَذَ هَذَا بِالْقُوَّةِ Nabi SAW. bertanya kepada Abu Bakar, kapan engkau melaksanakan shalat witir? Abu Bakar menjawab, aku melaksanakannya pada awal malam (sebelum tidur). Lalu Rasulullah SAW. menanyakan hal yang sama kepada Umar ibn Khattab. Umar menjawabnya, aku melaksanakan shalat witir pada akhir malam. Lalu Rasulullah SAW. bersabda kepada Abu Bakar melaksanakan shalat witir pada awal malam atau sebelum tidur karena mengkhawatirkan tidak sempat bangun di tengah malam. Berbeda dengan Umar yang mampu menguasai tidur sehingga shalat witir dilaksanakan setelah tidur, yakni pada akhir malam. Dalam hadis lain yang diriwayatkan dari Abu Hurairah, katanya: أَمَرَنِي رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ أُوتِرَ قَبْلَ أَنْ أَنَامَ (الترمذي) Rasulullah SAW. menyuruhku shalat witir sebelum tidur. (HR. Tirmidzi). Dalam hadis lain yang diriwayatkan dari Abu Hurairah, katanya: أَوْصَانِي خَلِيلِي بِثَلاَثٍ لاَ أَدَعُهُنَّ حَتَّى أَمُوتَ صَوْمِ ثَلاَثَةِ أَيَّامٍ مِنْ كُلِّ شَهْرٍ وَصَلاَةِ الضُّحَى وَنَوْمٍ عَلَى وِتْرٍ Rasulullah SAW. kekasihku berpesan kepadaku mengenai tiga hal. Pesan beliau tidak pernah aku tinggalkan hingga aku meninggal, yaitu puasa tiga hari setiap bulan (maksudnya tanggal 13, 14, dan 15 bulan Hijriah), shalat dhuha, dan tidur sesudah witir. (HR. Bukhari). Sementara dalam hadis lain justru Rasulullah SAW. memerintahkan: اجْعَلُوا آخِرَ صَلاَتِكُمْ بِاللَّيْلِ وِتْرًا (مسلم) Jadikanlah shalat witir sebagai akhir shalat malam kalian. (HR. Muslim). Maksudnya bahwa shalat witir itu dilaksanakan setelah tidur. Hadis Nabi SAW. seperti ini tampak bertentangan dengan lainnya menunjukkan adanya keragaman waktu pelaksanaannya. Semua ini boleh dipilih dan dilakukan sesuai kondisional dan kemampuan yang bersangkutan. Demikian pula praktek pelaksananaannya, disebutkan dalam riwayat bahwa Nabi SAW. melaksanakan shalat witir secara fashl, yakni memisahkan satu rakaat terakhir dari rakaat genap sebelumnya, dan riwayat lainnya menyebutkan dilaksanakan secara washl, yakni seluruh rakaatnya bersambung dengan satu salam,[90] dan berbagai keragaman ibadah lainnya. Diriwayatkan dari Ubay ibn Ka'ab, ia mengatakan: أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يُوتِرُ بِثَلاَثِ رَكَعَاتٍ كَانَ يَقْرَأُ فِي الْأُولَى بِسَبِّحْ اسْمَ رَبِّكَ الْأَعْلَى وَفِي الثَّانِيَةِ بِقُلْ يَا أَيُّهَا الْكَافِرُونَ وَفِي الثَّالِثَةِ بِقُلْ هُوَ اللَّهُ أَحَدٌ وَيَقْنُتُ قَبْلَ الرُّكُوعِ فَإِذَا فَرَغَ قَالَ عِنْدَ فَرَاغِهِ سُبْحَانَ الْمَلِكِ الْقُدُّوسِ ثَلاَثَ مَرَّاتٍ يُطِيلُ فِي آخِرِهِنَّ Adalah Rasulullah SAW. melaksanakan shalat witir tiga rakaat. Rakaat pertama, beliau membaca surat al-A'la, rakaat kedua surat al-Kafirun, dan rakaat ketiga surat al-Ikhlash. Beliau qunut sebelum ruku'. Seusai shalat, beliau membaca: سُبْحَانَ الْمَلِكِ الْقُدُّوسِ tiga kali. (HR. Nasai). Diriwayatkan dari Aisyah, ia mengatakan: أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يُوتِرُ بِخَمْسٍ وَلاَ يَجْلِسُ إِلاَّ فِي آخِرِهِنَّ Bahwa Nabi SAW. melaksanakan witir lima rakaat. Beliau tidak duduk kecuali pada rakaat terakhir. (HR. Nasai). Diriwayatkan dari Ummu Salamah, katanya: كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُوتِرُ بِخَمْسٍ وَبِسَبْعٍ لاَ يَفْصِلُ بَيْنَهَا بِسَلاَمٍ وَلاَ بِكَلاَمٍ Adalah Rasulullah SAW. melaksanakan shalat witir tujuh atau Diriwayatkan dari Aisyah, ia mengatakan: أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يُوتِرُ بِتِسْعٍ وَيَرْكَعُ رَكْعَتَيْنِ وَهُوَ جَالِسٌ Rasulullah SAW. melaksanakan witir sembilan rakaat., dan beliau melaksanakan dua rakaat dalam keadaan duduk. (HR. Nasai). Dalam hadis lain yang diriwayatkan dari Aisyah, ia mengatakan: أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يُصَلِّي مِنْ اللَّيْلِ إِحْدَى عَشْرَةَ رَكْعَةً يُوتِرُ مِنْهَا بِوَاحِدَةٍ فَإِذَا فَرَغَ مِنْهَا اضْطَجَعَ عَلَى شِقِّهِ الْأَيْمَنِ Bahwa Rasulullah SAW. biasa shalat malam 11 rakaat diakhiri dengan satu rakaat ganjil. Setelah itu beliau membaringkan tubuhnya ke arah kanan (HR. Tirmidzi). Dalam riwayat lain dari Aisyah, ia mengatakan: كَانَتْ صَلاَةُ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ اللَّيْلِ ثَلاَثَ عَشْرَةَ رَكْعَةً يُوتِرُ مِنْ ذَلِكَ بِخَمْسٍ لاَ يَجْلِسُ فِي شَيْءٍ مِنْهُنَّ إِلاَّ فِي آخِرِهِنَّ فَإِذَا أَذَّنَ الْمُؤَذِّنُ قَامَ فَصَلَّى رَكْعَتَيْنِ خَفِيفَتَيْنِ (روا الترمذي) Shalat witir Nabi SAW. 13 rakaat, beliau melaksanakan Kata Tirmidzi: "Aku bertanya kepada Mush'ab al-Madini mengenai hadis ini, beliau menjawab: "Nabi SAW. melaksanakan shalat witir dua rakaat diselingi salam, dua rakaat diselingi salam, lalu diakhiri satu rakaat. Dalam hadis lain diriwayatkan dari Abdullah bin Umar, ia berkata: "Nabi SAW. bersabda: صَلاَةُ اللَّيْلِ مَثْنَى مَثْنَى فَإِذَا أَرَدْتَ أَنْ تَنْصَرِفَ فَارْكَعْ رَكْعَةً تُوتِرُ لَكَ مَا صَلَّيْتَ (رواه البخاري) Shalat malam dilaksanakan dua rakaat, dua rakaat. Apabila Anda ingin menyelesaikan shalatnya, maka lakukanlah satu rakaat, Anda sudah melaksanakan shalat witir. (HR. Bukhari). Para ulama menjadikan hadis tersebut sebagai dasar penetapan shalat sunnat pada malam hari dilaksanakan dua rakaat dua rakaat. Shalat witir termasuk shalat malam. Oleh karena itu, hadis ini menerangkan tentang cara pelaksanaan shalat witir dua rakaat diselingi salam, dua rakaat diselingi salam dan seterusnya hingga diakhiri dengan satu rakaat. Dalam riwayat lain disebutkan bahwa Aisyah pernah ditanya Abu Salamah bin ’Abd ar-Rahman mengenai shalat Rasulullah SAW. pada bulan Ramadhan? Aisyah menjawab: مَا كَانَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَزِيدُ فِي رَمَضَانَ وَلاَ فِي غَيْرِهِ عَلَى إِحْدَى عَشْرَةَ رَكْعَةً يُصَلِّي أَرْبَعًا فَلاَ تَسَلْ عَنْ حُسْنِهِنَّ وَطُولِهِنَّ ثُمَّ يُصَلِّي أَرْبَعًا فَلاَ تَسَلْ عَنْ حُسْنِهِنَّ وَطُولِهِنَّ ثُمَّ يُصَلِّي ثَلاَثًا قَالَتْ عَائِشَةُ فَقُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَتَنَامُ قَبْلَ أَنْ تُوتِرَ فَقَالَ يَا عَائِشَةُ إِنَّ عَيْنَيَّ تَنَامَانِ وَلاَ يَنَامُ قَلْبِي Rasulullah SAW. tidak pernah menambah, baik pada bulan Ramadhan maupun selain bulan Ramadhan dari 11 rakaat. Beliau shalat empat rakaat, dan jangan kamu tanyakan baik dan panjangnya. Kemudian beliau shalat empat rakaat, dan jangan kamu tanyakan baik dan panjangnya. Kemudian beliau shalat tiga rakaat. Aisyah kemudian berkata, "Saya bertanya, "Wahai Rasulullah, apakah Anda tidur sebelum shalat witir?" Beliau menjawab, "Wahai Aisyah, sesungguhnya kedua mataku tidur, tetapi hatiku tidak tidur. (HR. Bukhari, Muslim, Tirmidzi, Abu Daud, Nasai, dan Malik). Hadis ini menerangkan tentang shalat witir 11 rakaat, empat rakaat diselingi salam, empat rakaat diselingi salam, kemudian diakhiri dengan tiga rakaat lalu salam. Hadis riwayat dari Aisyah tersebut bicara tentang shalat tarwih. Alasannya, antara lain: 1. Dalam hadis ini disebutkan bahwa Nabi SAW. tidak pernah shalat lebih dari 11 rakaat, baik pada bulan Ramadhan maupun di luar bulan Ramadhan. Shalat tarwih tidak mungkin dilaksanakan di luar bulan Ramadhan, sebab shalat tarwih hanya ada pada bulan Ramadhan. 2. Pada bagian akhir hadis tersebut, Aisyah bertanya mengenai shalat witir Nabi SAW. apakah dilaksanakan sebelum tidur? Oleh karena itu, umumnya para ulama menempatkan hadis tersebut pada bab pembahasan shalat witir. Hadis Nabi SAW. tentang witir tersebut berbeda-beda antara satu dengan lainnya menunjukkan keanekaragaman, baik dari segi waktu maupun cara pelaksanaannya semuanya dapat diterima dan dipilih dilaksanakan sesuai yang dikehendaki atas kemampuan dan kondisionalnya yang bersangkutan. Metode at-tanawwu` seperti ini ditempuh jika ada dalil yang mendukungnya. Keanekaragaman ini harus disikapi secara arif dan bijaksana serta keyakinan bahwa perbedaan tersebut semuanya merupakan ajaran Nabi SAW. yang memang disampaikan secara bervariasi. Umat Islam boleh mengamalkan sesuai pilihannya yang disenangi dan memudahkan.[91] 3. Metode (Manhaj) at-Tarjih At-Tarjih adalah membandingkan hadis-hadis yang tampak saling bertentangan untuk dapat diketahui mana hadis yang lebih unggul dan kuat. Kalau ditemukan cukup keterangan yang menunjukkan bahwa salah satunya lebih unggul, maka pertentangan itu dapat diselesaikan dengan cara memegang dan mengamalkan yang lebih unggul. Dalam melakukan tarjih terhadap hadis-hadis, ada sekitar tujuh dasar-dasar tarjih yang harus dipertimbangkan; 1) tarjih berdasarkan keadaan periwayat hadis; 2) tarjih berdasarkan usia periwayat; 3) tarjih berdasarkan tata cara periwayatan; 4) tarjih berdasarkan waktu periwayatan; 5) tarjih berdasarkan redaksinya; 6) tarjih berdasarkan kandungannya; 7) tarjih berdasarkan unsur-unsur eksternal, seperti banyak dalil pendukungnya.[92] Berikut ini dikemukakan beberapa contoh hadis termasuk dalam kategori ini. a. Tarjih berdasarkan keadaan periwayat. Misalnya jumlah periwayatnya. Puasa orang yang masih junub sampai subuh. Abu Hurairah meriwayatkan: مَنْ أَصْبَحَ جُنُباً فَلاَ صَوْمَ لَهُ Barangsiapa sampai subuh masih dalam keadaan junub, maka tidak ada puasa baginya. (HR. Ahmad).[93] Dalam hadis lain yang bersumber dari Aisyah dan أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يُدْرِكُهُ الْفَجْرُ وَهُوَ جُنُبٌ مِنْ أَهْلِهِ ثُمَّ يَغْتَسِلُ وَيَصُومُ Sesungguhnya Rasulullah SAW. pernah mendapatkan fajar telah menyinsing (subuh) dan beliau masih dalam keadaan junub. Kemudian beliau mandi dan terus berpuasa.” (HR. Bukhari).[94] Kedua hadis yang tampak saling bertentangan ini dapat dipahami dan disikapi dengan pendekatan tarjih. Di antara kedua hadis ini, hadis riwayat Aisyah dinilai lebih unggul dan kuat daripada hadis riwayat Abu Hurairah, dengan alasan: 1) Dilihat dari sisi sumber. Hadis riwayat Aisyah juga diriwayatkan Ummu Salamah, keduanya adalah isteri Nabi SAW. yang pasti lebih mengerti persoalan junub Nabi SAW. dari pada Abu Hurairah, karena junub adalah persoalan yang sangat pribadi, dalam rumah tangga yang merupakan rahasia suami isteri. 2) Dilihat dari sisi jumlah periwayat. Hadis riwayat Aisyah, periwayatnya lebih banyak, sebab selain Aisyah juga Ummu Salamah meriwayatkannya termasuk isteri Nabi SAW. Sedang hadis riwayat Abu Hurairah hanya dia sendiri yang meriwayatkannya. 3) Dan dari sisi kandungan maknanya. Hadis riwayat Aisyah, kandungan maknanya lebih rasional. Bersetubuh yang menyebabkan junub adalah boleh dilakukan pada malam hari puasa sampai masuk waktu subuh, sebagaimana halnya makan dan minum. Artinya, ketika masuk waktu subuh, barulah bersetubuh dilarang dan harus dihentikan. Seseorang yang menghentikan persetubuhan karena sudah masuk waktu subuh, pasti akan berada dalam keadaan junub.[95] b. Tarjih berdasarkan kandungan makna hukumnya. Misalnya hadis yang bersumber dari Busrah puteri Shafwan, ia mengatakan Nabi SAW. bersabda: مَنْ مَسَّ ذَكَرَهُ فَلاَ يُصَلِّ حَتَّى يَتَوَضَّأَ Barangsiapa yang menyentuh alat kemaluannya, maka janganlah shalat sebelum berwudhu. (HR. Tirmidzi dan Nasai). Dalam hadis lainnya yang bersumber dari Syu'aib dari ayahnya ia mengatakan, Rasulullah SAW. bersabda kepadaku: مَنْ مَسَّ ذَكَرَهُ فَلْيَتَوَضَّأْ وَأَيُّمَا امْرَأَةٍ مَسَّتْ فَرْجَهَا فَلْتَتَوَضَّأْ Barangsiapa yang menyentuh kemaluannya, maka hendaklah berwudhu. Siapa saja perempuan yang menyentuh kemaluannya, maka hendaklah berwudhu. (HR. Ahmad bin Hambal). Sementara dalam hadis lainnya justru membolehkan, sebab tidak membatalkan wudhu, sebagaimana diriwayatkan dari Qais bin Thalq bin Ali dari ayahnya, ia mengatakan: خَرَجْنَا وَفْدًا حَتَّى قَدِمْنَا عَلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَبَايَعْنَاهُ وَصَلَّيْنَا مَعَهُ فَلَمَّا قَضَى الصَّلاَةَ جَاءَ رَجُلٌ كَأَنَّهُ بَدَوِيٌّ فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ مَا تَرَى فِي رَجُلٍ مَسَّ ذَكَرَهُ فِي الصَّلاَةِ قَالَ وَهَلْ هُوَ إِلاَّ مُضْغَةٌ مِنْكَ أَوْ بَضْعَةٌ مِنْكَ Kami pernah datang kepada Nabi SAW. sebagai delegasi, lalu kami berbaiat dan shalat bersama beliau. Ketika ushai shalat, datanglah seorang laki-laki yang sepertinya mengetahui bahwa kami telah menyetuh kemaluan kami dan bertanya: "Wahai Rasulullah, apa pendapat Anda mengenai seorang laki-laki yang sudah menyentuh kemaluannya lalu shalat?" Beliau menjawab: "Bukankah kemaluan itu merupakan bagian dari tubuhmu". (HR. Nasai). Hadis pertama dan kedua di atas yang mengharuskan berwudhu bagi mereka yang sudah menyetuh kemaluannya sebelum shalat lebih diunggulkan daripada hadis yang menganggap kelamin itu hanyalah bagian dari anggota tubuh sehingga tidak membatalkan wudhu. 4. Metode (Manhaj) an-Naskh Naskh mengandung arti; al-Izâlah (penghapusan), al-Ibthâl (pembatalan), at-Tabdîl (penggantian), at-Tahdzîb (penghilangan), at-Tahwîl (pemindahan), dan an-Naql (penyalinan atau pengutipan).[96] Adapun secara terminologi, terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama, misalnya ulama mutaqaddimin (mereka yang hidup pada abad I sampai III H) memberikan pengertian naskh yang luas meliputi; pembatalan hukum yang ditetapkan terdahulu oleh hukum yang ditetapkan kemudian, pengecualian hukum yang bersifat umum oleh hukum yang bersifat khusus yang datang kemudian, penjelasan yang datang kemudian terhadap hukum yang bersifat samar, dan penetapan syarat terhadap hukum terdahulu yang belum bersyarat. Bahkan ada di antara mereka beranggapan bahwa suatu ketetapan hukum yang ditetapkan oleh satu kondisi tertentu telah menjadi mansûkh apabila ada ketentuan lain yang berbeda akibat adanya kondisi lain, misalnya perintah bersabar atau menahan diri pada periode Mekah ketika kondisi umat Islam masih lemah, dianggap mansûkh oleh perintah atau izin berperang pada periode Madinah, sebagaimana ada yang beranggapan bahwa ketetapan hukum Islam yang membatalkan hukum yang berlaku pada masa pra-Islam merupakan bagian dari pengertian naskh. [97] Ulama mutaakhirin yang muncul kemudian menyusun dengan cara mempersempit terminologi naskh, dalam arti: رَفْعُ الشَّارِعِ حُكْماً مِنْهُ مُتَقَدِّماً بِحُكْمٍ مِنْهُِ مُتَـأَخِِّرٍ (Penghapusan atau pembatalan hukum yang terdahulu oleh pembuat hukum dengan mendatangkan hukum yang baru).[98] Maksudnya, naskh hanya pada ketetapan hukum yang datang kemudian untuk mencabut, membatalkan, atau menyatakan berakhirnya masa perberlakuan hukum yang terdahulu sehingga ketetapan hukum yang berlaku adalah yang ditetapkan terakhir. Hukum yang datang kemudian menghapus, membatalkan, menghilangkan, atau mengganti disebut nâsikh, dan hukum yang ditetapkan lebih dahulu kemudian dibatalkan, dihapus, dihilangkan, atau diganti disebut mansûkh. Memperhatikan terminologi naskh ini, maka jelas bahwa ruang lingkupnya lebih pada persoalan hukum yang terdiri dari perintah dan larangan serta ungkapan kalimat berita tetapi bermakna amar (perintah) atau nahy (larangan). Hadis yang muatannya tentang sejarah atau kisah, motivasi yang mendorong untuk melakukan kebaikan dan ancaman bagi mereka yang melakukan kejahatan tidak dapat diberlakukan naskh atau pembatalan. Hal ini tidak termasuk dalam kawasan yang harus dikerjakan sebagaimana hukum-hukum ibadah. Akan tetapi hanya merupakan berita atau informasi, janji atau ancaman hanyalah untuk dibenarkan isi pemberitaannya. Me-nasakh atau membatalkan hal-hal seperti ini berarti mendustakan penyampainya, yaitu Allah dan Rasul. Demikian juga dalam persoalan akidah yang berfokus pada Zat Allah, sifat-sifat-Nya, kitab-kitab-Nya, para rasul-Nya dan hari kemudian tidak termasuk kawasan pemberlakuan naskh, sebab semua syariat Ilahi tidak lepas dari pokok-pokok tersebut. Dan dalam masalah pokok (ushul) semua syariat adalah sama. Oleh karena itu, terminologi naskh lebih banyak mengacu pada wacana ushul fikih, sebab kawasan naskh hanya pada yang terkait dengan hukum. Hadis-hadis yang tampak bertentangan ini, jika tidak dapat dikompromikan dan diselesaikan dengan pendekatan tersebut di atas, maka penyelesaiannya adalah dengan cara naskh. Artinya salah satu di antara hadis yang bertentangan itu ada yang nâsikh (pengganti) dan itulah yang dipegang dan diamalkan, dan yang lainnya disebut mansûkh (dibatalkan) dan ditinggalkan. Dalam melakukan naskh ada beberapa persyaratan yang harus diperhatikan; pertama, sesuatu yang mansûkh itu tidak diikuti oleh ungkapan yang menunjukkan bahwa hal itu berlaku selama-lamanya (abadi); kedua, mansûkh lebih dahulu terjadinya dari pada yang nâsikh; ketiga, kedua teks benar-benar tidak dapat dikompromikan; keempat, berupa hukum syar`i jenis amali; kelima, kekuatan dalil penetapan (quwwah ad-dalâlah) nâsikh harus lebih kuat atau seimbang dengan yang mansûkh.[99] Contoh: a. Nikah Mut`ah Bukhari meriwayatkan dari Abdullah ibn Mas`ud, katanya: كُنَّا نَغْزُو مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَلَيْسَ مَعَنَا نِسَاءٌ فَقُلْنَا أَلاَ نَخْتَصِي فَنَهَانَا عَنْ ذَلِكَ فَرَخَّصَ لَنَا بَعْدَ ذَلِكَ أَنْ نَتَزَوَّجَ الْمَرْأَةَ بِالثَّوْبِ ثُمَّ قَرَأَ (يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لاَ تُحَرِّمُوا طَيِّبَاتِ مَا أَحَلَّ اللهُ لَكُمْ) “Kami pergi berperang bersama Nabi SAW. dan tanpa mengikutsertakan isteri kami. Lalu kami katakan: “Bolehkah kami mengebiri, maka Rasulullah SAW. melarang. Kemudian setelah itu, beliau memberi dispensasi atau keringanan kepada kami dengan membolehkan nikah mut`ah, yakni menikahi perempuan sampai jangka waktu tertentu dengan (mahar) selembar pakaian. Kemudian beliau membaca ayat: “87 surat al-Mâidah: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu haramkan apa-apa yang baik yang telah Allah halalkan bagi kamu.” (HR. Bukhari).[100] Sementara dalam hadis lainnya yang juga diriwayatkan Bukhari dan Muslim dari Ali ibn Abi Thalib, katanya: أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَى عَنْ مُتْعَةِ النِّسَاءِ يَوْمَ خَيْبَرَ Sesungguhnya Rasulullah SAW. melarang nikah mut’ah pada perang Khaibar. (HR. Bukhari dan Muslim).[101] Demikian juga dalam hadis riwayat Bukhari dari Sabrah al-Juhanî. عَنْ سَبْرَةَ الْجُهَنِيُّ أَنَّهُ كَانَ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنِّي قَدْ كُنْتُ أَذِنْتُ لَكُمْ فِي الِاسْتِمْتَاعِ مِنْ النِّسَاءِ وَإِنَّ اللَّهَ قَدْ حَرَّمَ ذَلِكَ إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ فَمَنْ كَانَ عِنْدَهُ مِنْهُنَّ شَيْءٌ فَلْيُخَلِّ سَبِيلَهُ وَلاَ تَأْخُذُوا مِمَّا آتَيْتُمُوهُنَّ شَيْئًا Sabrah al-Juhanî meriwayatkan bahwa ia pernah bersama-sama Rasulullah SAW., lalu beliau bersabda: “Wahai sekalian manusia, sesungguhnya aku memang pernah mengizinkan kamu nikah mut’ah. Tetapi kemudian Allah mengharamkan hal itu sampai hari kiamat. Maka barangsiapa yang masih mempunyai isteri dengan nikah mut’ah itu, maka segeralah ia membebaskannya dan janganlah kamu mengambil apa yang pernah kamu berikan kepada mereka.” (HR. Muslim).[102] Hadis pertama riwayat Bukhari dari Abdullah ibn Mas`ud di atas membolehkan nikah mut`ah. Sedang hadis kedua dan ketiga yang diriwayatkan Bukhari dan Muslim justru melarang nikah mut`ah. Hadis-hadis tersebut bertentangan dan tidak dapat dikompromikn, maka metode yang ditempuh adalah an-naskh, hadis pertama di atas adalah mansûkh (dibatalkan) oleh hadis kedua dan ketiga sebagai nâsikh. Hadis yang kedua dan ketiga sebagai nâsikh (membatalkan) ini terjadinya belakangan, yaitu pada perang Khaibar tahun 7 H dan pada waktu haji Wada` tahun 11 H.[103] b. Larangan ziarah kubur Diriwayatkan dari Abu Hurairah, ia mengatakan: أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَعَنَ زَوَّارَاتِ الْقُبُورِ Rasulullah SAW. melaknat para perempuan peziarah kubur. (HR. Tirmidzi). Pengertian “laknat” dalam hadis ini bisa mengandung arti ziarah mereka dengan praktek haram, seperti meratapi. Menurut sebagian ulama, bahwa ziarah kubur bagi perempuan hukumnya makruh, karena perempuan kurang sabar dan mudah dan banyak sedihnya. Hadis ini mansukh oleh hadis berikut ini. Diriwayatkan dari Buraidah, katanya: “Rasulullah SAW. bersabda: قَدْ كُنْتُ نَهَيْتُكُمْ عَنْ زِيَارَةِ الْقُبُورِ فَقَدْ أُذِنَ لِمُحَمَّدٍ فِي زِيَارَةِ قَبْرِ أُمِّهِ فَزُورُوهَا فَإِنَّهَا تُذَكِّرُ الْآخِرَةَ “Sesungguhnya aku pernah melarang kalian ziarah kubur, sungguh telah diizinkan bagi Muhammad untuk menziarahi kubur ibunya. Maka sekarang ziarah kuburlah, sebab dengan ziarah kubur itu akan membangkitkan kesadaran akan kehidupan akhirat.” (HR. Tirmidzi).[104] Kata Abu Isa at-Tirmidzi, hadis dari Buraidah ini kualitasnya hasan sahih. Diriwayatkan dari Aisyah, ia pernah bertanya: "Wahai Rasulullah, apa yang kubaca ketika ziarah kubur? Beliau menjawab: Bacalah! السَّلاَمُ عَلَى أَهْلِ الدِّيَارِ مِنْ الْمُؤْمِنِينَ وَالْمُسْلِمِينَ وَيَرْحَمُ اللَّهُ الْمُسْتَقْدِمِينَ مِنَّا وَالْمُسْتَأْخِرِينَ وَإِنَّا إِنْ شَاءَ اللهُ بِكُمْ لَلاَحِقُونَ “Semoga keselamatan atas penghuni kubur dari kalangan orang-orang mukmin dan muslim dan semoga Allah merahmati mereka yang telah mendahului kita dan mereka yang akan menyusul. Dan sesungguhnya kami insya Allah akan menyusul kalian juga.” (HR. Muslim).[106] Diriwayatkan dari Ibnu Abi Mulaikah, bahwa Aisyah pernah menziarahi kubur saudaranya bernama Abdul Rahman. Lalu ia ditanya: “Bukankah Nabi SAW. telah melarang ziarah kubur?” Ia menjawab: “Ya, benar, Nabi SAW. pernah melarang, lalu kemudian beliau menyuruh ziarah kubur lagi.” (HR. Hakim).[107] Diriwayatkan dari Abdullah ibn Abi Mulaikah, katanya: “Abdul Rahman ibn Abu Bakar meninggal dunia di Abessenia, lalu jenazahnya dibawa ke Mekah dan dikuburkan di sana. Ketika Aisyah tiba, ia mendatangi kubur saudaranya itu dan mengatakan: “Kami adalah teman sepanjang hidup tak pernah terpisahkan. Ketika kematian memisahkan kami, maka aku dan Malik setelah lama berkumpul dan bergaul dengannya, tak ada waktu lagi untuk bersamanya. Kemudian Aisyah berkata: “Demi Allah seandainya aku hadir pada saat engkau dikuburkan dan ketika engkau menghembuskan nafas terakhirmu, niscaya aku tidak menziarahi kuburmu.” (HR. Tirmidzi).[108] Hadis-hadis ini menunjukkan bahwa boleh menziarahi kubur, baik laki-laki maupun perempuan. Dan hadis-hadis ini me-nasakh hadis-hadis terdahulu di atas yang melarang ziarah kubur. c. Cara Sujud Dalam Shalat Ada beberapa hadis yang populer dan seringkali masih dipermasalahkan di tengah-tengah masyarakat yaitu cara sujud nabi SAW. ketika shalat. Pembahasan hadis ini dikemukakan pada bagian akhir dari contoh-contoh tersebut di atas, sebab hadis mengenai cara sujud nabi SAW. dapat dipahami dan disikapi dengan beberapa metode dan pendekatan. Adapun hadis mengenai cara sujud Nabi SAW. dalam shalat ialah sebagaimana diriwayatkan dari Abu Hurairah, Rasulullah SAW. bersabda: إِذَا سَجَدَ أَحَدُكُمْ فَلْيَضَعْ يَدَيْهِ قَبْلَ رُكْبَتَيْهِ وَلاَ يَبْرُكْ بُرُوكَ الْبَعِيرِ Apabila salah seorang di antara kamu sujud, maka letakkanlah kedua tangan sebelum kedua lutut, janganlah menderum seperti menderumnya unta. (HR. Nasai). Dalam riwayat lain juga bersumber dari Abu Hurairah, Rasulullah SAW. bersabda: إِذَا سَجَدَ أَحَدُكُمْ فَلاَ يَبْرُكْ كَمَا يَبْرُكُ الْبَعِيرُ وَلْيَضَعْ يَدَيْهِ قَبْلَ رُكْبَتَيْهِ Apabila salah seorang di antara kamu sujud, janganlah menderum seperti menderumnya unta, letakkanlah kedua tangan sebelum kedua lutut. (HR. Nasai). Kedua hadis ini menunjukkan bahwa cara sujud dalam shalat adalah meletakkan kedua tangan sebelum kedua lutut atau mendahulukan tangan sebelum lutut. Sedangkan hadis-hadis lainnya justru menunjukkan bahwa cara sujud dalam shalat adalah mendahulukan kedua lutut sebelum kedua tangan. Sebagaimana hadis berikut ini: Wail ibn Hujr meriwayatkan: رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا سَجَدَ يَضَعُ رُكْبَتَيْهِ قَبْلَ يَدَيْهِ وَإِذَا نَهَضَ رَفَعَ يَدَيْهِ قَبْلَ رُكْبَتَيْهِ Aku melihat Rasulullah SAW. sujud meletakkan kedua lututnya sebelum kedua tangannya. Dan jika bangkit lagi ke atas, beliau mengangkat kedua tangannya sebelum kedua lututnya. (HR. Hakim dan Darimi).[109] Dalam riwayat lainnya, bersumber Anas رَأَيْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ كَبَّرَ فَحاَذَى بِإِبْهاَمَِيْهِ أُذُنَيْهِ ثُمَّ رَكَعَ حَتَّى اسْتَقَرَّ كُلُّ مَفْصَلٍ مِنْهُ وَانْحَطَّ بِالتَّكْبِيْرِ حَتَّى سَبَقَتْ رُكْبَتاَهُ يَدَيْهِ Aku melihat Rasulullah SAW. bertakbir dan mensejajarkan kedua ibu jarinya dengan kedua telinganya. Kemudian beliau ruku’ hingga tiap-tiap persendiannya tetap. Kemudian turun lagi (sujud) sambil membaca takbir hingga mendahulukan kedua lututnya dari pada kedua tangannya.” (HR. Hakim).[110] Menyikapi hadis-hadis yang tampak saling bertentangan di atas, ada beberapa metode yang dapat digunakan. Di antaranya metode at-tarjih. Ulama yang menggunakan metode tarjih ini lebih menguatkan dan mengunggulkan hadis ketiga dan keempat yang bersumber dari Wail bin Hujr dan Anas bin Malik yang menjelaskan cara sujud mendahulukan kedua lutut. Menurut Ibn al-Qayyim, hadis pertama dan kedua di atas yang bersumber dari Abu Hurairah adalah termasuk hadis maqlub (hadis yang tertukar matannya). Kalimat: وَلْيَضَعْ يَدَيْهِ قَبْلَ رُكْبَتَيْهِ Dalam proses periwayatannya telah terjadi pertukaran. Kata “يَدَيْهِ” tertukar, seharusnya ditulis pada bagian akhir. Kata “رُكْبَتَيْهِ” ditulis pada bagian depan, seperti hadis yang diriwayatkan dari Anas ibn Malik dan Wail ibn Hujr. Pendapat ini diikuti oleh Guru Besar Ilmu Hadis Universitas Damaskus Syiria, Prof. Dr. Nurdin `Itr dalam buknya Manhaj an-Naqd fi `Ulum al-Hadits, buku yang banyak dipakai sebagai rujukan pada Program Pascasarjana Perguruan Tinggi Islam di dunia Islam. Hadis maqlub merupakan bagian dari hadis daif. Salah satu alasan yang menguatkan dalam metode tarjih ini ialah keadaan periwayat sebagai sumber informasi hadis tersebut. Anas ibn Malik yang melihat secara langsung praktek Nabi SAW. sujud dengan cara mendahulukan kedua lutut sebelum kedua tangannya, adalah sahabat yang hidup selama 10 tahun sebagai pelayan Nabi SAW. Dialah yang mendampingi dan melayani terus Nabi SAW. dalam berbagai situasi dan kondisi, sehingga dia lebih tahu dan paham yang pernah dilakukan Nabi SAW. Sedangkan Abu Hurairah yang meriwayatkan hadis pertama dan kedua di atas hanya mengatakan Nabi SAW. bersabda. Ini namanya hadis qauliyah, sedangkan riwayat dari Anas bin Malik adalah hadis fi’liyah yakni praktek Nabi SAW. secara langsung disaksikan. Abu Hurairah berkumpul dan bersama Nabi SAW. hanya sekitar 3 tahun 9 sembilan lalu Nabi SAW. wafat. Abu Hurairah pertama kali datang ke Madinah dan bertemu dengan Nabi SAW. pada acar perayaan hari kemenangan perang Khaibar tahun 7 H. inilah pertemuan pertama antara Abu Hurairah dan Nabi SAW. Pertemuan dan pergaulan serta kedekatan sahabat Anas bin Malik dengan Nabi SAW. jauh lebih intens dan rutin sebab ibunya Anas bin Malik yang bernama Ummu Sulaim menyerahkan puteranya kepada Nabi SAW. khusus sebagai pembantu beliau. Bahkan dalam riwayat disebutkan bahwa Abu Hurairah sendiri pernah berkata: “Aku tak pernah melihat seseorang yang menyerupai ibadah shalat Rasulullah selain dari putera Ummu Sulaim (maksudnya, Anas ibn Malik). Oleh karena itu, mayoritas ulama menganut paham cara sujud Nabi SAW. adalah mendahulukan kedua lutut sebelum kedua tangan, seperti Abu Hanifah, Syafi`i, Ahmad ibn Hambal, Sufyan ats-Tsauri, an-Nakha`i, dan lainnya. Dalam kitab Nail al-Authar, asy-Syaukani cenderungan lebih mengunggulkan hadis yang mendahulukan kedua lutut sebelum kedua tangan. Demikian juga dalam kitab-kitab fikih. Adapun Syekh Nashiruddin al-Albani ahli hadis abad X ini dalam bukunya Shifah Shalah an-Nabiy SAW. justru mengunggulkan hadis yang menjelaskan cara sujud dengan mendahulukan kedua tangan sebelum kedua lutut. Menurutnya hadis ini sahih, sedangkan hadis yang diriwayatkan dari Anas bin Malik yang menjelaskan cara sujud dengan mendahulukan kedua lutut adalah daif. Hadis bahwa Nabi SAW. sujud mendahulukan kedua lutut diriwayatkan Tirmudzi, Abu Daud, Nasai, Ahmad, dan Hakim. Tirmidzi menilainya sebagai hadis hasan gharib. Menurut Hakim, hadis tersebut kualitasnya sahih. Lalu kemudian datang Syekh Nashiruddin al-Albani menilainya daif. Sementara hadis yang dinilai sahih oleh al-Albani di atas, justru dinilai oleh Tirmidzi sebagai hadis gharib. Al-albani adalah ahli hadis, namun kontroversial, sebab ia biasa mendaifkan hadis yang sudah dinilai sahih oleh ulama sebelumnya, sebaliknya ia menilai sahih hadis yang sudah dinilai daif oleh ulama sebelumnya. Termasuk hadis sahih yang diriwayatkan Bukhari dan Muslim ada yang didaifkan oleh Al-Albani. Dengan sikapnya inilah banyak ulama mengkritiknya. Sejak tahun 2003 lalu, sedikitnya sudah 17 buku ditulis para ulama untuk membantah dan mengkritik pemikiran dan cara Al-Albani. Di antaranya Syekh Abdullah al-Ghimari ahli hadis dari Maroko menulis buku ar-Raddu `ala al-Albani, ia mengatakan hadis yang didaifkan atau disahihkan oleh al-Albani tidak dapat dipertanggungjawabkan. Kaedah dan kriteria kesahihan dan kedaifannya tidak jelas. Kalau al-Albani menilai daif suatu hadis dan memang ulama lainnya sudah mendaifkannya, maka itu dapat diterima.[111] Selain metode tarjih di atas, ada juga yang menggunakan metode an-nasakh (pembatalan). Ulama yang menggunakan metode an-nasakh ini berpendapat bahwa hadis pertama dan kedua yang diriwayatkan dari Abu Hurairah di atas bahwa cara sujud adalah mendahulukan kedua tangan ketika sujud adalah mansukh (dibatalkan), dan hadis ketiga dan keempat yang diriwayatkan dari Anas ibn Malik dan Wail ibn Hujr adalah nasikh (yang membatalkan). Hal ini didasarkan pada hadis yang diriwayatkan dari Sa`ad ibn Abi Waqqash, katanya: كُنَّا نَضَعُ الْيَدَيْنِ قَبْلَ الرُّكْبَتَيْنِ فَأَمَرَنَا بِالرُّكْبَتَيْنِ قَبْلَ الْيَدَيْنِ Dulu kami sujud dengan cara mendahulukan kedua tangan sebelum kedua lutut, lalu kemudian beliau menyuruh kami sujud dengan mendahulukan kedua lutut. (HR. Ibnu Khuzaimah dalam Shahih-nya). Redaksi hadis yang berbunyi” Dahulu kami melaksanakannya… lalu kami disuruh lagi ..” itu menunjukkan adanya pembatalan atau an-nasakh. al-Hamdzani menulis sebuah buku berjudul al-I`tibar fi an-Nasikh wa al-Mansukh min al-Atsar dan DR. Izzuddin Husain asy-Syeikh juga menulis buku Mukhtashar an-Nasikh wa al-Mansukh fi Hadits Rasulillah SAW.[112] Dalam kedua buku ini disebutkan bahwa hadis pertama yang menjelaskan bahwa cara sujud mendahululkan kedua tangan adalah mansukh, sedangkan hadis yang menjelaskan cara sujud adalah mendahulukan kedua lutut adalah an-nasikh. Hadis an-Nasikh inilah yang dijadikan pegangan. Bahkan ada yang memahami dan menyikapinya hadis-hadis kontardiksi tersebut dengan pendekatan kontekstual. Seperti Syekh Yusuf al-Qaradhawi mengutip pendapat Abu Hanifah bahwa Nabi SAW. sujud dalam shalat mendahulukan kedua tangan daripada kedua lututnya adalah ketika beliau sudah tua dan gemuk.[113] Jadi, kalau dalam kondisi yang kurang memungkinkan untuk sujud mendahaulukan kedua lutut karena ada udzur atau sebabnya, maka boleh mendahulukan kedua tangan sebelum kedua lutut yang dilakukan. 5. Metode (Manhaj) at-Tawaqquf Setelah beberapa metode dan pendekatan tersebut di atas tidak dapat dilakukan, maka metode alternatif terakhir adalah at-tawaqquf. Maksudnya ialah menangguhkan sambil menunggu sampai ada petunjuk atau dalil lain yang dapat menjernihkan dan menyelesaikan pertentangan antarkedua hadis tersebut. Dengan metode at-tawaqquf ini berarti tidak mengamalkan isi kandungan hadis yang tampak saling bertentangan.[114]
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah ibn Muslim ibn Qutaibah ad-Dainûrî (Populer dengan nama Ibn Qutaibah), Ta’wîl Mukhtalif al-Hadits Tahqiq oleh Muhammad Abdur Rahim, Beirut: Dar al-Fikr, 1415 H/1995 M. `Abd al-Wahab Khallaf, ‘Ilm Ushûl al-Fiqh, t.tp.: ad-Dâr al-Kuwaitiyah, 1388 H/1968 M. Abu al-Husain Ahmad ibn Fâris, Mu’jam al-Maqâyîs fî al-Lughah Tahqîq Syihab ad-Dîn Abu Amr, Beirût: Dâr al-Fikr, 1415 H/1994 M, Cet. I, Abu Amr Usman ibn Abd al-Rahman al-Syahrazuriy (lebih popular dengan nama Ibn ash-Shalah), ‘Ulûm al-Hadîts Tahqîq dan Takhrîj oleh Nûr ad-Dîn ‘Itr, al-Madinah al-Munawwarah: al-Maktabah al-‘Ilmiyah, 1973 H, Cet. II. Abu Bakar Muhammad ibn Musa ibn `Utsman al-Hamdzânî, Kitâb al-I`tibâr fî an-Nâsikh wa al-Mansûkh min al-Atsar, Hims Andalus: Râtib Hâkimî, 1386 H/1966 M. Abu Ishâq asy-Syatibî, al-Muwâfaqât fî Ushûl asy-Syarî`ah, Beirût: Dr al-Ma`rifah, 1971 Juz III. Ahmad ibn Hajar al-`Asqalânî, Syarh Nukhbah al-Fikar fî Mushthalah Ahl al-Atsar, Damaskus: Maktabah al-Gazâlî, 1410 H/1990 M, Cet. II. Ahmad Warson Munawwir, Kamus Arab-Indonesia, Yogyakarta: Pustaka Progressif, t.th.. Ali Yafie, Menggagas Fiqih Sosial, Bandung: Mizan, 1994, Cet. II. Badr ad-Dîn Muhammad ibn Bahâdir ibn `Abdullâh asy-Syafi`î az-Zarkasyî, al-Bahr al-Muhîth fî Ushûl al-Fiqh, Kairo: Dâr ash-Shafwah, 1409 H/1988 M Cet. I Juz IV. Ibn Manzhur, Lisân al-‘Arab, Beirut: Dâr ash-Shâdir, 1410 H/1990 M, Cet. I Juz III Ibn Katsir, Tafsir al-Qur’ân al-‘Azhîm, Semarang: Toha Putera, t.th. Juz I `Izzuddin Husain asy-Syaikh, Mukhtahshar an-Nâsikh wa al-Mansûkh fî Hadîts Rasûlillâh Shallâ Allâh `Alaihi wa Sallam, Beirût: Dâr al-Kutub al-`Ilmiyyah, 1413 H/1993 M, Cet. I Jalâl ad-Dîn `Abd ar-Rahmân as-Suyûthî, Tadrîb ar-Râwî fî Syarh Taqrîb an-Nawawî, Beirût: Dâr Ihyâ' as-Sunnah an-Nabawiyyah, 1979 M, Juz II. _______, al-Tahbîr Fî `Ilm al-Tafsîr Beirut: Dar al-Fikr, 1416 H/1996 M Cet. I Mahmud ath-Thahhân, Taysîr Mushthalah al-Hadîts, t.tp.: Dar al-Fikr, t.th. Manna' al-Qaththân, Mabâhits fî 'Ulûm al-Hadîts, Kairo: Maktabah Wahbah, 1992 Cet. III. Moh. Isom Yoesqi, Inklusivitas Hadis Nabi Muhammad Saw. Menurut Ibn Taimiyyah, Jakarta: Mapan, 2006, Cet. I. Muhammad Abû Zahrah, Ushûl al-Fiqh t.tp: Dâr al-Fikr, t.th. Muhammad `Ajjâj al-Khathîb, Ushûl al-Hadîts `Ulûmuhû wa Mushthalahuhû, Beirût: Dâr al-Fikr, 1409 H/1989 M, h. 283. Muhammad ibn `Alî ibn Muhammad asy-Syaukânî, Nail al-Authâr Syarh Muntaqâ al-Akhbâr min Ahâdîts Sayyid al-Akhyâr, Hadis-Hadisnya Ditakhrij `Ishâm ad-Dîn, Kairo: Dâr al-Hadîts, 1421 H/2000 M, Cet. I Juz III ______, Irsyâd al-Fuhûl Beirut: Dar al-Fikr, t.th.. asy-Syaukânî, Irsyâd al-Fuhûl Beirut: Dar al-Fikr, t.th.. Muhammad Ibrahim Muhammad al-Hafnâwî, at-Ta`ârudh wa at-Tarjîh `Inda al-Ushûliyyîn wa Atsaruhâ fî al-Fiqh al-Islâmî, al-Manshûrah: Dâr al-Wafâ, 1408 H/1987 M, Cet. III. Muhammad Thâhir al-Jawâbî, Juhûd al-Muhadditsîn fî Naqd Matn al-Hadîts an-Nabawî asy-Syarîf, Tunis: Muassasât ‘`Abd al-Karîm ibn `Abdullâh, t.th. Muhammad Wafa, Ta’ârudh al-Adillah asy-Syar’iyyah min al-Kitâb wa as-Sunnah wa at-Tarjih Bainahâ Diterjemahkan Muslich, “Metode Tarjih atas Kontradiksi Dalil-Dalil Syara’”, Bangil: Al-Izzah, 2001 Mukhtar Yahya dan Fatchurrahman, Dasar-Dasar Pemibnaan Hukum Fiqh Islami, M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat, Muslim ibn Hajjaj an-Naisabûrî, Shahîh Muslim Tahqiq dan Dinomori Muhammad Fuad `Abd al-Bâqî, Nashiruddin al-Albani, Shifah Shalâh an-Nabî Shalâ Allâh `Alaihi wa Sallam min at-Takbîr ilâ at-Taslîm, Nûr ad-Dîn `Itr, Manhaj an-Naqd fî `Ulûm al-Hadîts, Damaskus: Dâr al-Fikr, 1401 H/1981 M Cet. III. ar-Raghib al-Asfahânî, Mu’jam Mufradât Alfâzh al-Qur’ân Tahqîq Nadim Marasyli Beirût: Dâr al-Fikr, t.th., as-Sayyid Sâbiq, Fiqh as-Sunnah, Beirût: Dâr al-Fikr, 1403 H/1983 M, Cet. IV Jilid I Wahbah az-Zuhailî, Ushûl al-Fiqh, Yusuf al-Qardhawi, Kaif Nata`âmal Ma`a as-Sunnah an-Nabawiyyah: Ma`âlim wa Dhawâbith, Herndon Virginia USA: al-Ma`had al-Islâmî li al-Fikr al- Islâmî, 1411 H/1990 M, Cet. III. _____ as-Sunnah Mashdaran li al-Ma`rifah wa al-Hadhârah, Diterjemahkan oleh Abdul Hayyie al-Kattanie dan Abduh Zulfikar, "Sunnah Rasul Sumber Ilmu Pengetahuan dan Peradaban", [1] Ahmad ibn Hambal, Musnad …, Hadis No. 6199. [2] Al-Bukhari, Shahîh al-Bukhârî, (Beirût: Dâr al-Fikr, t.th. ), Juz I h. 288. [3] Syekh Yusuf al-Qaradhawi menulis sebuah buku berjudul as-Sunnah Mashdar li al-Hadharah (Hadis Sebagai Sumber Peradaban). Dalam buku ini diuraikan dengan sistematis mengenai kedudukan hadis yang penting terutama pada bidang ilmu pengetahuan dan peradaban. Demikian juga dalam masalah hukum, Dr. Mustafa as-Siba’i juga menulis buku as-Sunnah wa Makanatuha fi at-Tasyri’i al-Islami. [4] Musnad al-Imâm Ahmad ibn Hambal Hadis No. 24080. [5] Jalalauddin as-Suyuthi dan Jalaluddin al-Mahalli, Tafsir al-Jalâlayn, [6] Berhadats, maksudnya dalam keadaan tidak suci secara maknawiyah, seperti belum ada wudhunya. Hadats ada dua macam; hadats kecil dan hadats besar. Hadats kecil dapat dibersihkan dengan cara wudhu atau tayammum, sedangkan hadats besar, misalnya dalam keadaan junub atau haidh, dapat dibersihkan dengan cara mandi atau pun tayammum dengan syarat-syarat tertentu. [7] Penafsiran mengenai dua golongan ini al-Maghdhûb dan adh-Dhâllîn dapat dilihat dalam Tafsir al-Marâghi karya Syekh Ahmad Mustafa al-Maragi dan Tafsir al-Mishbah karya Prof. DR. M. Quraish Shihab. [8] Allah berfirman: "Hadapkanlah wajahmu ke arah Masjidil Haram. Dan di mana saja kamu berada, hadapkanlah wajahmu ke arahnya." (QS. Al-Baqarah [2]: 144). [9] Muslim, Shahîh …, Kitâb Shalâh al-Musâfirîn wa Qashrihâ, Bâb Jawâz Shalâh an-Nâfilah `ala adh-Dhâbbah fi ash-Safar haitsu Tawajjahat Hadis No. 700. [10] Muhammad Muhammad Abû Zahw, al-Hadîts wa al-Muhadditsûn, (Mesir: t.p., t.th.), h. 38-9; Ahmad `Umar Hâsyim, as-Sunnah an-Nabawiyyah wa `Ulûmuhâ Dirâsah Tahlîliyyah li as-Sunnah an-Nabawiyyah, (T.tp.: Maktabah Garîb, t.th.), h. 30-33. [11] M. Quraish Shihab mengutip pendapat gurunya `Abdul Halim Mahmud mantan Syaikh Al-Azhar, bahwa ada dua fungsi sunnah terhadap al-Qur'an yang tidak diperselisihkan, yakni bayân ta'kîd dan bayân tafsîr. Lalu M. Quraish Shihab menambahkan fungsi taqrîr yang masih diperdebatkan, selengkapnya lihat dalam "Membumikan" Al-Quran Fungsi dan Peran Wahyu Dalam Kehidupan Masyarakat, (Bandung: Mizan, 1996), Cet. XIII h. 122-123. [12] Abû Fajr `Abd ar-Rahmân ibn `Ali ibn al-Jauzî, Kitâb al-Maudhû`ât, (Beirût: Dâr al-Fikr, 1403 H/1983 M), Juz I h. 106. [13] Abû Bakar Ahmad ibn `Alî al-Khathîb al-Baghdadî, al-Kifâyah fî ‘Ilm ar-Riwâyah (Mesir: Mathba’ah as-Sa`adah, 1972 M), h. 433; Bandingkan dengan Ibn Qayyim al-Jauziyyah (751 H/1350 M) yang menyebutkan 13 ciri kepalsuan suatu hadis, yaitu: 1) Kandungannya serampangan (tidak berarturan) yang tidak mungkin diucapkan oleh Rasulullah SAW. 2) Mengandung kebohongan karena bertentangan indera (akal sehat). 3) Bahasanya buruk dan kasar sehingga mengandung kehinaan. 4) Bertentangan secara tegas dengan hadis-hadis lain yang jelas kesahihannya. 5) mengandung suatu tuduhan bahwa para sahabat sepakat untuk tidak menyampaikan apa yang jelas-jelas diperbuat dan disampaikan Nabi SAW. di hadapan mereka. 6) Isinya mengandung kebatilan sehingga ia menunjukkan bahwa itu bukan sabda Rasulullah SAW. 7) Redaksi bahasanya tidak menyerupai ucapan para Nabi, terlebih lagi sabda Rasulullah SAW. sebagai bagian dari wahyu. [14] Al-Idlibî, Manhaj ..., h. 238. [15] Abû Daud, Sunan ..., Kitab as-Sunnah Hadis No. 4717. [16] Muslim, Shahîh ..., Kitâb al-Masâqâh Hadis No. 1568. [17] Muslim, Shahîh ..., Kitâb al-Masâqâh Hadis No. 1577. [18] al-Bukhari, Shahîh ..., Kitâb al-Buyû` Hadis No. 2102; at-Tirmidzi, Sunan ..., Kitâb al-Buyû` Hadis No. 1278; Abû Daud, Sunan ..., Kitâb ath-Thibb Hadis No. 3857. [19] Kedua riwayat tersebut terdapat dalam Ibn al-Jauzî, al-Maudhû`ât, ..., Juz I h. 155-157; Ibn Qayyim al-Jauziyyah, al-Manâr al-Munîf, ..., h. 58. [20] As-Sakhâwî, al-Maqâshid al-Hasanah, ..., Hadis No. 1111. [21] Ibn al-Jauzî, al-Maudhû`ât ..., Juz II h. 251. [22] Ad-Damînî, Maqâyîs ..., h. 190. [23] Ibn al-Jauzî, al-Maudhû`ât ..., Juz I h. 134. [24] Ibn al-Jauzî, al-Maudhû`ât ..., Juz I h. 275. Ibn Majah juga meriwayatkan dalam Sunannya berasal dari Jabir bahwa Rasulullah SAW. bersabda: "Sesungguhnya Majusinya umat ini adalah orang-orang yang mendustakan qadar Allah. Kalau mereka sakit, maka janganlah kalian menjenguknya. Kalau mereka meninggal, maka jangan kalian mensalatinya. Kalau bertemu dengan mereka, janganlah memberi salam kepada mereka. Sunan Ibn Mâjah, Kitab al-Muqaddimah Hadis No. 92. [25] Ahmad ibn Hajar al-`Asqalani, Syarh Nukhbah al-Fikar fi Mushthalah Ahl al-Atsar, (Damaskus: Maktabah al-Ghazali, 1410 H/1990 M), cet. II h. 30. [26] Shubhi ash-Shâlih, `Ulûm al-Hadîts wa Mushthalahuhû, (Beirût: Dâr al-`Ilm li al-Malâyîn, 1988 M), Cet. XVII. H. 165; Ahmad `Umar Hasyim, Qawa`id Ushul al-Hadits, (Beirut: Dar al-Fikr, t.th.), h. 86. [27] Ahmad ‘Umar Hasyim, Qawaid Ushul al-Hadits (Beirut: Dar al-Fikr, t.th.), h. 90. [28] Muhammad Nawawi ibn `Umar al-Bantani, Tanqîh al-Qaul al-Hatsits Syarh Lubab al-Hadits, (t.tp.: Dar al-Kitab al-Islami, t.th.), h. 24. [29] Muhammad Jamâl ad-Dîn al-Qâsimî, Qawâ’id at-Tahdîts min Funûn Mushthalah al-Hadîts (Beirût: Dâr Ihya’ as-Sunnah an-Nabawiyah, t.th.), h. 113. [30] Ahmad ‘Umar Hasyim, Qawaid Ushul al-Hadits (Beirut: Dar al-Fikr, t.th.), h. 89. [31] Nûr ad-Dîn `Itr, Manhaj an-Naqd fî `Ulûm al-Hadîts, (Damaskus: Dâr al-Fikr, 1401 H/1981 M), h. 291. [32] Nûr ad-Dîn `Itr, Manhaj an-Naqd fî `Ulûm al-Hadîts, h. 291. [33] Diskusi para ulama mengenai pemakaian hadis-hadis daif dapat dilihat dalam Ibn ash-Shalâh, `Ulûm al-Hadîts, h. 93; al-Khathîb al-Bagdâdî, al-Kifâyah fî `Il mar-Riwâyah, h. 133-134; as-Suyûthî, Tadrîb ar-Râwî fî Syarh Taqrîb an-Nawawî, h. 196; Jamâl ad-Dîn al-Qâsimî, Qawâ`id at-Tahdîts min Funûn Mushthalah al-Hadîts h. 113-117; Nûr ad-Dîn `Itr, Manhaj an-Naqd fî `Ulûm al-Hadîts h. 291-294. [34] Nûr ad-Dîn `Itr, Manhaj an-Naqd fî `Ulûm al-Hadîts, (Damaskus: Dâr al-Fikr, 1401 H/1981 M), h. 269. [35] M. Syuhudi Ismail, Kaedah Kesahihan Sanad Hadis, (Jakarta: Bulan Bintang, 1988), Cet. I. h. 21. [36] Penjelasan para ulama hadis mengenai hal ini dapat dilihat dalam Nûr ad-Dîn `Itr, Manhaj an-Naqd fî `Ulûm al-Hadîts, h. 296-297. [37] Ahmad Lutfi, Kajian Hadis Kitab Durrat Al-Nasihin, Tesis, Fakultas Pengajian Islam Universitas Kebangsaan Malaysia, 2000. [38] Muhammad Jamâl ad-Dîn al-Qâsimî, Qawâ’id at-Tahdîts min Funûn Mushthalah al-Hadîts (Beirût: Dâr Ihya’ as-Sunnah an-Nabawiyah, t.th.), h. 150. [39] Ad-Dailamî (509 H) dalam al-Firdaus bi Ma'tsûr al-Khithâb, dan as-Suyuthî dalam Miftâh al-Jannah juga memuat riwayat tersebut, namun tanpa disertaisanad. [40] Juwaibir namanya Ibn Sa`ad al-Azdî Abû al-Qâsim [41] Imam Badruddin az-Zarkasyi, Al-Ijabah Li Iradi Mastadrakathu ‘Aisyah ‘alas Shahabah, Diterjemahkan oleh Wawan Djunaedi Soffandi, Aisyah Mengoreksi Para Sahabat, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2001), h. 77. [42] Hadis-hadis yang muncul dengan latar belakang politik ini dapat dilihat dalam Mohammad Najib, Pergolakan Politik Umat Islam Dalam Kemunculan Hadis Maudhu`, Bandung: Pustaka Setia, 2001. [43] Ibn al-Jauzi, al-Maudhu`at, (Beirut: Dar al-Fikr, t.th.), Juz I h. 350. [44] Ahmad Sutarmadi, Hadits Dha`if Studi Kritis tentang Pengaruh Israiliyat dan Nasraniyat dalam Perkembangan Hadits, (Jakarta: Kalimah, 1999), h. 19. [45] Nûr ad-Dîn `Itr, Manhaj an-Naqd fî `Ulûm al-Hadîts, (Damaskus: Dâr al-Fikr, 1401 H/1981 M), h. 303. [46] Adz-Dzahabi, Tadzkirah al-Maudhu`at (Beirut: Dar al-Fikr, t.th.) Juz I h. 594. [47] Ahmad Lutfi Fathullah, Hadis-Hadis Keutamaan Al-Qur’an, (Jakarta: Lembaga Pengkajian dan Penelitian Hadis, 2004), Cet. II h. 112. [48] Ibn Katsir, al-Ba`its al-Hatsits fi Syarh Ikhtishar `Ulum al-Hadits, (Beirut: Dar al-Fikr, t.th.), h. 81; Mohammad Najib, Pergolakan Politik Umat Islam Dalam Kemunculan Hadis Maudhu`, Bandung: Pustaka Setia, 2001, h. 58. [49] `Utsman ibn Hasan al-Khubawi, Durrah an-Nashihin fi al-Wa`zh wa al-Irsyad, (Surabaya: al-Hidayah, t.th.), h. 41. [50] Muhammad al-Ghazali, as-Sunnah an-Nabawiyyah baina Ahl al-Fiqh wa Ahl al-Hadits, (Kairo: Dar asy-Syuruq, 1989), Cet. IV h. 43. [51] Al-Bukhârî, Shahîh …, Kitâb al-Janâiz Bâb Qaul an-Nabî Yu`adzdzab al-Mayyit bi Bukâi Ahlihî `alaih, Hadis No. 1288; Muslim ibn al-Hajjâj, Shahîh Nuslim bi Syarh an-Nawawî, Kitâb al-Janâiz Bâb al-Mayyit Yu`adzdzab bi Bukâi Ahlihî `alaihi Hadis No. 927 (Indonesia: Maktabah Dahlan, t.th.), Juz II h. 638; Musfir ‘Azamullâh ad-Damînî, Maqâyîs Naqd al-Mutûn as-Sunnah (Riyâdh: t.p, 1404 H/1984 M), Cet. I h. 62; Ali Mustafa Ya’kub, Kritik Hadis, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1995), Cet. I h. 2-3; Rif’at Fauzî `Abd al-Muthalib, Tautsîq as-Sunnah fî al-Qurun ats-Tsânî al-Hijrî Ususuhû wa at-Tijâhâtuhû,(Mesir: Maktabah al-Khananjî, 1400 H/1981 M), h. 32; al-Jawabî, Juhûd ..., h. 460; al-Idlibî, Manhaj ..., h. 113-4. [52] Abû Daud, Sunan Abi Daud., Kitab as-Sunnah Hadis No. 4717. [53] Musnad al-Imam Ahmad ibn Hambal Hadis No. 6520, 6908 [54] Sunan at-Turmidzi Hadis No. 1720. Hadis yang senada diriwayatkan dalam Sunan Ibni Majah hadis pada no. 3595 dan 3597, dan dalam Musnad al-Imam Ahmad bin Hambal pada hadis no. 19021. [55] Musnad al-Imam Ahmad ibn Hambal, ( [56] Muhammad Al-Mubarak, Nizham al-Islam al-Hukm wa al-Daulah Diterjemahkan oleh Firman Harianto, Sistem Pemerintahan Dalam Perspektif Islam (Solo: Pustaka Mantiq, 1995), hal. 80. [57] Djalaluddin Rakhmat, “Skisma Dalam Islam Sebuah Telaah Ulang” dalam Budhy Munawar Rachman (Editor), Kontekstualisasi Doktrin Islam Dalam Sejarah, (Jakarta: Yayasan Wakaf Paramadina, 1994), Cet. I hal. 698. [58] Selengkapnya dapat dilihat dalam Al-Husainiy, [59] M.Syuhudi Ismail, Hadis Nabi Yang Tekstual dan Kontekstual, (Jakarta: Bulan Ibntang, 1994), Cet.I, h. 66. [60] Muhammad `Ajjâj al-Khathîb, Ushûl al-Hadîts `Ulûmuhû wa Mushthalahuhû, (Beirût: Dâr al-Fikr, 1409 H/1989 M), h. 283. [61] Muhammad Wafa, Ta’ârudh al-Adillah as-Syar’iyyah min al-Kitâb wa as-Sunnah wa at-Tarjih Bainahâ Diterjemahkan Muslich, “Metode Tarjih atas Kontradiksi Dalil-Dalil Syara’”, (Bangil: Al-Izzah, 2001), h. 19-23; Muhammad Ibrahim Muhammad al-Hafnâwî, at-Ta`ârudh wa at-Tarjîh `Inda al-Ushûliyyîn wa Atsaruhâ fî al-Fiqh al-Islâmî, (al-Manshûrah: Dâr al-Wafâ, 1408 H/1987 M), Cet. III. Dalam buku ini pembahasan mengenai ta’ârudh cukup luas. [62] Ahmad ibn Hajar al-`Asqalânî, Syarh Nukhbah al-Fikar fî Mushthalah Ahl al-Atsar, (Damaskus: Maktabah al-Gazâlî, 1410 H/1990 M), Cet. II h. 58-62; Nûr ad-Dîn `Itr, Manhaj an-Naqd fî `Ulûm al-Hadîts, (Damaskus: Dâr al-Fikr, 1401 H/1981 M) Cet. III h. 337-341; Muhammad Thâhir al-Jawâbî, Juhûd al-Muhadditsîn fî Naqd Matn al-Hadîts an-Nabawî asy-Syarîf, (Tunis: Muassasât ‘`Abd al-Karîm ibn `Abdullâh, t.th.), h. 368; Abu Amr Usman ibn Abd al-Rahman al-Syahrazuriy (lebih popular dengan nama Ibn al-Shalah), ‘Ulûm al-Hadîts Tahqîq dan Takhrîj oleh Nûr ad-Dîn ‘Itr, (al-Madinah al-Munawwarah: al-Maktabah al-‘Ilmiyah, 1973 H), Cet. II h. 257-258; Moh. Isom Yoesqi, Inklusivitas Hadis Nabi Muhammad Saw. ... h. 176. [63] Al-Jawâbî, Juhûd al-Muhadditsîn ... h. 370. [64] Ibnu Taimiyah, Majmû' al-Fatâwâ, (Beirut: Dâr al-'Arabiyyah, 1398 H), Jilid XXII h. 35-491. [65] Ibn Hajar al-`Asqalânî, Syarh Nukhbah al-Fikar h. 62-63. [66] Pernyataan imam Syafi’i tersebut dikutip Khairil dalam bukunya Melerai Hadis-Hadis Yang Saling Berlawanan, Purwokerto: STAIN Purwokerto Press, 2005 h. 44. [67] Yusuf al-Qaradhawi, Kayfa Nata'amalu ma'a as-Sunnah an-Nabawiyyah, Virginia USA: al-Ma’had al-’Alami li al-Fikr al-Islami, 1411 H/1990 M, Cet. III h. 113. [68] Muslim, Shahîh Muslim, Kitâb az-Zuhd wa ar-Raqâiq, Hadis No. 3004. [69] Abû Daud Sulaiman ibn al-Asy`ats as-Sijistânî (selanjutnya disebut Abû Daud), Sunan Abî Daud, (Semarang: Toha Putera, t.th.), Juz II Kitâb al-`Ilm Bâb fî Kitâb al-`Ilm Hadis No. 36346 h. 181 [70] Al-Bukhârî, Shahîh al-Bukhârî, Kitâb fî al-Luqathah Bâb Kaif Tu`raf Luqah Ahl Makkah, Hadis No. 2434. [71] Ahmad ibn Hambal, Musnad al-Imam Ahmad ibn Hambal Hadis No. 6520, 6908 [72] At-Tirmidzi, Sunan at-Tirmidzi Hadis No. 1720. Hadis yang senada diriwayatkan dalam Sunan Ibni Majah hadis pada no. 3595 dan 3597, dan dalam Musnad al-Imam Ahmad bin Hambal pada hadis no. 19021. [73] Ahmad ibn Hambal, Musnad al-Imâm Ahmad ibn Hambal Hadis No. 6700. [74] Ahmad ibn Hambal, Musnad al-Imam … Hadis no. 24524 dan 25068. Hadis yang senada juga diriwayatkan dalam Sunan at-Tirmidzi pada hadis no. 12 dan Sunan an-Nasai hadis no. 29. [75] Al-Bukhârî, Shahih al-Bukhari Hadis no. 24 dan 26; at-Tirmidzî, Sunan at-Tirmidzi Hadis no. 13; an-Nasâî, Sunan an-Nasai Hadis no. 26; dan Abu Daud, Sunan Abi Daud Hadis No. 23. [76] Muslim, Shahîh Muslim, Kitab ath-Thahârah Hadis No. 264. Hadis seperti ini juga diriwayatkan Bukhari, Abu Daud, Tirmidzi, Nasai, dan lain-lain. [77] Al-Bukhârî, Shahîh al-Bukhârî Kitâb al-Wudhû' Hadis No. 145. [78] Abu Ishâq asy-Syatibî, al-Muwâfaqât fî Ushûl asy-Syarî`ah (Beirût: Dr al-Ma`rifah, 1971) Juz III h. 99; as-Suyûthî, al-Tahbîr fî `Ilm al-Tafsîr (Beirut: Dar al-Fikr, 1416 H/1996 M) Cet. I h. 101; Muhammad Abû Zahrah, Ushûl al-Fiqh (t.tp: Dâr al-Fikr, t.th.), h. 135-6; Wahbah az-Zuhailî, Ushûl al-Fiqh ( [79] At-Tirmidzî, Sunan at-Tirmidzi Hadis No. 1816; Muslim, Shahih Muslim Hadis No. 2024; Abu Daud, Sunan Abi Daud Hadis No. 3717; Ahmad ibn Hambal, Musnad al-Imâm Hadis No. 11019. [80] Shahih Muslim pada Hadis no. 2027; Sunan at-Tirmidzi Hadis No. 1882. [81] Ibn Qutaibah, Ta'wîl Mukhtalif al-Hadîts … h. 300-301. [82] Yusuf al-Qaradhawi, Kaifa Nata`amal ma`a as-Sunnah an-Nabawiyyah, h. [83] Dalam Fiqh as-Sunnah karya Sayyid Sabiq, mencantumkan tiga macam tasyahhud, yang diajarkan kepada Ibnu Mas`ud, Ibnu Abbas, dan kepada Umar ibn Khattab. Nashiruddin al-Albani menulis sebuah buku khusus tentang tata cara shalat berdasarkan hadis-hadis Nabi, berjudul “Shifah Shalâh an-Nabî SAW. min at-Takbîr ilâ at-Taslîm, di dalamnya terdapat beberapa macam cara bacaan tasyahhud. [84] Hadis Riwayat Syafi`i, Muslim, Abu Daud, Nasai, Shahîh Muslim Kitâb ash-Shalâh Hadis No. 403. Bacaan inilah yang dipedomani imam Syafi`i dan pengikut madzhabnya. [85] Al-Bukhârî, Shahîh al-Bukhârî Kitâb al-Adzân Bâb at-Tasyahhud fî al-Akhirah Hadis No. 831; Muslim, Shahîh Muslim Kitâb ash-Shalâh Bâb at-Tasyahhud fî ash-Shalâh Hadis No. 402. [86] (HR. Malik dalam al-Muwaththa’). Bacaan inilah yang dipedomani oleh Imam Malik dan pengikut madzhabnya. [87] HR. Ahmad. Dalam hadis lain yang senada diriwayatkan Muslim, Abu Daud, Tirmidzi, dan Nasai. [88] HR. Bukhari, Muslim, dan Abu Daud. [89] HR. Muslim, Abu Daud, dan Hakim. Dalam riwayat Tirmidzi yang bersumber dari Aisyah bahwa Nabi SAW. Membaca doa iftitah tersebut. [90] Selengkapnya riwayat tersebut dapat dilihat dalam as-Sayyid Sâbiq, Fiqh as-Sunnah, (Beirût: Dâr al-Fikr, 1403 H/1983 M), Cet. IV Jilid I h. 163-4; Muhammad ibn `Alî ibn Muhammad asy-Syaukânî, Nail al-Authâr Syarh Muntaqâ al-Akhbâr min Ahâdîts Sayyid al-Akhyâr, Hadis-Hadisnya Ditakhrij `Ishâm ad-Dîn, (Kairo: Dâr al-Hadîts, 1421 H/2000 M), Cet. I Juz III h. 38-41. [91] Metode at-tanawwu` ini banyak diperkenalkan oleh Ibn Taimiyyah (661 H-728 H/1263 M-1328 M) selain metode umum (kompromi) dalam menyikapi dan menyelesaikan hadis-hadis mukhtalif. [92] Uraian secara lengkap dan contoh masing-masing serta pendapat para ulama dapat dilihat dalam Muhammad Wafa, Ta’ârudh al-Adillah asy-Syar’iyyah min al-Kitâb wa as-Sunnah wa at-Tarjih Bainahâ Diterjemahkan Muslich, “Metode Tarjih atas Kontradiksi Dalil-Dalil Syara’”, (Bangil: Al-Izzah, 2001), h. 197-276; Muhammad Ibrahim Muhammad al-Hafnâwî, at-Ta`ârudh wa at-Tarjîh `Inda al-Ushûliyyîn wa Atsaruhâ fî al-Fiqh al-Islâmî, (al-Manshûrah: Dâr al-Wafâ, 1408 H/1987 M), Cet. III h. 307-397. [93] Ahmad ibn Hambal, Musnad al-Imam … Hadis no. 25766 [94] Al-Bukhârî, Shahîh al-Bukhârî Kitâb ash-Shaum Hadis No. 1926. [95] As-Syâfi’î, al-Umm, (Beirut: Dar al-F,fikr, t.th.), h. 640. [96] Ibn Manzhur, Lisân al-‘Arab, (Beirut: Dâr ash-Shâdir, 1410 H/1990 M), Cet. I Juz III h. 61; Abu al-Husain Ahmad ibn Fâris, Mu’jam al-Maqâyîs fî³ al-Lughah Tahqîq Syihab ad-Dîn Abu Amr, (Beirût: Dâr al-Fikr, 1415 H/1994 M), Cet. I, h. 1026; ar-Raghib al-Asfahânî, Mu’jam Mufradât Alfâzh al-Qur’ân Tahqîq Nadim Marasyli (Beirût: Dâr al-Fikr, t.th.), h. 511; Ahmad Warson Munawwir, Kamus Arab-Indonesia, (Yogyakarta: Pustaka Progressif, t.th.), h. 1510-1511. Nâsikh dan Mansûk termasuk bagian dari ‘Ulûm al-Qur’an, `Ulûm al-Hadîts, dan Ushul Fiqh sehingga hampir semua buku tentang disiplin ilmu tersebut membahasnya dan mendefenisikannya berangkat dari pengertian secara literal seperti ini. [97] M. Quraish Shihab mengutip pendapat as-Syatibi dari al-Muwafaqat-nya, dalam Membumikan Al-Qur’an Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat, (Bandung: Mizan, 1996), Cet. XIII h. 144. Terminologi yang senada juga disampaikan KH. Ali Yafie dalam bukunya Menggagas Fiqih Sosial, (Bandung: Mizan, 1994), Cet. II h. 33. [98] Nûr ad-Dîn ‘Itr, Manhaj an-Naqd fî ‘Ulûm al-Had³ts (Damaskus: Dar al-Fikr, 1401 H/ 1981 M), Cet. III h. 335; Hal yang senada juga dikemukakan Ibn Katsir, Tafsir al-Qur’ân al-‘Azhîm ( [99] Badr ad-Dîn Muhammad ibn Bahâdir ibn `Abdullâh asy-Syafi`î az-Zarkasyî, al-Bahr al-Muhîth fî Ushûl al-Fiqh, (Kairo: Dâr ash-Shafwah, 1409 H/1988 M), Cet. I Juz IV h. 78-9; Muhammad Abu Zahrah, Ushûl al-Fiqh (T.tp.: Dâr al-Fikr, t.th.), h. 190-1; Mukhtar Yahya dan Fatchurrahman, Dasar-Dasar Pemibnaan Hukum Fiqh Islami, (Bandung: Al-Ma`arif, 1993), Cet. III h. 448-450. [100] Al-Bukhârî, Shahîh al-Bukhârî Kitâb Tafsîr al-Qur'ân Hadis No. 4615. [101] Al-Bukhârî, Shahîh al-Bukhârî Kitâb Tafsîr al-Qur'ân Hadis No. 4216; Muslim, Shahîh Muslim Kitâb an-Nikâh Hadis No. 1407. [102] Muslim, Shahîh Muslim Kitâb an-Nikâh Hadis No. 1406. [103] `Izzuddin Husain asy-Syaikh, Mukhtahshar an-Nâsikh wa al-Mansûkh fî Hadîts Rasûlillâh Shallâ Allâh `Alaihi wa Sallam, (Beirût: Dâr al-Kutub al-`Ilmiyyah, 1413 H/1993 M), Cet. I h. 39. Abu Bakar Muhammad ibn Musa ibn `Utsman al-Hamdzânî, Kitâb al-I`tibâr fî an-Nâsikh wa al-Mansûkh min al-Atsar, (Hims Andalus: Râtib Hâkimî, 1386 H/1966 M), h. 177-180. [104] Ibid., Juz IV h. 160 Hadis No. 1060, 1061. Kata Ibnu Hajar al-‘Asqalani, kebanyakan ulama berpendapat seperti ini, selama mereka terbebas dari adanya fitnah. [105] Ibid., Juz IV h. 160 Hadis No. 1060. [106] Talkhish al-Habir Juz II h. 157 Hadis No. 798. [107] Tuhfah al-Ahwadzi Juz IV h. 161. Hadis yang terdapat di pinggirnya No. 1061. [108] Ibid., Bab Ma Ja’a fî Ziarah al-Qubur li an-Nisa’ Juz IV h. 161 Hadis No. 1062. [109] Lihat Hakim, Ibid., Juz I h. 226; Sunan ad-D±rimi Kitab as-Shal±h Bab Awwal m± Yaqa’u min al-Ins±n ‘al± al-Ardh Juz I h. 245 Hadis No. 1326. (Selain itu, hadis ini diriwayatkan juga Tirmidzi dalam Sunannya pada hadis no. 248 dan Abu Daud pada hadis no. 713 dalam Sunannya. [110] Mustadrak al-Hakim, Juz I h. 226. Menurutnya hadis ini berkualitas sahih sesuai kriteria Bukhari dan Muslim, walaupun keduanya tidak meriwayatkannya. Hal ini diakui oleh adz-Dzahabi. [111] Prof. KH. Ali Mustafa Yaqub, MA. murid langsung Syekh Muhammad Musthafa A’zhami pendekar hadis abad XX yang banyak merontokkan teori-teori orientalis dalam membaca hadis, ia menulis artikel berjudul Mengkritisi Pemikiran Hadis Al-Albani dalam bukunya Hadis-Hadis Palsu Seputar Ramadhan, Jakarta: Pustaka Firdaus, 2003 Cet. I. hlm. 122-141. [112] Buku DR. Izzuddin Husain asy-Syeikh ini, penulis sudah terjemahkan dalam bahasa Indonesia berjudul Hadis-Hadis Nasikh dan Mansukh; Menyikapi Hadis-Hadis yang Saling Bertentangan, dikoreksi dan diberi kata pengantar oleh Prof. KH. Ali Yafie dan diterbitkan Pustaka Firdaus Jakarta tahun 2004. [113] Yusuf al-Qaradhawi, as-Sunnah Mashdar li al-Ma’rifah wa al-Hadharah, diterjemahkan oleh Abdul Hayyi al-Kattani, “Sunnah Rasul Sumber Ilmu Pengetahuan dan Peradaban”, (Jakarta: Gema Insani Press, 1997 M), Cet. I hlm. 80. [114] Ibn Hajar al-`Asqalânî, menggunakan empat metode dalam menyikapi dan menyelesaikan hadis-hadis mukhtalif, yaitu metode al-jam`u wa at-taufiq, an-nâsikh wa al-mansûkh, at-tarjih, dan at-tawaqquf. Metode at-tawaqquf ini diperkenalkan oleh al-`Asqalânî melalui bukunya Syarh Nukhbah al-Fikar h. 62-63. |
![]() |